JURAGAN ARJUNA

BAB 257



BAB 257

0"Kurang ajar sekali kamu ini," geramnya yang sudah emosi. Aku lantas bersedekap, kubusungkan dadaku sembari memandangnya lekat-lekat seolah menantang, kemudian aku tersenyum, mengejek tingkah lucunya itu.     
0

"Mau apa? Bahkan rektormu saja tidak akan berani menyentuhku," kubilang.     

"Memangnya kamu ini siapa? Seorang pengangguran yang terus-terusan mengekori langkah istri sampai di kampus hanya karena takut istrimu digoda laki-laki lain? Dasar, laki-laki yang tidak pantas disebut suami."     

Sabar, Arjuna... sabar. Menghadapi orang seperti kerbau ini harus dengan kepala dingin. Jika kamu emosi, kamu ndhak lebih rendah seperti kerbau birahi ini.     

"Dasar kerbau birahi," kataku lagi. Dia hendak mendorongku, tapi tangannya langsung kupegang dengan erat. Dia langsung meringis kesakitan, membuatku ingin tertawa dibuatnya. "Kenapa? Sakit? Hanya satu tanganku saja kamu tidak bisa mengalahkannya? Ck! Ck! Ck! Ini yang kamu sebut laki-laki perkasa?"     

"Kurang ajar kamu!"     

"Apa, kamu mau aku hajar?"     

"Bangsat kamu!"     

"Juragan Arjuna, kan?"     

Aku, dan dosen berwajah kerbau itu langsung menoleh. Di sana, ada laki-laki tua dengan pakaian rapinya, mendekat ke arahku. Sembari sungkan-sungkan, dia mengulurkan tanganku.     

Kujabat uluran tangan itu, masih sambil menarik sebelah alisku karena aku benar-benar ndhak tahu siapa dia. Aku pun mengangguk.     

"Tidak ingat aku? Dulu aku pernah ke tempat Juragan, lho. Untuk bertemu dengan Juragan Nathan."     

"Siapa ya?" tanyaku yang masih bingung.     

"Pak Rektor. Bapak kenal dengan... dia?" tanya laki-laki ndhak tahu diri itu.     

Aku baru tahu kalau dia adalah rektor di sini. Jadi, kemarin yang kutemui tatkala Manis pertama masuk sini itu siapa?     

"Kamu yang sopan, Pak. Beliau ini adalah Juragan Arjuna, anak dari Juragan Nathan, yang sebagian besar perkebunan di sini adalah milik keluarganya. Dan juga, banyak kebaikan yang telah dilakukan oleh keluarganya untuk kita. Karena wakil rektor adalah sahabat karib dari Romo dari Juragan Arjuna ini."     

"Jadi yang kutemui beberapa waktu yang lalu itu adalah wakil rektor, Pak?" tanyaku kemudian.     

Dia langsung mengangguk sopan, dengan senyum ramah menghiasi bibirnya. Aku sekarang jadi paham, pantas saja.     

"Ayo... ayo Juragan, silakan masuk ke ruanganku."     

"Tunggu dulu, Pak. Aku mau bicara empat mata dengan dosen Bapak yang sangat luar biasa ini...," kataku pada akhirnya. kemudian, aku mengulurkan tanganku padanya. Dia diam, wajahnya tampak benar masih sangar terkejut. Ragu-ragu, dia membalas uluran tanganku. "Perkenalkan, namaku adalah Arjuna Hendarmoko. Jujur, aku paling tidak suka kalau harus memperkenalkan diri sebagai seorang Juragan. Tapi rupanya, di dunia ini masih banyak orang yang memandang orang lain dari penampilan luar serta pangkatnya. Dan iya memang aku pengangguran, aku tidak melakukan pekerjaan apa pun. Karena, para pekerjaku sudah bekerja dengan sangat baik, sehingga mereka hanya tinggal melaporkan semua hasil akhirnya kepadaku saat aku ada di rumah," kutepuk-tepuk pundaknya, aku nyaris tertawa tatkala melihat wajah merah padamnya itu. "Jadi, kamu bekerja yang keras. Sebab hidup tidak semudah seperti yang kamu bayangkan."     

"Aku—"     

"Oh ya, siapa namamu? Ah tidak penting. Nanti aku akan membahasmu dengan Bapak rektor yang terhormat. Iya, kan, Pak?" kataku meminta persetujuan dari rektor yang masih di sana. Dia agaknya bingung, lalu kemudian dia mengangguk menyetujui ucapanku. "Jadi, aku masuk ke ruang rektor dulu, ya, dosen berwajah kerbau birahi."     

"Ah, berengsek!"     

Aku melangkah pergi, bisa kudengar dengan sangat jelas umpatannya, sembari memukul tiang kayu yang ada di sana. Rasanya, benar-benar senang sekali bisa menjatuhnya orang-orang tengil seperti itu. Hatiku benar-benar merasa puas dibuatnya.     

*****     

Selama perjalanan pulang, aku ndhak bisa untuk ndhak tertawa karena mengingat kejadian saat di Universitas tadi. Bahkan, wajah jelek dari dosen itu tampak dengan jelas terus terngiang di otakku. Bagaimana wajah bodohnya itu tampak kaget tatkala tahu siapa aku ini.     

"Bodoh, bodoh...," gumamku, yang masih saja tertawa. Manis yang melihatku pun tampak bingung, karena sedari tadi aku terus tertawa ndhak jelas seperti ini. "Ada apa, Sayang?" tanyaku pada akhirnya.     

"Kangmas sehat, toh? Kangmas ndhak kenapa-napa, toh?" tanyanya yang berhasil membuatku mencubit hidungnya gemas.     

"Ya jelas sehat, toh. Masak ada orang ndhak waras bisa nyetir mobil seperti ini. Manisku sayang, suamimu ini sangat sehat, dan sangat bahagia. Asal kamu tahu itu."     

"Bahagia kenapa?"     

"Karena aku sudah membuat dosen jelek yang terus mendekatimu itu malu."     

"Kangmas ini, pandai benar kalau urusan mempermalukan orang."     

"Lho ya jelas, siapa lagi, Juragan Arjuna Hendarmoko yang paling bagus sedunia, toh."     

Manis mengulum senyum, kemudian dia memeluk tubuhku sesaat, lalu dia kembali duduk di tempatnya.     

"Iya, aku percaya. Suamiku ini memang laki-laki paling bagus sedunia, ndhak ada duannya."     

"Duh Gusti, aku malu kalau istriku mengatakan hal itu. Nanti kepalaku bisa besar ini."     

"Kangmas bagus, Kangmas tampan, Kangmas keren, Kangmas hebat," katanya lagi yang seolah sengaja untuk mempermainkanku.     

"Kamu maun suamimu itu mati karena diabetes, toh?"     

"Kenapa?"     

"Karena ucapanmu terlalu manis."     

"Halah, ngapusi! (Bohong)," gerutunya.     

"Serius. Melihat wajahmu saja rasanya minum kopi sepahit apa pun menjadi manis. Apalagi mendengar ucapan manismu itu, benar-benar membuatku ingin menggigit bibir manismu."     

"Coba, kalau bisa,"     

"Kamu nantangin kangmasmu, Ndhuk?" tanyaku, Manis malah berlagak ndhak melihatku.     

"Endhak, aku hanya bilang, coba kalau bisa," ucapnya yang masih pura-pura ndhak tahu apa-apa.     

Aku langsung mencari tempat sepi, kutepikan mobilku. Kemuduan, kukunci tubuhnya sampai kepalanya ndhak bisa bergerak lagi. Mata bulatnya memandangku tanpa kedip. Kutelan ludahku tatkala melihat bibir ranum Manis, bibir itu tampak begitu menggodaku. Pelan, kutempelkan bibirku pada bibirnya. Kemudian, kulumat bibir penuh itu. Manis ndhak membalas, dia juga ndhak menolak. Dia diam, benar-benar diam. Sampai kutarik dagunya agar mulutnya sedikit terbuka, membuatku bergerilya mengecap manis mulut istriku tercinta. Setelah puas, kujaukan wajahku. Kuusap bibir Manis dengan jari jempolku. Manis masih diam, tapi wajahnya sudah merah padam. Aku ndhak tahu, untuk apa dia malu, padahal kami sudah sering melakukannya.     

"Kenapa, Sayang? Aku bisa, toh?" kubilang. Manis masih diam. "Sekarang biar kutata gincumu yang berantakan ini," setelah kupastikan jika gincu (lipstik)nya ndhak ada yang meleber ke mana-mana, aku pun menjauh. Tapi sayang, tangan Manis sudah melingkar di leherku dengan sangat posesif.     

"Memangnya, Kangmas saja yang bisa begitu?"     

Kursi mobil langsung dibuat posisi tidur, Manis langsung melumat bibirku dengan penuh nafsu. Kusunggingkan senyumku, kemudian aku kubalas cumbuan Manis kepadaku. Untung, tempat ini benar-benar sepi. Untung, jadi aku ndhak takut jika melakukan yang endhak-endhak di sini bersama istriku tercinta. Ya, kita akan melakukannya dengan berbagai gaya.     

Kulepas dengan cepat pakaianku, kemudian kulepas juga pakaian yang membalut tubuh mulusnya. Setelah kami yakin, jika kami sama-sama ndhak memakai apa-apa, kami sama-sama tersenyum. Kemudian, Manis kembali melumat bibirku dengan penuh nafsu. Aku ndhak tahu sejak kapan, dia bisa sepandai ini dalam urusan merayu. Dan setiap rayuannya, benar-benar membuatku tergila-gila. Ya, Manis... aku telah gila olehmu.     


Tip: You can use left, right, A and D keyboard keys to browse between chapters.