JURAGAN ARJUNA

BAB 254



BAB 254

0"Maaf, Bun. Bukannya aku ingin membuat Bunda cemas. Hanya saja, aku butuh waktu. Waktu untuk menjadi diriku sendiri, tanpa ada nama orangtua atau mertua, dan waktu untuk memahami bagaimana caranya membangun biduk rumah tangga, dan mengenal apa itu arti dari cinta."     
0

Aku mengulum senyum tatkala Bima mengatakan hal itu. Dari pada dia menjadi seorang pengusaha, kurasa dia lebih pantas menjadi seorang penyair. Ucapannya itu lho, benar-benar puitis sekali. Bak pujangga yang tengah mencari cinta lewat bait-bait kata mutiara.     

"Oh ya, Nak Arjuna, Nak Manis. Kalian menginap, kan?" tanyanya Bunda Bima pada akhirnya. kalau sudah urusan orangtua, mana mungkin aku bisa menolaknya.     

"Iya, Bulik. Semalam tidak apa-apa," kujawab.     

Bima lantas menyenggolku kemudian dia tersenyum lebar, menarikku untuk masuk ke dalam rumahnya yang sangat megah dan besar.     

"Kalau jam segini ini, Paklimu belum pulang, Nak. Tunggu beberapa menit lagi, mungkin masih di jalan," kata Bunda Bima lagi, sembari melihat jam tangan yang melingkar di pergelangan tangannya itu. Jam tangan yang terbuat dari kulit, berwarna cokelat, jam tangan paling bagus pada masanya.     

"Tidak apa-apa, Bulik. Nanti pasti bisa ketemu," kujawab sekenanya. Aku langsung duduk, di sampingku ada Manis. Tapi, tatkala kuperhatikan lagi, sepertinya ada yang kurang. Siapa?     

"Lho, kenapa kita hanya berempat, ya?" kataku pada akhirnya. Semua orang tampak menoleh, tapi Rianti, dan Bima agaknya mengulum senyum. kenapa mereka malah tersenyum jahil seperti itu?     

"Bunda, Ayah! Kenapa Abimanyu ditinggal di dalam mobil!"     

Sontak aku menoleh, kemudian aku menepuk kepalaku sendiri. Duh Gusti, rupanya yang tertinggal adalah Abimanyu, pantas saja ada yang kurang tapi entah siapa.     

Bundanya Bima tampak terdiam, dia tampak kebingungan sambil melihat anak kecil itu. Aku yakin, jika saat ini dia bingung, tentang siapa gerangan yang dipanggil Bunda—Ayah oleh Abimanyu.     

"I... ini...," kata bunda Bima terbata, matanya tampak nanar, dan itu benar-benar membuatku terharu. Padahal, dia belum tahu Abimanyu ini anak siapa, padahal dia belum tahu jika Abimanyu adalah cucunya. Tapi melihat ekspresi dari wajahnya, seolah menegaskan, jika ikatan batin memang mampu mengalahkan apa pun. Dan hal ini yang salah adalah Rianti, dan Bima. Bagaimana bisa mereka sampai punya anak sebesar ini tapi ndhak mau pulang sebentar pun bahkan untuk mengabari saja endhak. Dasar mereka berdua. "I... ini anak siapa, Bima?" tanya Bunda Bima lagi.     

Aku langsung menarik Abimanyu ke dalam dekapanku, aku ingin tahu, bagaimana ekspresinya Eyang Putri dari Abimanyu ini.     

"Bulik, kenapa Bulik masih bertanya, bukankah di pewayangan pun sudah jelas, Abimanyu itu putra dari siapa?" ucapku.     

Manis langsung melotot, sembari mencubit pinggangku, sementara Rianti mimik wajahnya itu ndhak sekadar melotot. Malah-malah dia hendak memakanku hidup-hidup. Bagaimana endhak, toh, aku telah mengacaukan rencana pemberian kejutan kepada mertuanya, yang sudah disiapkan sedemikian rupa bahkan sampai merelakan anaknya ditinggal di dalam mobil. Dan setelah semua rencana yang ia susun dengan matang, langsung hancur seketika karenaku. Tapi, siapa peduli. Semakin marah Rianti malah-malah semakin membuatku ingin tertawa dibuatnya.     

Bunda Bima mendekat ke arahku, memudian dia berjongkok, tangannya membingkai wajah mungil Abimanyu, kemudian dia tersenyum hangat. Abimanyu pun, tumben benar hanya diam, dia seolah terhipnotis oleh sentuhan dari Eyang Putrinya. Untuk seketika, dia mengerjapkan matanya, lalu dia menoleh ke arahku dengan tatapan bingungnya. Mungkin dia hendak bertanya, ini di mana, dan siapa orang yang ada di hadapannya ini. Akan tetapi aku akan diam, perkara itu biarkan Bima yang mengaturnya sendiri sebisanya dia mau seperti apa.     

"Maaf, Nak Arjuna... hanya saja, saat aku melihat putra lucumu ini, aku seperti melihat Bima waktu kecil. Wajahnya, benar-benar seperti Bima," katanya kepadaku.     

Kunaik—turunkan alisku, Rianti malah semakin melotot ke arahku. Sepertinya, setelah ini aku akan benar-benar habis di tangan Rianti.     

"Abimanyu...," kataku pada akhirnya, dia pun langsung mendongak ke arahku dengan seksama. "Ikut Ayah," lanjutku.     

Abimanyu mengangguk, kemudian dia berlari menuju ke arah Bima. Kemudian, dia memeluk Bima dengan erat, kemudian dia berkata, "Ayah, kenapa aku ditinggal di mobil?"     

Dan setelah mendengar itu, Bunda Bima tampak terdiam, air matanya langsung menetes di pipi. Aku langsung disikut oleh Manis, tapi akan kubiarkan untuk kali ini dia melakukannya.     

Dengan langkah pelan, Bunda Bima mendekat ke arah Abimanyu, dan Bima. Kemudian dia berhenti, tepat di depan mereka berdua.     

"Abimanyu, beri salam untuk Nenek,"     

Bunda Bima langsung menangis, kemudian dia memeluk Abimanyu dengan erat. Rianti langsung mendekat, kemudian dia memeluk mertuanya. Sungguh, pemandangan yang penuh haru. Dan aku benar-benar sangat bahagia melihat keharuan itu.     

"Kangmas, kenapa kamu paling pandai membuat perasaan orang campur aduk seperti itu. Lihatlah, bagaimana bahagia Bunda Bima, sepertinya dia telah lama mengharapkan seorang cucu hadir di tengah-tengah keluarga mereka."     

Aku langsung mencubit hidung bangir Manis, kemudian mengulum senyum. mengedipkan mataku ke arahnya, membuatnya langsung menyubit pinggangku lagi. sepertinya, mencubit pinggang adalah kegemarannya mulai sekarang.     

"Ndhak usah cubit pinggang, cubit yang bawah saja," bisikku.     

"Yang mana?"     

"Itu," godaku lagi. kini dia malah mencubit hidungku, membuatku langsung menggigit tangannya pelan. "Nanti kita buat anak yang lebih lucu dari Abimanyu,"     

"Kita buat anak perempuan saja, Kangmas."     

"Berapa?"     

"Lima?"     

"Sebelas saja," imbuhku, kemudian memeluk tubuh Manis. Manis menenggelamkan wajahnya di dada bidangku, kemudian kami menyaksikan adegan manis dari keluarga Bima yang tampak sempurna itu. Aku yakin, suatu saat nanti kebahagiaan yang dirasakan oleh Bima akan kurasakan juga. Aku percaya jika sejatinya Gusti Pangeran ndhak akan pernah ingkar janji kepada umatnya yang berusaha.     

"Kenapa kalian tidak mengatakan ini kepada Bunda? Bahkan sampai kalian memiliki momongan, bahkan sampai cucu Bunda sebesar ini Bunda tidak mengetahuinya sama sekali."     

"Bun...," kata Rianti pada akhirnya. "Bukannya kami tidak ingin memberitahu Bunda, atau Ayah. Bahkan Romo, dan Biung pun tidak kami kasih tahu. Percayalah, Bunda... ini bukan karena kami ingin merhasiakannya atau pun menyembunyikannya dari kalian. Hanya saja waktu itu benar-benar sangat sulit. Waktu itu, aku dan Bima, benar-benar berada pada hubungan yang sangat rumit. Jadi, sebelum kami benar-benar siap untuk kembali. Kami putuskan untuk memantabkan diri masing-masing tentang masalah pernikahan ini. Jadi, maafkan kami, ya. Kami benar-benar tidak berniat untuk membuat Bunda, Ayah, dan yang lainnya cemas. Apalagi sampai menyakiti kalian semua."     

Bunda Bima tampak mengangguk, kemudian dia memeluk tubuh Rianti dengan erat. Aku ndhak tahu, sebenarnya bagaimana, hubungan mereka ini seperti apa.     

"Bunda pahan, Sayang. Terlebih, kesalahan yang Bima lakukan kepadamu dulu. Jadi, akan sangat wajar bagimu untuk bisa menerima seseorang yang bahkan awalnya tidak kamu cintai. Dan melihat kalian bahagia seperti ini, Bunda benar-benar sangat lega dan bersyukur. Terlebih, melihat Bunda memiliki cucu sebesar ini sekarang. Terimakasih, sudah memberi Bunda cucu, ya, Sayang."     


Tip: You can use left, right, A and D keyboard keys to browse between chapters.