JURAGAN ARJUNA

BAB 256



BAB 256

0"Kalian ini benar-benar membuat Bulik iri. Itulah kenapa salah satu alasanku dulu ingin memberikan Bima adik, agar dia bisa memiliki teman di rumah. Tapi, Tuhan berkehendak lain, Bulik hanya diberi kesempatan melahirkan seorang anak saja," Bunda Bima pun bercerita. "Dan aku harap semoga Abimanyu bisa memiliki banyak adik, agar rumah ramai, agar dia tidak kesepian. Ya, kan, Nak?"     
0

Abimanyu yang sedari tadi sibuk dengan apelnya pun mengangguk kuat-kuat. Kayak dia paham saja dengan apa yang para orang dewasa ini bicarakan.     

"Kata Ayah, aku mau dibuatkan adik sepuluh. Makanya Ayah, dan Bunda sering menyuruhku tidur lebih awal."     

"Abimanyu!"     

"Abimanyu!"     

Aku, dan yang lainnya pun langsung tertawa mendengar ucapan polos Abimanyu itu. Sementara Rianti, dan Bima menunduk malu, wajah mereka tampak merah padam sekarang. Rasakan, memang enak, toh, aib kalian dibuka oleh anak kalian sendiri. Salah sendiri suka benar menganggu kesenangan orang. Sekarang, dapat balasan yang setimpal.     

"Oh ya, Arjuna... Paklik dengan kamu sekarang berencana mendirikan sebuah pabrik. Apa itu benar?" tanya Ayah Bima. Aku langsung mengangguk semangat, kalau bahas hal seperti ini dengan Ayah Bima, adalah perkara yang sangat tepat. Aku bisa dapat banyak ilmu, mengingat Ayah Bima adalah pengusaha ulung, pengusaha sukses yang terkenal seantero negeri.     

"Benar, Paklik. Semua perizinan, dan hal-hal dasar sudah berjalan dengan lancar. Sekarang, orang-orangku sedang mengurus masalah pembangunan pabriknya," kujawab.     

"Apa kamu sudah punya orang-orang yang kamu anggap mampu mengurus bisnismu ini?" tanyanya lagi.     

Aku terdiam sesaat, kemudian kugaruk tengkukku yang ndhak gatal. Gusti, aku bahkan lupa untuk memberitahunya hal penting ini.     

"Sebenarnya kemarin-kemarin, Romo menyuruhku untuk menemui Paklik. Guna membahas masalah ini. Sebab kata Romo, kalian punya beberapa kawan yang mumpuni di bidang ini. Dan Paklik juga, sebenarnya aku butuh bantuan dari Paklik."     

"Pantas saja, kemarin waktu romomu datang ke sini, dia berbicara banyak hal yang membuatku bingung. Rupanya kamu belum mengatakannya kepadaku sebelumnya. Untunglah, romomu adalah seorang yang benar-benar setia kawan kepada teman-temannya. Jadi, dimintai bantuan dengan cara tiba-tiba seperti ini, kami harus dan wajib meluangkan waktu khusus untuknya."     

"Paklik memang benar. Apa jadinya aku kalau tidak ada Romo. Karena kesuksesan ini tidak jauh dari campur tangan Romo," kubilang.     

Lagi, Ayah Bima kembali tersenyum, kemudian dia meminum susu yang ada di depannya. Menghela napas panjang, seolah sedang mengenang beberapa hal.     

"Tapi, di mata romomu, kamu itu adalah anak yang sangat hebat, Arjuna. Setelah punya anak kamu, tidak pernah sekalipun dia tidak membanggakanmu. Anakku Arjuna hebat, anakku Arjuna luar biasa, anakku Arjuna tidak ada tandingannya," Ayah Bima kembali terkekeh mengingat hal itu. "Bahkan kami sempat berpikir, jika nanti aku mempunyai anak perempuan, mau aku jodohkan dengan Arjuna yang hebat itu. Tapi rupanya, takdir berkata lain, yang berjodoh ternyata Bima, dan Rianti. Anak perempuan cantiknya."     

"Karena sehebat apa pun anak laki-laki, sebenarnya anak perempuan adalah harta yang paling berharga bagi seorang Ayah, Paklik. Percayalah,"     

"Benar sekali, aku setuju."     

Setelah bercakap-cakap dengan keluarga Bima, akhirnya aku dan Manis pamit undur diri. Besok katanya Manis akan ada sidang skripsi, meski aku sendiri ndhak paham, kurasa cukup cepat juga dari dugaan. Dan katanya, tinggal mengejar beberapa mata kuliah lagi yang kurang. Untuk setelahnya, dia ingin cepat-cepat mengajakku kembali ke Purwokerto, untuk menemani putri kami tercinta. Mau bagaimana lagi, setelah kuberitahu garis besar masalah yang menimpa Ningrum, agaknya Manis menjadi ndhak tenang. Sudah berapa kali dia meminta untuk mengajak ke sana. Tapi sayang, kuliahnya saat-saat ini benar-benar ndhak bisa ditinggal. Dia benar-benar bekerja keras untuk lulus tepat waktu. Kalau aku ndhak menjadi masalah, aku malah senang jika istriku mau berjuang sampai sejauh itu. perjuangannya benar-benar ndhak akan sia-sia.     

Sebab bagaimanapun, aku waktuku bersamanya adalah hal yang sangat berharga. Menjadi sesuatu yang istimewa tatkala aku bisa menemaninya melangkah selangkah demi selangkah untuk menapaki anak-anak tangga kehidupannya. Kemudian, aku akan menunggunya di tangga paling atas, memandangnya dari bawah sembari mengulurkan tanganku kepadanya. Aku akan melihat dia berlari, atau pun jatuh. Berdarah-darah pun ndhak jadi masalah. Seendhaknya dia tahu, jika sukses itu butuh waktu, jika sukses itu ndhak melulu mengenai sesuatu yang semu yang bisa didapatkan dengan sangat mudah. Karena di balik semua itu, sukses butuh usaha, serta pengorbanan atasnya.     

*****     

"Jadi mau kutunggu atau endhak?" tanyaku. Pagi ini aku sudah berada di Universitas, berjalan menyusuri jalanan sembari menggandeng tangan Manis. Kami seolah, seperti orang kasmaran, ndhak peduli dengan pandangan aneh orang-orang terhadap kami. Ya, karena kami adalah sepasang suami-istri.     

"Terserah Kangmas. Aku sebentar," jawabnya.     

Aku kembali tersenyum, kemudian kuhentikan langkahku. Melihat rambutnya yang ndhak rapi seperti ini benar-benar membuatku gatal.     

"Sebentar."     

"Ada apa, Kangmas?" tanyanya.     

Aku langsung melingkarkan lenganku pada lehernya, menarik karet yang mengingat rambutnya. Kusisir rambut Manis dengan jariku, kemudian kukuncir satu rambutnya. Setelah aku merasa jika penampilannya sudah rapi, aku kembali tersenyum puas dengan hasil kerjaku itu.     

"Sudah cantik," kubilang. Manis tersenyum.     

"Manis benar perlakuanmu ini. Jadi semakin cinta," ucapnya, sembari mengedipkan matanya nakal.     

Aku langsung kaget melihat hal itu, kukerjapkan mataku berkali-kali untuk memastikan jika istriku bisa segenit itu. Tapi, Manis sudah berjalan menjauh, melambaikan tangannya sembari cium jauh. Dasar, awas saja nanti di rumah. Aku akan membuatnya bertekuk lutut di depanku, mendesah penuh nikmat dan meminta ampun sembari memanggil namaku berkali-kali.     

"Ya Tuhan, laki-laki tidak tahu malu,"     

Aku langsung menoleh tatkala mendengar suara yang saking ndhak merdunya sampai-sampai bisa menularkan virus itu. Dan ternyata dosen sok kebagusan (kecakepan) itu sudah berada di sampingku. Melipat kedua tangannya di dada, sembari memandangku dengan tatapan anehnya.     

Kalau dilihat-lihat, bukankah dia yang jauh lebih aneh penampilannya dariku? Lihatlah, bagaimana bisa seorang dosen berpenampilan sebusuk itu.     

"Kamu itu, untuk apa ke kampus? Mau tebar pesona? Mau pamer wajah pas-pasanmu itu? kamu ini siapa? Apa jabatanmu di kampus ini sehingga seolah-olah kampus seperti rumahmu yang kamu keluar masuk seenak kepalamu itu!"     

Kulihat wajahnya yang marah itu, benar-benar tampak sangat lucu. Entah kenapa, tatkala melihatnya, aku seperti melihat kerbau-kerbau Paklik Sobirin yang marah tatkala ndhak diberi makan. Sama-sama persis sekali.     

"Wajahku pas-pasan?" ulangku. Kemudian kulirik ke arah mahasiswi yang sedari tadi melirik ke arah kami, aku langsung melambaikan tanganku dengan asal. Perempuan-perempuan itu menjerit, kemudian aku kembali memandang ke arah dosen yang bahkan namanya ndhak penting itu dengan percaya diri. "Sekarang lihat, siapa yang wajahnya pas-pasan. Wajah seperti kerbau birahi saja kok bangga," celetukku kemudian.     


Tip: You can use left, right, A and D keyboard keys to browse between chapters.