JURAGAN ARJUNA

BAB 255



BAB 255

0Malam ini agaknya aku benar-benar ndhak bisa tidur. Meski rumah Bima adalah rumah modern impian setiap orang, ranjang, dan perabotan semuanya sangat modern dan masa kini. Tapi tetap saja, malah-malah membuatku ndhak nyaman sama sekali.     
0

"Kangmas," panggil Manis, rupanya dia juga belum tidur, toh. Tak pikir dia sudah terlelap lama. Ya, mau bagaimana lagi, dia adalah belahan jiwaku, aku ndhak bisa tidur, dia pasti dia ndhak bisa tidur juga.     

"Kenapa, Sayang?" tanyaku, memiringkan tubuhku kemudian menghadap ke arahnya. Dia pun melakukan hal yang sama, sembari berbantalkan lenganku.     

"Kok aku ndhak bisa tidur, ya. Padahal, rumah Bima ini terlalu mewah jika disebut dengan rumah," dia bilang, aku mengulum senyum. "Apa karena kita dari kampung, itu sebabnya kita ndhak terbiasa dengan hal-hal yang terlalu modern dan masa kini seperti ini?"     

"Kita ini orang ndeso, kampungan, iya, toh?" imbuhku. Dia malah tertawa, seperti apa yang kukatakan adalah hal yang lucu. Tapi, ndhak apa-apa ndeso, kampungan, istrinya cantik seperti ini,"     

"Duh Gusti, sok merayu," ucapnya, tatkala kurengkuh tubuhnya dengan erat. "Dan lagi, rejekinya rejeki kota, ya, Kangmas."     

"Setuju."     

"Jadi malam ini kita ndhak tidur ini?" tanyanya lagi. Aku mencoba memikirkan sesuatu sebelum menjawab pertanyaannya.     

"Lantas kalau kita ndhak tidur, kenapa?" tanyaku, sok lugu benar aku ini.     

"Ya sudah, kita bercakap sampai pagi. Bagaimana?"     

"Endhak, ah, bosen," tolakku.     

Dahinya tampak berkerut, seolah bingung dengan jawabanku itu.     

"Lantas, kita harus apa?" kini dia yang bertanya.     

"Pacaran, bagaimana? Sepertinya seru,"     

"Ah endhak ah, aku ndhak tahu kamar mandinya, nanti repot," kini giliran dia yang menolak tawaranku.     

Kini kukecup bibir merahnya, agar dia ndhak mengatakan hal yang aneh-aneh lagi. Kemudian, semakin kupeluk dia dengan sangat erat. Memeluk tubuhnya saja seperti ini, sudah benar-benar membuatku sangat tenang.     

"Siapa bilang pacarannya harus yang seperti itu? Endhak... cukup seperti ini saja aku sudah bahagia," kubilang.     

"Iya, Kangmas. Rasanya sudah sangat bahagia."     

Aku kembali memenadang wajah cantik istriku, yang kini sedang memandang langit-langit kamar. Bulu matanya yang panjang itu tampak benar-benar menggoda, alis hitamnya tampak ditarik sebelah, seolah tengah memikirkan sesuatu. Namun untuk sesaat kemudian, alis itu kembali sejajar.     

Aku ndhak mengatakan apa pun, selain mengamati inci demi inci wajah istriku. Wajahnya yang putih itu kini tampak kemerahan, hidungnya yang mungil itu pun ujungnya memerah. Mungkin, dia kedinginan. Lagi, kueratkan pelukanku, agar rasa dingin yang menyeruak ndhak bisa masuk ke dalam tubuhnya. Agar aku bisa menghangatkannya.     

*****     

Pagi ini sarapan di rumah keluarga Bima, kami duduk di sebuah meja kayu berbentuk persegi panjang. Berbeda dengan sarapan seperti orang-orang pada umumnya, di meja ini hanya ada sedikit makanan. Yang ada susu, roti, dan tetek bengeknya. Coba kalau di kampung, sarapan ndhak pakai sambel dan nasi rasanya belum nikmat sekali.     

"Nanti sarapannya pakai roti?" tanyaku kepada Manis. Manis pun mengangguk dengan senyum simpulnya. "Mana kenyang aku. Orang kampung itu, ndhak kenyang kalau ndhak makan nasi, toh," lanjutku.     

Manis langsung mendekatkan wajahnya kepadaku, kemudian dia berbisik, "nanti, saat kita pulang, mampir dulu ke rumah makan, Kangmas. Kita bisa melanjutkan sarapan kita ini."     

Kulihat dia sambil mengulum senyum, pandai benar dia menenangkan hatiku. Ah, dasar istriku, dia benar-benar paling tahu aku rupanya.     

"Muach... kamu memang terbaik," kataku, sambil mengedipkan mataku nakal ke arahnya. Dia pun ikut-ikutan mengerucutkan bibirnya, seolah-olah membalas ciuman jarak jauhku tadi.     

"Oh ya, Arjuna...," kata Ayah Bima, aku masih memandangi Manis sembari bertopang dagu, sambil senyum-senyum ndhak jelas. "Arjuna, bisa Paklik bicara denganmu?"     

"Iya, Paklik," jawabku, yang masih memandang ke arah Manis.     

Manis langsung memukul lenganku, memutar kepalaku agar menoleh ke arah Ayah Bima. Dan saat kulihat rupanya, semua orang yang ada di meja makan ini melihat ke arahku. Apakah ada yang aneh dariku?     

"Iya, Paklik, ada apa?" tanyaku lagi. Yang rupanya, benar-benar telah membuat Ayah Bima kesal, rupanya.     

"Pemuda zaman sekarang ini benar-benar, kalau sudah sama istrinya sudah lupa segalanya, rupanya," sindirnya kepadaku. Aku tersenyum saja mendengar ucapannya seperti itu, lha memang benar. Aku yang salah, toh.     

"Bagaimana lagi, Paklik. Kadung tresno, kalau kata orang Jawa bilang, yang artinya sudah terlanjur cinta. Jadi, tidak perlu apa-apa, cukup melihat wajahnya, cukup bersamanya saja sudah membuatku bahagia," kujawab. Ayah Bima malah tertawa mendengar celotehanku itu.     

"Ayah, jangan hiraukan Kangmas. Ayah bisa-bisa kenyang karena mendengar ucapan manisnya yang tidak ada habis-habisnya. Padahal, ucapannya benar-benar jauh berbeda dari pada kenyataannya,"     

"Jauh berbeda bagaimana, Ri?" tanya Ayah Bima kepada menantu kesayangannya itu.     

"Asal Ayah tahu, pemuda jelek itu, pernah—"     

"Eh ada kodok!" potongku.     

Rianti langsung melotot ke arahku, karena ucapannya kupotong begitu saja. Lihatlah, bagaimana jelek wajahnya, benar-benar seperti nenek lampir yang kesurupan lelembut hutan.     

"Asal Ayah, dan Bunda tahu, dia itu pernah—"     

"Paklik tadi mau bicara apa?"     

"Kangmas!!"     

Semuanya langsung tertawa melihat pertengkaran kami, sementara wajah Rianti sudah merah padam. Sepertinya, dia benar-benar sangat marah sekarang.     

"Dik Rianti, Sayang... tidak usah marah-marah seperti itu kepada Kangmasmu yang paling tampan sedunia ini. Kamu tidak mau jadi adik durhaka, kan? Jadi, jangan marah-marah, tidak baik buat perempuan. Nanti wajah cantikmu itu cepat... keriput,"     

"Kangmas!"     

Aku langsung tertawa, terlebih tatkala melihat Rianti yang sudah menangis karena saking kesalnya karenaku. Sementara mertuanya sudah sangat panik untuk sekadar menenangkan menantu tercintanya itu. Dan Manis langsung mencubit pinggangku sembari memelototkan matanya galak.     

"Kalian ini benar-benar, seperti kucing, dan tikus. Sepertinya tidak pernah akur, ya, atau bagaimana," gumam Ayah Bima.     

"Asal Paklik tahu, hubungan saudara yang terlihat ejek-ejekan seperti ini, biasanya malah memiliki ikatan lebih dalam dari pada yang kelihatannya harmonis-harmonis saja, percayalah. Memangnya, siapa yang dicari menantu cantikmu itu saat dia dijahili temannya? Dia pasti akan lari mencariku, dan memelukku dengan erat. Dia bisa saja bertingkah seperti seorang Ndoro yang agung, dan angkuh. Tapi, dia tidak akan pernah bisa bertingkah menyebalkan, dan bahkan manja sekali di depanku. Ya, dia itu... adik kecilku yang sekarang sudah menjadi seorang Ibu."     

Raut wajah Rianti langsung tampak tenang, kini air matanya kembali mengalir tapi jelas, bukan sebuah air mata kejengkelan seperti apa yang dirasakan tadi. Aku masih melihat wajahnya, dan senyumku masih mengembang di kedua sudut bibir.     

"Karena dia Kangmas yang istimewa. Yang tidak pernah marah meski aku telah memakinya, yang akan selalu tinggal saat aku mengusirnya berkali-kali. Terimakasih sudah menjadi Kangmasku, Kangmas."     

Aku nyaris menangis mendengar ucapan dari Rianti itu. Mataku terasa panas, aku pun menundukkan wajahku, menghela napas beratku agar bisa mengatur emosiku. Dan senyumku, masih mengembang ndhak tahu kenapa.     

"Aku sayang Kangmas," kata Rianti lagi, yang kini sudah merengkuh tubuhku, sembari mencium pipiku. Dan hal itu, benar-benar membuat air mataku lolos begitu saja dari pelupuk mataku.     


Tip: You can use left, right, A and D keyboard keys to browse between chapters.