JURAGAN ARJUNA

BAB 259



BAB 259

0Pagi ini, Manis ndhak bisa bangun. Entah efek dari pijatanku, atau lambungnya bermasalah karena berhari-hari ndhak mau makan. Wajahnya pucat, tubuhnya lemah, dan dia sedari bangun terus saja muntah-muntah. Aku takut, dia kena radang lambung. Sebab, dari ciri-cirinya memang seperti itu.     
0

"Aku antar ke rumah sakit, ya, Ndhuk?" bujukku, setelah aku meletakkan wedang jahe di meja samping ranjang kami. Tapi, Manis menggeleng, dia menolak. Memang sedari dulu dia itu takut dokter, takut disuntik. Tapi, cita-citanya mau jadi dokter. Dasar dia ini.     

"Antar aku ke kampus saja, Kangmas. Ndhak usah dibawa ke rumah sakit. Nanti setelah makan juga sembuh," tolaknya kemudian. Aku mendengus, dia benar-benar keras kepala perkara ini.     

"Kamu ini calon dokter, tapi kamu ndhak bisa mengobati dan merawat dirimu sendiri. Cita-citamu menjadi seorang dokter, untuk menyembuhkan orang-orang. Tapi, kamu malah ndhak mampu menjaga kesehatanmu sendiri. Jadi, apa gunanya kamu menjadi seorang dokter?" Manis ndhak mengatakan apa pun, dia hanya menunduk karena kumarahi. "Tadi, sudah berapa kali kamu mencoba memasukkan makanan ke mulutmu? Dan berapa kali kamu memuntahkannya? Kalau lambungmu ini semakin parah, maka akan semakin sangat bahaya, untuk kesehatanmu. Kamu mau, sebelum resmi menjadi dokter kamu malah yang dirawat di rumah sakit karena penyakit lambungmu sudah sangat parah, Ndhuk?" kataku lagi, Manis menggeleng lemah. "Nanti aku antar kamu ke rumah sakit. Sekarang aku antar kamu ke kampus tapi jangan lama-lama. Dan minum dulu wedang jahemu ini."     

"Iya, iya, Kangmas," jawabnya pada akhirnya.     

Kukecup keningnya, membuat Manis tampak memandangku dengan mata nanarnya. Nanar, bukan berarti dia menangis, atau sedih. Tapi karena efek tubuhnya yang benar-benar sedang ndhak sehat ini.     

"Duduk di sini, aku ambilkan air untukmu membersihkan diri, dan kuambilkan baju ganti, ya," kataku lagi.     

Aku langsung bergegas mengambil ember dan handuk, kuberi air hangat-hangat kuku. Kubasuh tubuhnya sampai bersih, kemudian kupakaian pakaiannya dengan telaten. Manis agaknya segan, tapi dia ndhak mengatakan apa-apa. Gestur tubuhnya yang lemah tampak kaku, tapi aku terus menuntunnya dengan penuh perhatian.     

"Kangmas aku ini ndhak sakit keras, masih bisa pakai baju sendiri, toh."     

"Sudah, Sayang, ndhak usah membantah. Lha wong suamimu tercinta ini ingin merawatmu kok ndhak boleh," kubilang.     

Manis kembali diam, kemudian dia memandang ke arahku dengan mengerucutkan bibir mungilnya itu.     

"Terimakasih," katanya kemudian.     

"Terimakasih? Cium, dong," pintaku.     

Malu-malu Manis langsung mengecup pipiku, kemudian cepat-cepat dia menarik wajahnya dariku. Dia kembali mengulum senyum, benar-benar tampak begitu sangat lucu.     

"Sudah siap, ayo kita berangkat," ajakku.     

Manis langsung kaget, tatkala tubuhnya kugendong. Dia langsung memandangku, mata bundarnya itu tampak berkedip-kedip dengan sangat lucu.     

"Kangmas apa-apaan, toh? Kok digendong," katanya. "Aku bisa jalan sendiri, Kangmas."     

"Serius? Kalau sampai kamu berjalan sendiri terus jatuh, kamu ndhak akan boleh pergi ke mana pun, Sayang."     

Manis kembali diam, agaknya dia paham dengan kondisi tubuhnya sendiri. Bahkan, dia benar-benar ndhak akan sanggup berjalan jauh.     

"Nanti kita mampir beli bubur dulu, ya, Ndhuk. Kamu harus makan. Tadi, aku sudah mencoba membuat, tapi gosong. Suwoto kucoba suruh mencari, tapi ndhak ada yang jual di sekitar sini."     

Manis mengeratkan rengkuhannya, kemudian dia mengangguk menjawabi ucapanku. Aku tersenyum melihatnya menjadi tampak manis dan penurut ini.     

"Kamu mau bubur apa, Sayang? Bubur ketan hitam, bubur sumsum, bubur ayam, atau bubur kacang hijau?" tanyaku,     

Kini aku sudah berjalan menuju keluar rumah, kemudian kami masuk ke dalam mobil. Manis memandangku, kemudian dia kembali menunduk. Aku sama sekali ndhak tahu, kalau dia sekarang jadi pendiam seperti itu. Apa karena dia sakit, makanya dia ndhak punya tenaga untuk menjawabi ucapanku?     

"Bubur kacang hijau, Kangmas. Aku juga pingin serabi."     

"Serabi?" tanyaku mengulang ucapannya. Di mana di sini ada yang jual serabi? Sebab meskipun kami sudah bertahun-tahun tinggal di sini, jujur kami jarang sekali keluar dan mencari jajanan atau makan di luar. Kami sudah terbiasa dengan kebiasaan yang ada di kampung, jika memasak dan memakan makanan rumah adalah hal yang sangat menyenangkan. "Oke, nanti aku suruh Suwoto yang mencarikannya, ya?"     

"Ndhak mau, aku muanya Kangmas saja."     

"Aku?" tanyaku lagi yang tampak bingung. Manis pun mengangguk lemah. "Ya sudah, nanti kita cari setelah ke kampus, dan periksa ke rumah sakit, ya," tawarku. Manis pun akhirnya tersenyum, kemudian dia tertidur.     

Lihatlah, bagaimana pucat wajahnya itu. Bahkan matanya tampak berkantung. Perutnya katanya benar-benar ndhak enak, sakit. Aku takut jika maag itu semakin parah. Kuhelakan lagi napasku, sebenarnya aku sudah ndhak sabar untuk langsung pergi ke rumah sakit. Tapi, aku juga ndhak mau kalau sampai Manis marah karena dia terlalu keras kepala untuk ingin pergi ke kampus dulu. Tapi, ndhak apa-apa, setelah dia makan bubur nanti, pasti dia akan bertenaga.     

Dan rupanya, apa yang kupikirkan keliru. Meski makan bubur yang diinginkan Manis pun, Manis tetap saja muntah. Hingga kami melakukan kesepakatan, kalau hari ini Manis ndhak akan ke kampus dulu. Untuk urusan skripsi, biar nanti aku hubungi rektornya, enaknya seperti apa. Toh katanya, skripsinya sudah beres, tinggal mengumpulkan semua babnya untuk dijadikan satu. Yang sekarang, terpenting adalah kesehatan istriku. Apa pun itu yang terjadi. Sebab kurasa, Manis benar-benar sangat lemas sekarang.     

"Sayang, kamu masih kuat, kan?"     

"Aku sudah ndhak apa-apa, lho, Kangmas. Beneran!" katanya. Memaksa tersenyum lebar seolah semuanya baik-baik saja. "Nanti ke apotek, beli obat maag saja, ya. Nanti juga sembuh," bujuknya lagi, dengan wajah memelasnya itu.     

"Tapi kita sudah sampai di rumah sakit. Kalau kamu periksa, kan, aku jadi tenang dan tahu sebenarnya kamu sakit apa."     

"Kangmas—"     

"Lho, itu bukannya mobilku?" tanyaku, sembari melihat ke arah parkiran depan. Dan ndhak lama setelah itu, keluarlah Suwoto, sembari menebarkan pandangannya, mencari-cari sesuatu.     

"Lho, Paklik Suwoto bisa naik mobil, toh, Kangmas? Aku baru tahu," kini giliran Manis bergumam. Aku melirik ke arahnya, dia tampak memang sudah jauh lebih baik dari tadi. Apa benar dia sudah baik-baik saja sekarang?     

"Ndhak tahu, tapi itu benar-benar dia. Aku keluar dulu, ya, Ndhuk," izinku. Manis mengangguk, aku pun langsung keluar mendekat ke arah Suwoto. Apa yang dia cari di sini, kenapa dia sampai clingak-clinguk seperti ini.     

"Suwoto,"     

"Juragan!" katanya, dengan wajah yang sangat panik. "Ada masalah gawat, Juragan. Masalah gawat!" katanya lagi, dan itu benar-benar membuatku bingung bukan main.     

"Masalah gawat apa, toh? Mbok ya kalau bicara itu pelan-pelan begitu, lho."     

"Di Kemuning sedang bahaya, Juragan! Para warga terkena wabah! Dan mereka benar-benar butuh bantuan, Juragan!"     

"Apa? Wabah apa, Suwoto?"     

"Saya juga ndhak tahu, tadi Sobirin telepon. Katanya ini benar-benar perkara bahaya. Juragan dan Ndoro Manis diminta lekas pulang untuk memambantu."     


Tip: You can use left, right, A and D keyboard keys to browse between chapters.