JURAGAN ARJUNA

BAB 260



BAB 260

0Kulihat Manis yang masih duduk di dalam mobil, aku benar-benar sangat bingung sekarang. Sebenarnya, apa yang terjadi sampai-sampai Romo sangat membutuhkanku seperti ini?     
0

"Sebenarnya apa yang terjadi? Mereka terkena wabah apa, Suwoto?" tanyaku yang masih benar-benar bingung. Apa yang harus kulakukan sekarang? Jika aku mengajak Manis untuk kembali, bagaimana dengan kuliahnya? Bagaimana juga dengan penyakit lambungnya? Namun jika aku tinggal, dia di sini dengan siapa? Dia akan sendirian, dan aku sama sekali ndhak mau jika itu sampai terjadi.     

Kulihat, Manis tampak tergopoh-gopoh keluar dari mobil, kemudian dia mendekat ke arahku, juga Suwoto.     

"Sebenarnya, ada masalah apa, Paklik Suwoto? Apa yang sedang terjadi? Kenapa Paklik ada di sini? Bukankah Paklik ndhak bisa mengemudi mobil? Bagaimana bisa Paklik sampai nekat mengemudi mobil sampai di sini? Apa gerangan yang Paklik Cari di sini?"     

Suwoto menundukkan wajahnya, dia kemudian memandang ke arahku, dan Manis tampak bergantian. Diberondong pertanyaan seperti itu, pasti membuat Suwoto agaknya bingung.     

"Saya ke sini untuk mencari Juragan, dan Ndoro. Sebab saya mendengar sedari pagi jika Juragan hendak membawa Ndoro Manis pergi ke rumah sakit. Dan di sini adalah rumah sakit terdekat dari kampus Ndoro...," jawabnya atas satu pertanyaan dari Manis. "Dan perkara mengemudi, sebenarnya tatkala saya ada di Kemuning, Sobirin telah mengajari saya sedikit demi sedikit, sebab dia merasa jika hal itu benar-benar sangat berguna. Sebab dia akan sangat jarang untuk bisa berada di samping Juragan Arjuna. Dan tadi, adalah hari pertama saya mencoba ilmu yang diberikan oleh Sobirin, Junet pun juga bisa mengemudi, sekarang," jawabnya lagi. "Dan perkara ada masalah, ini adalah masalah yang sangat serius, katanya, Ndoro, Juragan. Tadi Sobirin menelepon, jika di Kemuning sedang ada wabah. Awalnya, di perkebunan warga ditumbuhi banyak sekali jamur barat, Ndoro, Juragan, yang saya sendiri ndhak tahu jamur barat itu seperti apa. Kata Sobirin, selama ini saat musim jamur itu, para penduduk kampung sering memanennya dan dibuat lauk seperti dipepes atau ditumis. Tapi entah kenapa, tatkala mereka setelah makan itu, katanya perut mereka menjadi sakit, mereka muntah-muntah, demam tinggi, kemudian tubuhnya muncul bintik merah kebiruan, Ndoro, Juragan. Bahkan saat ini sudah ada beberapa korban jiwa, katanya."     

"Kenapa hal ini bisa terjadi? Bukankah jamur itu biasa diolah oleh warga kampung? Dan selama ini ndhak terjadi apa-apa, toh," imbuhku. Aku juga benar-benar merasa aneh dengan semua ini. Apakah benar ini waktunya jamur-jamur itu untuk tumbuh?     

"Kangmas, di Kemuning bukankah musim penghujan?" tanya Manis, aku menggeleng. Karena memang benar ini masih masuk musim kemarau yang cukup panjang. "Sekarang, ayo kita kembali ke Kemuning, Kangmas. Penduduk kampung sedang membutuhkan kita. Romo, dan Biung pasti sangat khawatir sekarang. Ayo, Kangmas, kita harus segera ke sana."     

"Tunggu...," kataku menahan Manis yang sudah menyambar lenganku untuk diajak masuk ke dalam mobil. "Kita sudah di rumah sakit, alangkah elok kalau kita periksa kesehatanmu dulu, Sayang," bujukku. Tapi, Manis menggeleng kuat-kuat, sudah benar-benar bisa ditebak, kalau dia akan menolak mentah-mentah ajakanku ini.     

"Sayang, aku ndhak apa-apa. Aku sehat, aku sudah pulih. Nanti kita bisa beli obat maag di apotek, toh? Sekarang aku sudah bisa berdiri dan berjalan sendiri. Percaya sama aku kalau aku sudah baik-baik saja, Sayang," jawabnya seraya merayu.     

"Lantas, kuliahmu bagaimana? Aku ndhak mau kalau sampai kuliahmu terganggu dengan adanya masalah ini," kataku lagi.     

Iya, benar, aku sama sekali ndhak mau menganggu kegiatannya menuntut ilmu. Sebab yang aku inginkan dia cepat-cepat lulus, agar dia ndhak selalu kepikiran dengan kuliahnya, dan membuatnya ndhak mau makan, sakit seperti ini benar-benar adalah hal di batas rasa toleran yang benar-benar enggan aku biarkan begitu saja.     

"Perkara kuliahku, Kangmas ndhak perlu kuatir. Semua tugasku sudah sangat beres, dan aku tinggal menunggu sidang. Nanti, aku bisa izin kepada dosenku untuk meminta cuti barang dua minggu, atau satu bulan sembari menunggu panggilan sidang skripsi. Kangmas, aku juga ada kenalan dokter yang sangat mumpuni di bidang ini. Kita bisa minta bantuannya turut serta, Kangmas."     

"Masalah dokter, kamu ndhak usah khawatir, Kangmas juga juga punya kawan yang sangat mumpuni. Jadi, bagaimana? Kamu benar-benar sudah siap untuk kembali ke Kemuning dan membantu di sana? Hitung-hitung ini adalah pengabdianmu, aku akan mengatakan perkara ini kepada rektor, agar apa yang kamu lakukan di sana dihitung sebagai tugas tambahan. Tapi ingat, Sayang, aku ndhak akan pernah membiarkanmu sampai sakit hanya karena kamu saking semangatnya menangani hal ini. karena kamu ingin berbakti dan mengabdikan hidupkmu kepada warga kampung. Aku mau, kamu sembuhkan dulu sakitmu itu. Setelah kamu benar-benar sehat, kamu boleh melakukan apa pun di Kemuning."     

Manis langsung merengkuh lenganku, kemudian dia tersenyum malu-malu. Mengangguk, sembari menyembunyikan wajahnya di dadaku.     

"Nanti kita setelah sampai beli serabi. Katanya kamu pingin serabi. Ada serabi enak di Berjo," kubilang. Membuat Manis langsung memandang ke arahku.     

"Benar, Kangmas? Kita beli serabi?" tanyanya, yang seolah serabi itu adalah permintaan yang benar-benar mahal, untuk mengabulkannya mustahil.     

"Apa toh yang endhak buat kamu, Sayang. Jangankan serabi, penjual dan warung-warungnya pun kalau kamu minta aku langsung beli," ucapku menggodanya. Manis langsung mencubit perutku, membuatku pura-pura kesakitan.     

"Kangmas ini ada-ada aja, toh. Nanti aku mau minta rembulan," katanya lagi. aku hanya tersenyum mendengarnya berkata seperti itu.     

"Jangankan rembulan, hatiku saja kalau bisa kuambil dan kuberikan kepadamu. Agar kamu tahu, di dalam hatiku hanya ada namamu."     

"Ehm, ndhak percaya aku," katanya lagi.     

"Serius ini, lho. Mau bukti?"     

"Coba mana buktinya?"     

"Mau bukti apa?"     

"Ehm, apa, ya?"     

"Ehm ehm!" dehem Suwoto, yang berhasil membuatku dan Manis menoleh ke arahnya. Duh Gusti, sampai lupa kalau ada Suwoto di sini.     

"Sampai lupa kalau di sini orangnya ada tiga. Tak pikir tadi hanya dua, kan biasanya kalau ada pasangan yang berduaan, yang ke tiga itu setan," celetukku, Manis kembali melotot.     

"Jadi, kapan kita bisa berangkat ke Kemuning, Juragan?" tanya Suwoto, mengabaikan candaanku sebelumnya.     

"Sekarang kita pulang dulu ke rumah, mengemasi barang kemudian segera berangkat. Jangan lupa, Ucup dan tiga kawan Bima beritahu untuk sering-sering mengunjungi rumah kita. Agar rumah kita ndhak suwung," kubilang.     

"Siap, Juragan. Saya akan segera memberitahu Ucup masalah ini."     

Setelah mengatakan itu, aku dan Manis langsung kembali pulang. Tentu, setelah membeli obat, serta meminta izin secara langsung ke kampusnya. Setelah semuanya beres, kami berkemas, kemudian kembali ke Kemuning.     

Aku hanya bisa berdoa kepada Gusti Pangeran, semoga warga kampung ndhak kenapa-napa, semoga semuanya baik-baik saja. Sebab aku ndhak mau kalau sampai wargaku sampai banyak korban hanya karena semua tumbuhan yang bernama jamur. Ya, aku ndhak mau itu terjadi.     


Tip: You can use left, right, A and D keyboard keys to browse between chapters.