JURAGAN ARJUNA

BAB 261



BAB 261

0Hampir tengah malam, kami baru tiba di Kemuning. Suasana di kampung ini benar-benar lebih memprihatinkan dari pada biasanya. Sebab, Kemuning benar-benar sangat sepi, seolah dengan seketika disulap menjadi kampung mati. Bahkan, ndhak ada satu pintu pun terbuka, satu lampu atau lampu teplok yang menyala. Ini benar-benar sangat mengerikan.     
0

Aku kembali menelan ludah, aku sama sekali ndhak paham dengan apa yang sebenarnya terjadi. Sebab kurasa, yang salah ada pada jamurnya, atau malah di kapan jamur itu tumbuh.     

"Musim kemarau apakah bisa membuat jamur-jamur yang dapat dimakan bisa berubah menjadi jamur beracun yang mematikan, Set?" tanyaku, kepada salah satu kawanku dulu di Universitas, yang kebetulan dia bekerja di salah satu rumah sakit besar di Jakarta. Dan dengan suka rela dia mau kuajak ke sini, sebab kebetulan, dia juga sedang melakukan penelitian perihal racun pada tumbuh-tumbuhan. Entah penelitian apa itu, aku pun ndhak paham.     

"Aku sendiri belum bisa memastikan, Arjuna. Sebab aku belum tahu jenis jamur apa yang sebenarnya dikonsumsi oleh warga kampungmu. Bisa jadi karena mereka tumbuh di musim kemarau, membuat jamur-jamur itu beracun, atau malah memang dari awal jamur itu beracun tapi mereka tidak tahu. Aku sudah memberitahu beberapa temanku, tim mereka akan ke sini besok siang paling lambat."     

Aku mengangguk menjawabi ucapan Setya, kemudian aku kembali diam. Melirik ke arah Manis yang sudah terlelap sekarang. Sebentar lagi sudah sampai rumah.     

"Nanti istriku bimbing, meski aku sudah melarang dia ikut campur. Tapi, dia sangat keras kepala untuk sekadar membantu warga yang ada di sini. Maklum saja, cita-citanya untuk bersekolah di kedokteran tidak lain adalah untuk membangun sebuah klinik, untuk membantu warga kampung dalam hal mengurus kesehatan mereka. Mendengar kabar ini, dia benar-benar terpukul, dan merasa bertanggung jawab, Set," ucapku.     

Setya tampak tersenyum, kemudian dia menoleh ke belakang, maklum saja dia saat ini duduk di samping Suwoto, yang mengemudikan mobil.     

"Aku pahan, kamu tidak usah cemas. Aku pasti akan membantu istrimu agar dia mendapatkan nilai paling bagus di kampusnya," jawab Setya mantab.     

"Kamu memang kawanku,"     

"Aku tidak mau punya teman sepertimu," ketus Setya.     

Aku langsung mencibir, mendengar jawabannya seperti itu, kemudian dia menebarkan pandangannya, saat mobil kami berhenti. Lama, Setya hanya diam, dia bahkan ndhak keluar dari dalam mobil.     

"Kamu mau tidur di dalam mobil?" tanyaku. Setya tampak mengerjap, kemudian dia tersenyum kaku, keluar sambil membawa tas ranselnya.     

"Ini rumahmu, Jun?" tanyanya, aku ndhak menjawabi pertanyaan anehnya itu. "Keren, baru kali ini aku lihat rumah khas Jawa kuno yang benar-benar besar, dan terawat apik seperti ini. Pantaslah kamu seorang Juragan. Bayangkan saja jika rumahmu ini dijual, bisa laku milyaran!"     

"Kenangan yang ada di dalam rumah ini jauh lebih mahal dari pada rumah ini sendiri," kataku, sembari menepuk bahunya. Kemudian aku menepuk-nepuk pipi Manis, istriku tampak menggeliat ndhak jelas, untuk kemudian dia membuka matanya perlahan. Pandangannya tampak menyusuri tempat ini, kemudian dia baru duduk dengan tegap. "Sudah sampai, Sayang, ayo turun," ajakku.     

Manis mengangguk, kemudian dia keluar dari mobil. Setya tampak melihat Manis dengan tatapan aneh, bahkan alisnya tampak berkerut.     

"Kamu sakit, Manis?" tanyanya.     

Manis kembali tersenyum sembari memijat lehernya sendiri, kemudian dia kembali tersenyum simpul. "Iya, Pak Dokter. Karena beberapa minggu terakhir kurang tidur, kurang makan, dan stres karena skripsi, akhirnya aku ambruk juga. Tadi pagi muntah-muntah, tidak bisa masuk makanan yang kumakan. Ini sudah beli obat maag tadi di apotek," jawabnya panjang lebar. Iya aku tahu, sejatinya kita harus menjelaskan gejala dan penyebab penyakit kita secara rinci, tapi kan setya ndhak mau memeriksa penyakit Manis, toh.     

"Tadi mampir makan, kan? Dan kamu sudah bisa makan siang tadi? Apa tadi kamu sudah minum obat?" tanya Setya lagi.     

"Belum minum obat, Pak Dokter. Ya, mungkin sakitnya sudah sembuh," jawab Manis seadanya.     

Setya tampak mengulum senyum, kemudian dia mengangguk-anggukan kepalanya, seolah-olah dia sudah tahu jawaban dari penyakit Manis yang sebenarnya.     

"Sudah tidak usah diminum itu obatmu, besok juga kamu akan mual-mual lagi, kalau dugaanku tidak salah," jawabnya, langsung berjalan mendahului kami, sembari melirik ke arahku dengan senyum-senyum ndhak jelas.     

"Dasar edan (gila)," gumamku.     

Aku langsung menarik tangan Manis untuk kuajak dia masuk ke dalam rumah. Setelah kuketuk pintu, hampir semua penghuni menyambut kedatangan kami. Terlebih itu adalah Romo, dan Biung. Keduanya tampak menangis, seolah ada beban yang teramat berat yang mereka pikul sekarang.     

"Romo, Biung, kenapa kalian tampak bersedih seperti ini, toh?" tanyaku, mencoba untuk menenangkan pikiran mereka. "Dengar, kalian ini bukan Gusti Pangeran, yang hidup dan mati manusia merupakan tanggung jawab kalian. Kalian juga bukan lurah, yang harus merasa terbebani dengan semua ini. Kalian hanya seorang Juragan, kalian juga bukan Gusti Pangeran, Romo, Biung. Jadi, aku mohon kepada kalian, tepis semua rasa beban yang ada pada kalian itu, sebab sejatinya penyakit, kematian, takdir, dan apa pun yang dialami orang lain bukanlah tanggung jawab kalian," kesalku. Aku benar-benar ndhak suka dengan pemikiran Romo dan Biung. Sebuah pemikiran seolah mereka bisa menahan beban tanggung jawab. Karena sehebat apa pun, mereka hanyalah manusia biasa. Ndhak akan yang bisa melawan Gusti Pangeran jika sudah berkehendak dengan kuasa-Nya.     

"Benar apa kata Kangmas, Romo, Biung. Kalian jangan terlalu cemas, kita atasi bersama-sama, dan berdoa. Sebab aku yakin, wabah ini pasti akan dilalui dengan sangat baik. Lihat...," kata Manis terhenti, kemudian dia memandang ke arah Setya. "Ini, Kangmas mengajak kawannya, seorang Dokter yang sangat hebat dan ahli di bidang ini, Romo, Biung. Dan besok, tim medisnya akan ke sini untuk membantu. Jadi, kalian ndhak usah cemas. Sudah ada orang yang paham di bidangnya yang aku yakin akan menolong warga kampung ini, Romo, Biung. Jadi, kalian ndhak usah cemas lagi. Sebab mereka pasti akan sembuh, percayalah."     

Romo tampak tersenyum, kemudian dia mengelus pipi Manis, kini Biung pun memeluk tubuh Manis.     

"Terimakasih, Sayang, kamu sudah sangat peduli, dan mau kembali ke sini. Sekarang, Romo, dan Biung ndhak akan cemas lagi. kita akan hadapi semua ini bersama-sama, toh,"     

"Iya, kita akan menghadapi semua ini bersama," imbuhku.     

Mereka langsung tersenyum, dan mempersilakan Setya untuk masuk, untuk sekadar duduk dulu sebentar. Biasalah Romo, kalau ada kawan atau tamu siapa pun itu, harus dijamu terlebih dahulu sebelum tamu itu pergi ke kamarnya untuk beristirahat.     

"Ya sudah, lebih baik sekarang kita masuk dulu, toh. Kita bahas masalah ini di dalam sambil makan-makan," ajak Romo pada akhirnya.     

Semuanya langsung mengangguk, terutama Setya. Meski dia memakai Bahasa Indonesia, tapi seendhaknya dia paham dengan bahasa medok kami. Bagaimana lagi, tatkala kuliah dulu dia terlalu sering berkawan denganku.     


Tip: You can use left, right, A and D keyboard keys to browse between chapters.