JURAGAN ARJUNA

BAB 174



BAB 174

0"Lagi pula, aku rasa di dunia ini ndhak akan ada satu orang pun yang lebih dan lebih khawatir perkara Kangmas kalau bukan Biung, dan Romo. Jadi kurasa, akan menjadi hal yang lumrah jika di saat seperti ini mereka sangat membutuhkan Kangmas. Mereka ingin berbagi keresahan mereka. Mereka butuh kawan untuk bercerita, mengeluarkan gundah hati mereka, Kangmas. Karena itulah salah satu dari tugas seorang anak, toh. Untuk menjadi tempat berbagi orangtua, tatkala orangtua kita sudah tua nanti. Dan aku yakin, Biung, dan Romo ndhak akan marah dengan Kangmas. Mereka hanya rindu. Ya, rindu karena ingin melihat anak kesayangannya mengunjungi mereka."     
0

Aku diam sejenak, tatkala Manis sudah berhenti bicara. Kemudian, kuhirup napasku dalam-dalam agar bisa mengisi dadaku yang sangat sesak. Rasanya terasa begitu ngilu, tatkala udara itu mulai masuk ke dalam paru-paru. Seolah ribuan duri tengah menusuk dengan cara yang sangat sempurna. Tapi, aku sama sekali ndhak tahu jika duri itu yang nantinya akan membunuhku secara berlahan dan menjadikan kepingan-kepingannya hilang ndhak tersisa.     

"Romo sakit," kubilang pada akhirnya. Manis yang awalnya menunduk dengan wajah tenangnya itu, langsung menatapku dengan pandangan tegang dan penuh tanya. Sementara aku, emosi dan rasa bersalahku kini mulai menyeruak dengan cara nyata. Kucengkeram kuat-kuat stir mobilku, mencoba menahan semua gejolak yang ada di dalam hatiku. "Sudah seminggu ini Romo sakit," kataku lagi.     

Mata bundar Manis tampak nanar, kemudian dia buru-buru menghadap ke depan. Mengusap kasar pipinya yang aku yakin telah basah karena air matanya.     

Bodoh, Arjuna! Endhakkah kamu sekarang tahu, siapa saja yang terluka dan kecewa karena rasa pengecutmu itu? Bukan hanya kamu, bukan pula hanya orangtuamu, akan tetapi istrimu juga. Bodoh kamu, Arjuna!     

"Lantas... lantas bagaimana keadaan Romo sekarang? Apakah sudah membaik? Romo sakit apa, Kangmas?" tanya Manis dengan suara seraknya. Rahangku mengeras mendengar suara yang terdengar sangat pilu itu. Bagikan melodi yang mampu menyayat hatiku sekali waktu. "Pantaslah Paklik Junet sampai semurka itu. Romo sakit...," Manis tampak kembali menunduk, isakannya yang samar kini terdengar begitu sangat menyakitkan. "Romo sakit pasti karena rindu Kangmas,"     

"Ndhak usah seperti itu," kubilang, meski hatiku terus menyalahkan diri sendiri, tapi sebisa mungkin aku ndhak menunjukkannya kepada Manis. Karena apa? Karena aku ndhak mau, Manis akan semakin menyalahkan dirinya sendiri. Sebab dia merasa jika penyebab utamanya adalah dia. "Kamu tahu, ada yang mengatakan ini kepadaku. Bahwa takdir seseorang, bahkan kesukaran seseorang bukanlah tanggung jawab dari orang lain. Lantas, setelah tahu akan hal itu. kenapa kamu malah menjadi seperti ini?"     

"Maafkan aku, Kangmas."     

Aku hanya tersenyum samar, kemudian mengemudikan mobilku semakin kencang membelah jalanan kota Jakarta.     

"Kangmas, kita mau ke mana? Ini bukanlah arah jalan pulang."     

"Ini adalah arah jalan pulang, Ndhuk," kataku, masih menampilkan senyum samar kepada istriku.     

"Maksud Kangmas?"     

"Ya, jalan pulang. Jalan pulang ke kampung halaman,"     

Mendengar hal itu, Manis langsung tersenyum lebar. Matanya yang nanar kini bukan lagi menampilkan kesedihan, akan tetapi sebuah kebahagiaan yang benar-benar ndhak terperi.     

Kugenggam erat tangannya, seolah ingin meyakinkan dirinya jika semuanya akan kembali seperti semula. Jika semuanya akan baik-baik saja. Manis tampak menyenderkan kepalanya di bahuku, kemudian dia menggenggam lenganku dengan begitu lembut.     

"Kangmas tahu, hari ini adalah hari yang benar-benar sangat berarti untuk hidupku," katanya. Aku pun ndhak tahu, hari yang berarti dalam hidupnya dalam rangka apa? Toh kurasa, hari ini ndhak ada hari bagus-bagusnya, semuanya menjadi sial dari segala arah dan hal itu benar-benar sangat menyebalkan. "Musibah ini telah membuat Kangmas merubah pikiran Kangmas, dan akhirnya kita bisa kembali ke Kemuning meski itu hanya untuk sebentar, hal itu sudah benar-benar membuatku senang bukan kepalang. Terlebih," Manis kini melihat ke arahku. "Ada aku, jika Kangmas merasa ndhak sanggup dan ndhak kuat untuk berdiri sendiri sembari tahu masalah-masalah yang ada di sana. Ada aku yang selalu ada di samping Kangmas dalam keadaan suka maupun duka."     

Aku hanya tersenyum saja mendengar dia mengatakan itu. Meski itu hanya sebuah kalimat yang sangat sederhana, tapi entah kenapa kalimat itu benar-benar seperti mantra. Dia bekerja dengan sangat nyata. Hatiku yang awalnya gundah-gulana kini seolah menemukan titik terang di sudut sana. Memberikan rasa hangat yang sangat luar biasa, bahkan bisa untuk sekadar menghangatkan hatiku yang nyaris membeku tadi.     

*****     

"Duh Gusti, Juragan Arjuna! Juragan Arjuna pulang!"     

Ya, itu adalah hal yang kudengar tatkala aku menghentikan mobilku di pelataran. Seorang abdi dalem yang usianya cukup muda, yang aku tahu tadi sedang sibuk menyapu pelataran pun langsung membuang begitu saja sapunya, kemudian dia lari kocar-kacir ke dalam rumah, sembari meneriakkan hal itu.     

Penghuni rumah agaknya gaduh, bahkan aku bisa mendengar dengan samar. Langkah-langkah kaki itu berjalan terburu, bersamaan dengan suara-suara cicitan dari beberapa orang.     

Para abdi dalem pun semuanya keluar, wajah mereka tampak begitu sumringah tatka melihat keberadaanku. Dan sungguh, aku sama sekali ndhak menyangka, jika aku akan mengalami situasi seperti ini. Seolah aku merasa asing dengan kediamanku sendiri, dan melihat orang-orang itu malah seperti penghuni dari rumahku. Gusti, kenapa cara pandangku ini benar-benar sangat lucu.     

Kulihat, Bulik Sari berada di ambang pintu. Air matanya sudah keluar dengan sangat deras, tapi senyumnya tersungging dengan begitu nyata. Kemudian, dia buru-buru masuk kembali. Dan aku yakin, apa yang hendak dia lakukan.     

Semuanya langsung menunduk, ada yang membawa tas Manis, ada yang hendak melayaniku. Tapi, aku tolak semuanya hendak berjalan masuk ke rumah tapi lagi-lagi kakiku terhenti.     

Di sana, dari arah pintu sana. Ada dua pasang kaki, yang tampak sangat familier di mataku. Sepasang kakiku tampak berjalan dengan tertatih, karena sepasangnya sedang dengan sabar menyangga sepasang kaki lainnya. Kaki yang agaknya ndhak punya tenaga, kaki yang agaknya kehilangan kekuatannya. Dan kaki yang dulu selalu kupeluk tatkala aku sedang menangis karena suatu hal.     

Aku langsung berlari mendekat ke arah kaki itu, kupeluk dengan erat kaki yang kini tampak ndhak berdaya itu. ini, adalah kaki yang dulu berdiri dengan kokoh, dan gagah. Dan ini kaki sekarang begitu sangat rapuh. Ini adalah kaki yang menopang segala kehidupan semua orang yang ada di kediaman ini, dan sekarang kaki ini bahkan ndhak bisa untuk menopang dirinya sendiri. Gusti... aku hancur, aku hancur karena telah melihat hal ini.     

Kucium kaki itu denga khidmat, rasanya sudah lama aku sangat merindukannya. Terlebih, sosok si empunya kaki.     

"Romo... Biung...," kataku, sembari terisak. Bodoh, memang. Bagaiamana bisa, aku yang seorang laki-laki bisa menangis sampai seperti ini. "Romo... Biung, maafkan aku."     


Tip: You can use left, right, A and D keyboard keys to browse between chapters.