JURAGAN ARJUNA

BAB 175



BAB 175

0"Romo... Biung, maafkan aku."     
0

Ya, maaf. Bahkan, beribu kali aku mengatakan maaf pun percuma, sebab beribu kali maaf itu kuucap benar-benar ndhak akan memiliki arti apa-apa. Sebab kurasa, kesalahanku kali ini adalah besar adanya. Aku telah dengan egois meninggalkan orangtuaku, aku telah dengan egois mencampakan mereka begitu saja. Dan aku dengan egois hidup bahagia sendiri, tanpa peduli debgan semua yang mereka rasakan.     

Hancur, sedih, kecewa, dan sakit hati. Kurasa, orangtuaku telah merasakan itu semua karenaku. Dan kurasa, jika mereka ndhak memaafkanku adalah perkara yang sangat wajar adanya.     

Tapi aku langsung terdiam, saat tangan kokoh itu mengelus kepalaku. Mengelus kepalaku dengan begitu lembut. Elusan yang selalu aku terima tatkala aku kecil dulu, dan elusan yang akan selalu kurindu bahkan sampai ajal menjemputku. Sebab bagaimanapun, elusan itu adalah elusan yang ndhak akan pernah digantikan oleh manusia mana pun di dunia ini.     

"Akhirnya anak nakalku sudah pulang," dan kata itu, berhasil membuatku mendongak. Kuliat wajah Romo Nathan tampak tersenyum ke arahku.     

Aku langsung berdiri, kemudian memeluk tubuh Romo dengan erat. Tubuh Romo nyaris terhuyung ke belakang, tapi aku langsung menangkapnya dengan sangat sigap.     

Romo, biarkan untuk hari ini, anakmu kembali menjadi anakmu yang kecil lagi. Menumpahkan semua air mata dalam dekapanmu seperti ini. Agar semua rasa bersalahku, semua rasa ndhak bergunaku, dan semua rasa lainnya yang terus bergelayut di ujung hatiku mengilang menjauh. Aku hanya ingin memeluk Romo, dan Biung. Aku hanya ingin kalian berdua sekarang, ndhak peduli jika mungkin akan ada banyak orang, yang akan menyaksikan kejadian bodoh ini. Sebab aku, masih anak kalian, toh?     

"Maafkan aku, Romo... Biung. Maafkan aku...," kataku membuka suara. Romo, dan Biung tampak tersenyum, dan bahkan aku ndhak melihat satu rasa kekecewaan pun di mata mereka berdua. Dan hal itu lagi-lagi membuatku merasa terpukul berkali-kali. Aku yang telah berbuat curang, aku yang jahat kepada mereka. Tapi mereka selalu menerimaku dengan kedua tangan terbuka. Benar memang jika ndhak ada cinta yang tulus di dunia ini selain cinta orangtua kepada anak-anaknya. Dan kurasa itu benar-benar adanya. "Maaf karena aku telah menjadi anak pengecut, yang lari karena kalian sedang mengalami masalah yang sangat berat. Maaf, karena aku telah menghindar, dan ndhak ada untuk kalian tatkala kalian mengalami kesulitan. Aku picik, pikirku sempit. Yang kupikirkan hanyalah diriku sendiri, bagaimana bisa menghindari masalah kalian dengan cara pergi. Apa yang kulakukan adalah benar-benar hal yang sangat egois dan ndhak termaafkan, Romo, Biung, aku mohon, maafkan aku."     

"Kamu ini bicara apa, toh, Arjuna. Ndhak ada yang namanya anak lupa dengan orangtuanya itu ndhak ada. Apalagi kamu, anak kebanggan kami. Kamu ndhak pulang itu pasti ada sebab musababnya. Sebab kami tahu kamu, kami tahu kamu dari pada dirimu sendiri, Le (nak)."     

Aku kembali menangis di pelukan Romo, ucapannya benar-benar membuatku terenyuh luar biasa. Bagaimana mungkin, bagaimana bisa. Aku ndhak memikirkan mereka, di saat mereka terlalu banyak memikirkan tentang aku. Bagaimana mungkin aku terlalu pengecut dan meninggalkan mereka, di saat mereka bahkan ndhak percaya jika aku telah meninggalkan mereka. Gusti, sejatinya perkara ini benar-benar menamparku. Dan perkara ini benar-benar membuatku sadar jika, apa yang selama ini telah aku lakukan adalah sebuah kesalahan besar.     

"Asal kamu tahu, setiap kali Sobirin bertandang ke Jakarta, tatkala dia kembali dia selalu mengirim banyak cerita kepada kami. Tentang perkara kesuksesanmu, perkara niat dan usahamu yang sangat keras guna memperluas lahan-lahan perkebunan kita di sekitar Jakarta. Romo sangat senang. Terlebih, kabarnya kamu telah membeli sebuah kompleks rumah di Jakarta yang harganya ndhak murah. Kamu membeli satu kompleks itu karena kamu ingin beberapa abdimu tatkala berada di sana, mereka memiliki huniannya sendiri, kamu juga memilih rumah yang paling besar, berbanding terbalik dengan impianmu dulu, karena tatkala Romo, Biung dan adikmu bertandang ke sana kami bisa merasa nyaman menginap di sana. Jujur, Romo sangat terharu dengan itu. Terlebih...," ucapan Romo Nathan tampak terhenti, dia tampak ngos-ngosan. Kubantu Romo untuk duduk di kursi yang ada di balai tamu, pun dengan Biung. Kemudian, sembari menahan sakit Romo tampak duduk. "Terlebih kata Sobirin, kabarnya kamu memiliki sebuah ide yang sangat hebat, kamu ingin membuat sebuah pabrik minuman di Jakarta guna memperluas bisnis keluarga kita. Menyetarakan perekonomian keluarga dan orang-orang di sekitarnya, dan menciptakan lapangan kerja. Gusti, siapa yang ndhak akan terharu dengan semua itu, Arjuna. Orangtua mana yang ndhak bangga? Jadi, kesibukanmu dengan ndhak sempat ke sini adalah perkara yang sangat wajar. Lantas, kenapa kamu masih mengatakan jika kamu ini pengecut, jika kamu ini lari dari tanggung jawab? Tanggung jawab mana yang telah kamu tinggalkan? Faktanya, ndhak ada satu tanggung jawab pun yang kamu telantarkan."     

"Perkara pabrik itu, masih dalam tahap rancangan, dan perbincangan, Romo. Sebab banyak benar perkara, dan aspek yang harus benar-benar dipertimbangkan sebelum aku benar-benar yakin untuk membangun pabrik itu. Namun demikian, Suwoto telah berhasil mendapatkan tanah untuk mendirikan pabrik itu jika benar-benar siap untuk didirikan. Dan oleh sebab itu pun, aku pasti akan berbicara perkara ini dengan Romo dulu. Sebab, ndhak hanya kesiapan mental, dananya juga harus dipikirkan secara matang. Ini adalah proyek yang besar, Romo."     

Kini Biung tampak mengelus pundakku, dia tersenyum sangat hangat. Membuatku langsung mencium punggung tangannya. Kemudian, dia memandangku dengan pandangan yang sayu, pandangan lelah seorang Biung namun ndhak pernah ia katakan secara nyata.     

"Putraku, tampaknya kamu sudah sangat dewasa. Lihatlah, bagaimana pemikiranmu sangat luar biasa. Bahkan, di setiap kata yang kamu ucapkan, tampak telah kamu pikirkan masak-masak terlebih dahulu. Purtaku, Biung dan Romo selalu mendukungmu dalam melakukkan apa pun. Asal kamu telah berpikir masak-masak. Asal kamu telah tahu apakah itu benar yang terbaik apa endhak. Maka, kami sebagai orangtua akan selalu mendukung di mana pun kamu berada."     

Dan setelah Biung mengatakan itu, suansana menjadi hening. Romo tampak terdiam, ndhak mengatakan apa-apa. Kulihat tububuhnya yang bugar dulu kini seolah menghilang, terkikis oleh sang waktu. Padahal kurasa, usianya belum tua lah benar. Mungkin, karena pikirannya yang terlalu banyak. Dan sejatinya beban pikiran, benar-benar menguras tenaga pada titik yang ndhak dapat dielakkan.     

"Romo aku dengar Romo sakit. Romo sakit apa? Bagaimana dengan keadaan Romo apakah semuanya sudah membaik?" tanyaku pada akhirnya.     

Para abdi yang sedari tadi berdiri di pelataran pun kini mereka perlahan menundukkan wajahnya. Sementara Bulik Sari dan Bulik Amah tampak mengusap air matanya dengan kasar. Dan Biung hanya bisa diam, sembari pandangannya seolah menerawang jauh entah ke mana. Ndhak ada arah dan tujuan sekalipun.     

"Aku sudah ndhak apa-apa. Namanya juga orangtua, ndhak sakit itu ndhak akan lengkap rasanya," dia bilang. Mencoba tersenyum, tapi aku tahu jika Romo pasti kenapa-napa.     


Tip: You can use left, right, A and D keyboard keys to browse between chapters.