JURAGAN ARJUNA

BAB 176



BAB 176

0"Romomu sakit jantung, Arjuna," deg! Mendengar ucapan Biung, jantungku terasa berhenti berdetak. Mataku terasa nanar, melihat keadaan Romo sekarang. Ini ndhak mungkin, kan? Romoku ndhak mungkin terkena jantung, kan? Ndhak... ndhak... aku ndhak mau mendengar kenyataan sepahit ini. "Menurut dokter romomu terlalu memaksa dirinya, dan membebani dirinya sendiri dengan pikiran-pikiran akan masalah yang ada di sini. Hingga akhirnya, jantung romomu ndhak kuat untuk menahan ini semua."     
0

"Romo...."     

"Apa, toh. Percaya saja yang diucapkan oleh perempuan ayu itu. Hanya jantungku sakit, ndhak berarti aku akan sakit jantung lalu mati setelah ini, toh," Romo agaknya masih bersikap congkak seperti biasanya, tapi aku bisa melihat dengan jelas jika kesehatannya bahkan jauh dibanding dahulu. "Ndhak ada yang bisa mengambil nyawaku, ndhak ada yang bisa memisahkanku dengan Larasatiku. Apalagi hanya jantung sakit seperti ini. Toh, semuanya juga sudah baik-baik saja. Romo hanya butuh istirahat dan minum jamu. Setelah itu Romo pasti akan bugar lagi seperti sedia kala."     

Mendengar perkataan itu, Biung langsung memeluk Romo Nathan. Tangisannya terpecah dalam dekapan Romo Nathan.     

"Iya, aku tahu... ndhak ada yang bisa memisahkan kita. Jadi, kamu ini harus nurut dengan Dokter. Kamu harus banyak-banyak minum obat, dan istirahat. Ndhak usah mikir yang macem-macem. Rianti sudah dewasa, Arjuna juga sudah dewasa. Dan masalah perkebunan biarkan menjadi tanggung jawab yang muda-muda. Tugasmu sekarang itu, bukan lagi mengurus perkebunan. Bukan lagi menjadi seorang Juragan Besar. Tapi, menemaniku, selalu di sisiku dengan keadaan sehat dan bahagia. Dan menemaniku untuk menghabiskan masa tua kita. Kangmas, Biung tampak menggenggam erat tangan Romo. "Aku pernah merasakan sakitnya kehilangan. Jadi, aku ndhak mau merasakan kehilangan lagi. Dari pada aku kehilanganmu, lebih baik aku yang hilang lebih dulu—"     

Romo langsung menaruh jari telunjuknya pada bibir Biung, kemudian dia tersenyum lemah sambil mencium jarinya yang ada di bibir Biung. Semua abdi dalem langsung menundukkan wajahnya dalam-dalam, sebab mereka merasa ndhak pantas untuk melakukan kejadian romantis itu.     

"Ndhak ada yang boleh pergi. Kamu tahu... aku pun ndhak akan pernah bisa ditinggal olehmu. Jadi, mari kita buat perjanjian seperti ini,"     

"Apa?"     

"Kita akan menua bersama, menimang cucu bersama. Dan hilang pun bersama. Ndhak boleh ada satu di antara kita yang mendahului, dan curang. Jika salah satu di antara kita melakukannya, maka dialah yang akan mendapat hukuman. Bagaimana?"     

Biung langsung tersenyum, kemudian dia kembali memeluk tubuh Romo. Lalu, dia mengangguk lemah menyetujui ucapan pada Romo. Dan pada akhirnya, keduanya akan tetap sama. Meski senja adalah patokan dari usia keduanya.     

Aku kembali tersenyum melihat dua orang itu, kemudian aku menunduk sembari menggaruk tengkukku yang ndhak gatal.     

"Romo, Biung... bukankah ini terlalu kelewatan?" kubilang. Keduanya tampak memandangku dengan tatapan anehnya itu. "Ndhak sungkan, dengan... mereka?" kubilang lagi.     

Keduanya langsung menebarkan pandangan mereka kepada para abdi yang sampai detik ini masih menunduk. Untuk kemudian, Biung berangsut mundur. Duduk menjauh dari Romo Nathan. Kemudian dia tampak salah tingkah. Gusti, itu benar-benar perkara yang lucu sekali.     

"Amah, Sari... ada beberapa hal yang aku butuhkan, ayo ikut aku ke balai tengah sekarang. Sekalian memberitahu Rianti, jikalau Kangmas satu-satunya ini sudah kembali dari Jakarta."     

"Baik, Ndoro."     

Dan setelah kepergian Biung, semua orang yang ada di sana pergi. Tinggal aku, Romo, dan Manis pun meminta izin untuk berada di kamar. Mungkin, dia hendak memberiku ruang, memberiku kesempatan untuk bercakap berdua dengan Romo sekarang.     

Kuangkat kaki Romo untuk kuletakkan di atas pangkuanku, kemudian kupijat kedua kaki itu secara perlahan. Romo tampak memejamkan matanya, kemudian air mata itu tampak lolos dengan sangat nyata dari sudut matanya.     

Gusti, apa yang telah Romo pikirkan saat ini? kenapa bisa dia sampai menangis? Apakah pijatanku ini telah menyakitinya? Ataukah ada perkara yang saat ini telah menganggu pikirannya? Jika iya, maka aku ingin tahu. Aku ingin dia membagikan apa pun itu denganku. Aku ndhak mau dia terbebani sendiri seperti ini. Aku ingin dia selalu merasa jika akan selalu ada aku yang ada untuknya.     

"Romo ada apa? Kenapa Romo menangis? Apakah pijatanku ini sakit?"     

Romo menggeleng lemah, kemudian dia mengusap air matanya dengan kasar. Kemudian dia terseyum ke arahku.     

"Sakit dari mana? Bahkan saking enaknya aku menjadi terharu. Betapa beruntungnya aku memiliki seorang putra yang sangat patuh sepertimu, Le."     

Lagi, aku langsung menunduk. Perkataan Romo itu benar-benar seperti telah menamparku dengan sangat keras. Aku kembali menangis mendengar hal itu. Kata-kata sederhana tapi begitu banyak memiliki makna. Dan aku merasa benar-benar menjadi anak yang ndhak bergunanya karenanya.     

"Maafkan aku, Romo... maafkan aku."     

"Ndhak ada yang perlu minta maaf. Ndhak perlu dibahas-bahas lagi, toh," dia bilang. Setelah itu, dia menghirup napas dalam-dalam, sembari mendongakkan pandangannya ke arah atas. "Kenapa harus sakit ini. Apakah penyakit ini bisa sembuh?" gumamnya, yang lebih tepat kepada dirinya sendiri. Tapi, aku hanya diam. Sebab kiranya tugasku sekarang bukan menimpali ucapannya, melainkan menjadi pendengar setia untuknya. Agar dia bisa melepaskan semua keresahan yang ada di dalam hatinya. Agar seendhaknya, hatinya bisa lega. "Kamu tahu, Arjuna, dulu penyakit yang paling membuat Romo takut adalah satu. Yaitu, penyakit pikun. Sebab kalau pikun, akan hilang semua kenangan-kenangan indah Romo bersama dengan biungmu. Dan Romo ndhak mau hal itu terjadi. Aku ndhak mau kehilangan apa pun kenangan itu," Romo Nathan tampak menutup wajahnya dengan kedua tangannya, punggungnya pun tampak bergetar.     

Baru kali ini dalam seumur hidup, aku melihat Romo bisa sehancur ini. Baru kali ini dalam seumur hidup, aku melihat Romo ndhak berdaya seperti ini. Gusti, aku benar-benar ndhak berdaya dengan ini semuanya.     

"Romo ndhak perlu memikirkan hal itu. Bukankah Romo bisa menuliskan kenangan-kenangan indah Romo di sebuah buku? Dengan seperti itu, maka Romo akan tetap bisa mengenang kenangan-kenangan indah Romo bersama dengan Biung, toh?"     

Romo tampak tersenyum, kemudian dia menundukkan pandangannya lagi. Menghela napas panjangnya lagi, lalu dia mengangguk.     

"Dulu, Romo pernah dipaksa Biungmu untuk menulis sebuah buku. Dan itu masih tersimpan manis di rak buku. Sebab Biungmu berkata, kalau dia ingin mengabadikan kisah kami berdua lewat sebuah buku. Agar nanti, kisah itu ndhak hanya kami berdua yang mengetahuinya. Tapi, kalian juga. Bodoh, memang. Tapi tetap saja Romo lakukan."     

"Ditulis tangan, Romo?" tanyaku yang agaknya penasaran saat itu. Romo pun menggeleng.     

"Endhak, diketik pakai komputer, yang biungmu dapat dari mengancam Romo. Kemudian, Romo suruh kawan Romo untuk mencetaknya. Menjadi sebuah buku. Oh, ndhak... tepatnya dua buah."     

"Dua buah?"     

"Ya, karena Biungmu juga memiliki satu juga."     

"Benarkah itu, Romo?" tanyaku yang semakin penasaran. Jika benar ada, maka aku ingin membacanya. Sebab aku sangat penasaran dan tertarik dengan kisah cinta mereka. Terutama, Rianti. Dia paling harus membaca kisah ini.     

"Ada di balai kerja Romo, di tempat uang rahasia. Nanti Romo akan tunjukkan kepadamu. Jadi, suatu saat nanti. Pandai atau endhak kamu bercerita, kamu dan adikmu, Romo harap bisa menuliskan kisah kalian. Ndhak perlu beraturan, ndhak perlu yang indah-indah. Yang penting, kisah dan hal-hal yang terpenting dalam hidup kalian bisa terpatri dengan rapi di sana. Agar saat kalian lupa, kalian bisa kembali mengenangnya."     


Tip: You can use left, right, A and D keyboard keys to browse between chapters.