JURAGAN ARJUNA

BAB 177



BAB 177

0"Ah Romo, aku kan seorang laki-laki. Rasanya ndhak pantas sekali kalau aku menuliskan hal-hal seperti itu ke dalam sebuah buku. Tampak melankolis, bukanlah gayaku, Romo."     
0

"Coba saja, ndhak ada salahnya," Romo bilang lagi.     

Aku tersenym saja mendengar Romo mengatakan hal itu. Benar-benar sangat lucu. Ah, apa aku bisa? Apa nanti aku bisa barangkali menulis sebuah cerita tentang hidupku sendiri? Gusti, ini benar-benar sangat lucu.     

"Ya sudah, kalau begitu Romo tak antar ke kamar, ya? Duduk seperti ini tubuh Romo pasti ndhak akan nyaman. Aku akan memijit Romo di kamar. Dan menyuruh Bulik Sari membawakan bubur untuk Romo,"     

Romo pun mengangguk, kemudian dia kubantu untuk berdiri. Kupapah Romo yang jalannya benar-benar seperti terseok itu, kemudian aku masuk ke dalam kamar. Ndhak ada Biung di sana, mungkin Biung masih sibuk dengan para abdi dalem lainnya. Setelah kubaringkan Romo, aku kembali duduk di sampingnya, kemudian memijitnya.     

"Romo tahu ndhak, ada banyak sekali kekadian yang aku alami tatkala tiga tahun di Jakarta. Bahkan aku merasa, untuk Manis cepat-cepat lulus kuliah saja, Romo, biar segera kembali ke Kemuning."     

"Hal apa saja, itu?" tanya Romo, yang agaknya tertarik dengan ceritaku.     

"Kehidupan di Jakarta benar-benar berbanding terbalik seperti kehidupan di kampung, Romo. Mereka tipikal orang-orang yang ndhak bisa diatur. Orang-orang bebas dari berbagai aspek, baik pola pikir, pandangan hidup, kebiasaan, juga dalam bergaul. Ya, mungkin... ini juga yang menjadi salah satu pemicu Rianti ndhak betah dan sering pulang. Dan asal Romo tahu, pernah ada kejadian di luar nalar."     

"Perihal?"     

"Manis...," kataku. Romo tampak mengerutkan alisnya. Mungkin, rasa penasarannya semakin tinggi sekarang.     

"Iya, Romo... Romo tahu ndhak, lumrah dalam kodratnya, perempuan mencintai laki-laki, pun dengan sebaliknya, toh? Laki-laki mencintai perempuan. Tapi ada suatu kejadian yang benar-benar di luar nalar. Salah satu kawan sekelas Manis. Dia adalah perempuan, pendiam. Lebih pendiam dari pada orang-orang pada umumnya. Dalihnya adalah, dia pernah trauma karena telah diperkosa pamannya sampai hamil, untuk kemudian dia dipaksa untuk menggugurkan bayinya. Pun dengan sikap ayahnya yang kasar. Ayahnya ini, Romo, berpisah dengan ibunya, mereka berpisah karena ayahnya terjerat pesona daun muda. Dan ndhak hanya di situ saja. ibunya dibunuh oleh ayahnya. Begitulah kira-kira. Dan hal itu membuatnya menjadi membenci laki-laki. Dan bodohnya, dia suka menyakiti perempuan, Romo. Dia memperkosa perempuan-perempuan yang kehidupannya jauh lebih baik darinya. Dengan dalih, dia ingin mereka merasakan apa yang ia rasakan. Rasa sakit, rasa ndhak berdaya, dan juga rasa jijik. Dan Manis adalah korban selanjutnya menurut dia, Romo."     

"Lalu bagaimana? Apakah sekarang perempuan ndhak waras itu masih menjadikan Manis sebagai korban berikutnya? Apa kamu telah melakukan perlawanan untunya?" tanya Romo, dia tampak sangat cemas setelah mendengar ceritaku.     

"Semuanya aman, Romo... Romo ndhak perlu cemas mengenai hal itu lagi. Sebab, setelah kejadian Manis diculik oleh perempuan itu, aku dan Suwoto telah memul mundur dia. Dan kabar terbarunya adalah, jika dia telah berubah. Dia pergi ke kota lain, dan ndhak ada lagi di Universitas, Romo."     

Romo langsung menghela napas lega, kemudian dia kembali merebahkan kepalanya dengan rileks.     

"Syukurlah jika dia baik-baik saja. Aku ndhak mau kalau menantuku disakiti siapa pun lagi."     

"Nah itulah alasan kenapa aku memutuskan untik mencari rumah yang kiranya aman, Romo. Kemudian Suwoto mencarikanku, dan menemukan sebuah kompleks yang benar-benar setiap detilnya persis seperti saat aku hidup di sini. Rumah itu dari batah merah, dan beberapa bagian intinya menggunakan kayu-kayu serta bambu. Benar-benar terkesan alami dan asri. Dan aku berharap jika suatu saat, Romo, dan Biung bisa berkunjung ke sana. Semua orang bisa berkunjung ke sana."     

"Nanti, kalau Romo sembuh. Romo akan membawa seluruh rombongan untuk menginap beberapa waktu ke sana," jawab Romo Nathan.     

Aku kembali tersenyum, ndhak mendengar ucapan angkuh, dan pedasnya benar-benar membuatku rindu. Bahkan berkali-kali kupancing pun, Romo ndhak pernah mengatakan itu. Kulihat wajah Romo dengan seksama, entah kenapa melihat wajahnya yang lelah itu benar-benar membuatku sesak. Aku rindu Romo, aku rindu Romo yang dulu. Tapi, aku ndhak berani untuk mengatakannya. Sebab jika kalimat itu terucap, aku takut... aku takut jika ketegaran yang kubuat ini akan runtuh. Aku takut jika Romo pun akan hancur karenanya.     

"Jadi sekarang, ceritakan bagaimana keadaan di sini setelah aku tinggalkan. Apakah ada kejadian yang serius, Romo? Dan bagaimana dengan Rianti juga Bima? Apa yang terjadi di antara mereka?" tanyaku, seolah-olah aku telah menodongnya untuk mengatakan semua yang telah membuat hatinya sesak. Seolah-olah aku terlalu kentara untuk ingin tahu hal apa yang ia pendam sampai-sampai membuatnya menjadi sakit seperti ini.     

"Juragan!"     

"Juragan!"     

Aku lantas menoleh, belum sempat Romo menjawab ucapanku, Paklik Sobirin, Suwoto, dan Paklik Junet sudah berada di ambang pintu. Dengan dua abdi dalem yang menunduk dalam-dalam di sana.     

Aku langsung memalingkan wajahku, tatkala Paklik Junet memandang ke arahku. Endhak, aku ndhak marah dengannya. Hanya saja, aku ingin menteralkan hatiku saja. jika sejatinya benar adanya aku yang salah di sini.     

"Berhentilah memijatku, Arjuna. Ada banyak abdi dalem yang melihat. Aku ndhak mau, karismamu sebagai calon Juragan Besar hilang hanya karena memijat kaki romomu."     

"Romo, ndhak akan ada karisma apa pun yang hilang bagi seorang putra tatkala dia mengabdi dan berbakti kepada orangtuanya. Jadi, jangan pernah melarang atau menhentikanku untuk berbaki kepadamu."     

Romo kembali terseyum, kemudian dia mengelus lenganku sekilas. Dia kemudian memandang ke arah ketiga orang itu dengan tatapan dinginnya yang tajam.     

"Dasar para abdi dalem, dan adik sepupu ndhak tahu diri. Lancang benar membuka pintu kamar Juragan Besar tanpa mengetuk, dan tanpa lapor dulu ke pada abdi dalem yang ada di depan pintu. Dasar, kalian... ndhak tahu diri," ketus Romo Nathan.     

Betapa terperangah ketiga orang yang ada di sana, ketiganya langsung berlutut tepat di depan pintu, sembari menangis terharu. Sementara aku langsung memeluk Romo Nathan. Gustil, terimakasih... terimakasih telah mengembalikan Romo Nathanku seperti dulu. Terimakasih, Gusti... terimakasih.     

"Juragan Nathan... terimakasih Gusti, Juragan Nathan kami telah kembali. Terimakaskih!" kata Paklik Sobirin, sembari meraung-raung dengan tangisannya yang kelewat berlebihan itu.     

"Aku ndhak menyangka, jika Kangmas Nathan sudah bisa bicara selantang itu. Aku benar-benar terharu," imbuh Paklik Junet. Sementara Suwoto ndhak mengatakan apa pun.     

"Romo, terimakasih," kubilang. Romo Nathan menarik sebelah alis hitamnya itu. "Terimakasih telah menjadi romoku," aku kembali memeluknya dengan sangat erat, dan mencium aroma khas romoku. Benar-benar masih sama, aroma Romo, dari dulu sampai sekarang. Aroma khas seorang Romo yang akan menjadi pengingat bagi setiap anak-anaknya.     


Tip: You can use left, right, A and D keyboard keys to browse between chapters.