JURAGAN ARJUNA

BAB 178



BAB 178

0"Aku benar-benar terharu, aku ndhak menyangka jika Arjuna benar-benar akan kembali ke sini. Padahal kurasa, aku telah melakukan kesalahan besar. Aku telah berkata terlalu kasar, dan membentaknya. Terlebih, hal itu kulakukan di depan umum. Aku pikir dia akan marah dan ndhak pernah ke sini. Namun tatkala aku tahu jika dia sekarang ada di sini, aku benar-benar sangat terharu. Ternyata, keponakanku adalah pemuda yang telah dewasa. Dia bahkan telah mengesampingkan ego dan rasa sakit hatinya karenaku, kemudian memilih untuk berada di sini untuk menemui romonya. Gusti, terimakasih...," kata Paklik Junet yang memang kurasa dia sedikit berlebihan. Aku hanya diam, ndhak menjawabi dari ucapannya. Kemudian aku memilih untuk fokus kepada Romo Nathan. "Arjuna, maafkanlah aku. Maafkanlah Paklikmu ini, marahku bukan karena aku membencimu, marahku ini bukan karena aku ingin mengalidimu dengan cara yang egois. Hanya saja, aku melakukannya semata-mata karena aku peduli. Karena aku ingin melihat Arjuna—keponakanku yang seperti dulu, yang sangat peduli dengan orangtuanya, akan ndhak akan pernah bisa pisah jauh dari orangtuanya. Hanya itu, ndhak lebih. Jadi sekali lagi, Arjuna... maafkanlah paklimu ini, toh. Kamu mau memaafkanku, kan?"     
0

Lama aku ndhak menjawabi ucapan dari Paklik Junet. Sebab jujur, aku ndhak tahu bagian mana yang dia coba untuk aku dapat memaafkannya. Benar memang aku sekarang agaknya lebih sensitif, harga diriku yang entah sejak kapan terlalu tinggi sangat mudah tersinggung dan ndhak terima kalau direndahkan oleh orang lain. Akan tetapi aku juga sejatinya paham betul. Jika niat dari Paklik Junet bukanlah untuk memarahiku, bukan untuk melecehkan harga diriku, terlebih bukan untuntuk menjatuhkanku. Paklik ingin mengingatkanku tentu saja. Sebab dia sayang aku, ndhak lebih dari itu.     

"Kenapa toh Paklik minta maaf. Paklik ndhak ada salah apa pun denganku. Sudah sepantasnya, Paklik sebagai orangtua adalah hal yang sangat pantas untuk dilakukan. Memperingatkanku adalah perkara yang sangat wajar."     

Mendengar hal itu, Paklik Sobirin langsung tersenyum. Kemudian dia berdiri, melangkah masuk ke dalam kamar Romo lalu dia memelukku erat-erat. Kejadian ini, adalah kejadian penuh haru, memang. Namun kurasa, waktunya kurang tepat. Sebab bagaimanapun, aku seharusnya sudah tahu tentang masalah di tempat ini. Tapi lagi-lagi, di saat waktu yang kuanggap tepat, malah ada tiga begundal datang ke sini. Benar-benar mereka ini menyebalkan sekali.     

"Duh Gusti, Sobirin, Suwoto. Kenapa kalian berlutut di depan pintu seperti ini, toh? Apa yang kalian lakukan? Apa yang terjadi? Suamiku ndhak kenapa-napa, toh?" tanya Biung, yang kuyakin jika saat ini dia agaknya kaget melihat ada dua manusia yang dengan tampang melankolisnya ada di depan pintu sembari bersimpuh seperti itu. Aku juga ndhak tahu, belajar dari mana mereka sampai bisa melakukan apa-apa begitu berlebihan seperti itu. Dasar!     

"Oh, Ndoro Larasati, Ndoro Manis, maafkan kami...," kata Paklik Sobirin. Berdiri sembari menebas pakaiannya yang mungkin kotor, kemudian dia dan Suwoto menyingkir, sembari masih menunduk. "Kami hanya sangat terharu, melihat jika saat ini Juragan Arjuna sudah ada di sini. Berada bersama dengan Juragan Nathan. Terlebih, melihat kondisi Juragan Nathan yang sudah sangat membaik dari kemarin-kemarin. Itulah yang membuat kami merasa terharu dan bersyukur, Ndoro."     

Biung tampak tersenyum paham, kemudian dia mengajak Manis untuk masuk. Sembari membawa senampan makanan untuk Romo. Duduk di samping Romo, kemudian mengelus kepala Romo Nathan dengan sayang.     

"Kangmas, ayo bangun. Kita makan dulu, dan minum obat. Setelah ini minum obat," katanya.     

Romo Nathan langsung berusaha mengambil posisi duduk, membuatku dengan sigap membantunya. Untuk kemudian, Manis berdiri tepat di belakangku. Dan kami menyaksikan pemandangan yang sangat manis itu. Tatkala Biung dengan begitu telaten dan penuh cinta menyuapi Romo Nathan, dan Romo Nathan yang begitu patuh dan nurut disuapi oleh Biung dalam diam. Bahkan, bisa kulihat dengan jelas, tatapan Romo Nathan ndhak sedetik pun teralih dari wajah Biung. Tatapan memuja, dan tatapan penuh cinta. Tatapan yang membuatku sangat iri karenanya. Bahkan sudah berapa puluh tahun berlalu, usia remaja mereka yang penuh cinta dan lika-liku itu. Dan sampai detik ini tatapan itu masih sama, rasa cinta yang teramat besar itu masih sama. Cinta yang sangat gila dan membara, dan semua itu tampak jelas di kedua mata romoku. Aku ndhak pernah berpikir jauh, jika Romo Nathan sampai jatuh sejatuh-jatuhnya kepada biungku. Bahwa Romo Nathan telah terjerat semakin dalam, oleh cinta yang telah ia rasakan. Dan semoga, semua doa-doa dari Romo akan selalu menjadi kenyataan. Dia memiliki umur yang sangat panjang, supaya dia dapat menua bersama Biung. Menghabiskan waktu bersama, dan menimang cucu mereka bersama. Atau bahkan, mereka bisa menyaksikan cucu-cucu mereka dewasa, dan sampai cucu-cucu mereka menikah dan punya anak pastinya. Gusti, itu pun adalah doaku. Dan aku mohon, Gusti, tolong, kabulkan doaku yang satu itu.     

"Sudah?" tanya Biung, mangkuk yang terisi bubur penuh itu benar-benar sudah habis. Bahkan, Romo sampai bersendawa karenanya. Romo mengangguk, persis seperti anak kecil yang sedang sakit dan sedang dirawat oleh biungnya. Seperti itulah potret mereka sekarang.     

Sementara Paklik Junet langsung menyikutku, kemudian dia berbisik, "kamu datang, Kangmas Nathan langsung mau makan. Ini adalah kali pertama dia makan sampai habis seperti ini setelah tiga tahun kepergianmu, Arjuna. Harus kamu tahu, itu."     

Aku lantas menooleh ke arah Paklik Junet, mataku langsung terasa panas karena penuturannya. Melihat Romo ndhak bisa makan dengan nikmat karena kepergianku, adalah perkara yang sangat menyedihkan sekali. Aku benar-benar anak yang bodoh, kok ya ndhak pernah merasa jika romoku rindu denganku. Bahkan, aku ndhak pernah tahu jika Paklik Junet ndhak datang menjemputku.     

"Sekarang minum obatnya, ya, biar cepat sembuh," kata Biung lagi, ucapannya sangat halus dan hangat, dan penuh dengan kesabaran yang sangat luar biasa.     

"Setelah ini Romo istirahat, ya," kubilang pada akhirnya. Romo lantas memandang ke arahku, tersenyum simpul kemudian dia mengangguk semangat. "Besok pagi, aku akan mengajak Romo jalan-jalan keliling kebun. Sedikit olahraga dan menghirup udara pagi hari di perkebunan adalah hal yang sangat bagus untuk kesetahan Romo. Terlebih, berjalan di atas batu-batuan kecil. Setiap ujung syaraf dari tubuh kita berada di telapak kaki. Dengan melakukan hal itu mungkin akan sedikit membantu untuk membantu kesembuhan Romo."     

"Iya, Romo besok akan bangun pagi."     

"Kalau begitu, sekarang Kangmas tidur," perintah Biung. Aku langsung beranjak dari ranjang Romo, membuat Manis spontan mundur. Kemudian, aku memberi ruang kepada Biung untuk merebahkan kembali Romo Nathan, kemudian menyelimutinya. Mencium keningnya dengan sayang, sembari mengelus pipinya. Biung tersenyum ke arah suaminya tercinta sekarang.     

"Aku bahagia, Kangmas sekarang sudah mau menghabiskan makannya. Dan aku yakin, sebentar lagi Kangmas akan segera sembuh," dia bilang. Romo Nathan kembali mengangguk.     

"Sudah ndhak ada lagi alasanku untuk tetap sakit. Percayalah, besok aku pasti sudah bisa berlari."     

Kami semua langsung tertawa mendengar ucapan Romo itu, dan untuk beberapa saat, Romo memejamkan matanya. Mungkin, obatnya telah bereaksi, sampai membuat matanya mengantuk kemudian tidur. Romo, tidurlah yang nyenyak. Istirahatlah yang nyenyak, aku janji, aku ndhak akan lagi membuatmu khawatir. Romo, aku mencintaimu.     


Tip: You can use left, right, A and D keyboard keys to browse between chapters.