JURAGAN ARJUNA

BAB 179



BAB 179

0Pagi ini, aku dan Romo Nathan sudah berada di tengah-tengah perkebunan. Romo Nathan tampak sedang merentangkan tangannya lebar-lebar sembari menutup mata. Dia seolah sedang menikmati pemandangan yang sangat menakjubkan ini. Sepanjang mata memandang, yang tampak hanyalah warna kehijauan. Di tambah, pagi tadi setelah bangun tidur, Romo sudah bisa berdiri sendiri. Meski berjalan masih butuh dipapah. Menurut Biung, ini adalah kemajuan yang sangat luar biasa. Sebab sedari seminggu ini, Romo bahkan ndhak kuat duduk barang sebentar.     
0

Bumi pertiwi selalu memiliki caranya sendiri untuk menjerat hati. Dia tampak gagah dengan keindahan yang dia miliki. Dia tampak anggun dengan caranya sendiri. Dan dia tampak sangat mempesona dengan begitu luar biasa.     

Kulihat Romo masih menikmati keindahan alam ini, dan aku memilih duduk di batu besar yang ada di atas jalan setapak perkebunan ini. Mentari yang hendak menampakkan sinarnya tampak begitu indah, memancarkan warna jingga di langit yang masih temaram.     

"Arjuna kamu tahu, untuk menjaga pemandangan indah ini tetap sama di setiap tahunnya sangatlah sulit. Sebab, hawa nafsu dari seseorang yang merasa kurang pasti akan mengubah tempat ini menjadi gedung-gedung pencakar langit nantinya."     

"Benar kata Romo," kubilang. Sebab hal ini juga yang dikatakan Manis beberapa waktu yang lalu. "Manis juga mengatakan itu kepadaku. Dan itu adalah salah satu alasan, kenapa dia enggan setuju perihal pendirian pabrik yang hendak kubangun itu,"     

"Jadi manusia itu susah, Arjuna. Niat hati ingin melihat bumi pertiwi kita tetap asri dan hijau, akan tetapi kemajuan modern memaksa kita untuk mengikuti perubahan zaman. Sebab kalau endhak, kita sebagai seorang pengusaha akan sangat tertinggal, toh."     

"Benar sekali, Romo. Bahkan aku merasa, menjadi manusia di dunia ini yang selamat adalah, bagi mereka yang ingat. Ingat jika kita sebagai manusia hidupnya ndhak akan kekal abadi, kita pasti akan mati. Mungkin, jika semua orang berpikir seperti itu. Aku rasa mereka akan melakukan perubahan zaman pada porsinya. Ndhak akan mengikuti hawa nafsu mereka, yang akhirnya perubahan itu bukan malah menuju ke arah baik. Malah menuju ke arah buruk. Bukan untuk membangkitkan negara, akan tetapi mau memusnahkan umat manusia. Lantas setelah itu semua, apa yang kita akan lakukan? Bukankah sadar diri adalah jawaban yang tepat untuk itu semua?"     

Romo tampak tersenyum, kemudian dia berjalan pelan-pelan ke arahku, sambil mengikat kedua tangannya di belakang punggung, dia tampak memandang mentari yang baru ingin terbit.     

"Romo...," kataku kembali membuka percakapan, setelah kediamannya yang cukup lama. Aku sungguh ingin tahu, perkara apa yang sebenarnya terjadi di sini tatkala aku ndhak ada. Sebab rasanya, ndhak mungkin sama sekali jika Romo akan jatuh sakit karenaku. Karena merindukanku. Pasti, ada cerita lainnya, toh? Terlebih, sampai detik ini aku sama sekali ndhak melihat wajah dari Rianti. Di mana gerangan adik kecilku itu? kenapa dia ndhak tampak bahkan sedari aku datang, dan sampai detik ini. Apakah ada sesuatu yang lain terjadi kepadanya? Lantas, bagaimana hubungannya dengan Bima? Sebab, aku pun ndhak melihat Bima di sini sekarang. Bima ndhak ada di mana pun.     

"Dik Rianti ada di mana, Romo? Sedari kemarin aku sama sekali belum melihat batang hidungnya. Apakah dia sedang sakit atau sedang ingin mengurung diri di kamar? Lalu, bagaimana dengan hukuman yang Romo berikan kepada Bima? Apakah Dik Rianti menyetujui perkara itu?"     

Diam, ya itulah yang Romo lakukan. Dia bahkan sama sekali ndhak menjawabi pertanyaanku itu. Seolah, pertanyaanku hanyalah angin lalu. Lantas, aku harus berbuat apa? Selain ikut diam seribu bahasa seperti yang Romo lakukan sekarang. Jika Romo ndhak ingin aku mengungkitnya, aku pasti akan diam tanpa aba-aba. Ndhak perlu lagi memaksa perkara yang benar-benar ndhak ada gunanya. Dan untuk kemudian, aku mengajak Romo untuk kembali pulang. Dan ya, kami tepatnya setelah aku menanyakan perihal itu, kami saling diam. Kami ndhak saling bercakap barang sedikit pun. Seolah-olah, di antara kami tengah ada jarak. Jarak yang cukup panhang sampai-sampai membuat hatiku terasa ndhak tenang.     

*****     

"Juragan?" sapa Paklik Sobirin, tatkala aku sudah duduk sendiri di pelataran belakang. Tepatnya, di sebuah gubug kecil yang ada di bawah pohon mangga belakang rumah.     

Paklik Sobirin langsung duduk, memandangku dengan tatapan anehnya itu. Aku hanya menanggapinya setengah hati, sembari mengembuskan napas beratku. Semuanya selalu seperti ini, tatkala aku kembali ke rumah selalu seperti ini. Seolah ada sebuah batu besar yang menghantam jantungku, jika salah satu di antara mereka ndhak ada yang mau bergai cerita denganku. Bukankah kita keluarga? Bukankah kita seharusnya membagi cerita kita bersama? Ah, bodohnya aku.     

"Juragan!"     

Aku terjingkat tatkala Paklik Sobirin memanggil namaku dengan sedikit membentak, aku langsung berdecak. Apa-apaan, toh, orangtua satu ini. Gemar benar dia mengangguku. Bukankan seharusnya dia memiliki banyak kesibukan sekarang? Seharusnya, dia mengurusi perkebunan, bukan malah mengangguku sepanjang waktu.     

"Juragan, saya sangat senang melihat Juragan Nathan sudah jauh lebih baik dari hari sebelumnya. Dan tentu, saya sebagai salah satu abdi dalemnya begitu sangat bahagia," katanya pada akhirnya. Oalah, orang jelek ini hendak mengatakan itu, toh? Tak pikir, mau mengatakan apa. "Juragan tahu, saat ini yang dibutuhkan Juragan Nathan adalah Juragan,"     

"Kenapa seperti itu?"     

"Karena mungkin Juragan Nathan sangat terpukul dan sangat kesepian," jawabnya.     

Aku mengerutkan keningku untuk sesaat tatkala Paklik Sobirin mengatakan hal itu. Kemudian aku tertawa dibuatnya.     

"Kesepian bagaimana, toh, Paklik? Memangnya, kamu, Biung, Rianti, dan para abdi dalem sebanyak itu di rumah itu batu atau lelembut? Sampai dia harus merasa kesepian seperti itu. kamu ini Paklik, ada-ada saja,"     

"Lho, Juragan Arjuna belum tahu?" kata Paklik Sobirin, yang berhasil membuat keningku kembali berkerut. Belum tahu perihal apa? Dia ini memang kalau urusan bicara, paling pandai kalau harus menggantung kata-katanya. Kata-kata yang membuatku penasaran dibuatnya.     

"Katakan saja, belum tahu apa? Sebab sedari aku datang ke sini, Romo nyaris ndhak mengatakan apa pun. Selain aku yang terus bercerita tentang kehidupanku selama tiga tahun di Jakarta."     

"Juragan Arjuna, sebenarnya yang pergi dari sini bukan hanya Juragan...," katanya lagi, aku memekik kaget tatkala Paklik Sobirin mengatakan hal itu. Apa lagi ini maksudnya? "Akan tetapi Ndoro Rianti juga pergi dari rumah ini tepat setelah Juragan memutuskan untuk pindah ke Jakarta."     

Deg!     

Jantungku benar-benar berhenti berdetak, aku benar-benar ndhak tahu apa yang seharusnya aku katakan. Apa maksud dari Paklik Sobirin ini? Apa dia sedang mengerjaiku sekarang karena aku lama ndhak pulang? Jika benar Rianti pergi, lantas di mana dia akan pergi? Rianti bukan tipikal perempuan yang mudah jauh dari orangtuanya. Dia adalah perempuan yang manja. Jadi aku ndhak mau percaya dengan semua ini. Apa pun caranya!     


Tip: You can use left, right, A and D keyboard keys to browse between chapters.