JURAGAN ARJUNA

BAB 182



BAB 182

0"Ndhuk, aku ingin mengatakan beberpa hal kepadamu," kubilang.     
0

Saat ini, aku dan Manis berada di kamar, setelah kami makan malam bersama Romo, dan Biung. Manis yang tampaknya sedang sibuk dengan beberapa bukunya pun menoleh ke arahku, kemudian menutup bukunya rapat-rapat. Mungkin maksudnya adalah, agar dia fokus. Dan ndhak lagi sibuk mengurusi buku-bukunya itu.     

"Apa, Kangmas?" tanya Manis pada akhirnya.     

"Besok aku akan mengantarkanmu ke Jakarta, kamu pasti masih sibuk mengurus beberapa tugas kuliahmu. Segera selesaikan kuliahmu, aku akan membantumu untuk bicara dengan dosenmu. Ohya, besok aku akan menginap beberapa hari di Jakarta."     

"Tapi, Kangmas...," kata Manis lagi, mimik wajahnya tampak teramat bingung. Bahkan dia seolah hendak mengatakan sesuatu dengan ragu-ragu. "Kangmas, Romo baru saja sembuh. Jika Kangmas pergi ke Jakarta lagi untuk beberapa waktu, takutnya nanti Romo Nathan akan kambuh lagi. Bukankah itu ndhak bagus untuk kesehatannya, Kangmas? Apa yakin Kangmas hendak kembali ke Jakarta?"     

Sejenak aku diam, mungkin ndhak pernah munculnya Rianti telah menjadi tanda tanya tersendiri bagi Manis. Tapi aku yakin, jika dia hanya membatin saja, jika dia hanya bisa bertanya-tanya di dalam hati. Tanpa berani mengatakan perkara itu kepada siapa pun yang ada di dunia ini. Termasuk aku.     

Aku memandang Manis yang agaknya masih gusar, seperti halnya dia benar-benar jika keputusanku yang kubuat ini adalah salah adanya.     

"Kamu apa ndhak merasa jika di sini benar-benar terasa ganjil?" kutanya. Manis tampak memekik.     

"Ganjil bagaimana, Kangmas?" tanyanya agak bingung.     

"Apa kamu tahu di mana Rianti sekarang ini? Ndhakkah kamu penasaran, kenapa dia ndhak ada di sini menemui kita yang bahkan sudah tiga tahun berada di kota?"     

Manis agaknya terkejut, mimik wajahnya yang pucat kini tampak memalingkan wajahku. Dia seperti bingung, salah tingkah, dan seolah ndhak tahu apa yang bisa ia lakukan sekarang.     

"Kangmas—"     

"Kenapa, Ndhuk?"     

"Apa pantas jika kamu membicarakan perkara ini kepadaku?" tanyanya, dahiku berkerut mendengar pertanyaannya itu. Pertanyaan macam apa itu, toh. "Maksudku, aku ini hanyalah anak menantu, Kangmas. Apakah... apakah aku memiliki hak untuk membahas perkara penting di keluarga ini? Aku merasa sungkan, aku merasa... masih seperti orang luar."     

Kugenggam tangan Manis, kemudian kukecup punggung tangannya dengan lembut. Pantaslah jika selama ini tatkala ada masalah di keluarga ini dia memilih untuk diam. Ternyata, dia sudah membentengi dirinya sendiri kalau dia adalah orang luar. Jika dia terus berpikir seperti ini, mau sampai kapan? Apakah sampai nanti dia merasa bukan bagian dari keluarga ini?     

"Ndhuk, kamu ternyata selama ini telah memiliki pola pikir yang sangat keliru," kubilang. "Kamu tahu, setelah kamu masuk ke dalam rumah ini dengan status baru yaitu sebagai istriku, maka saat itu juga kamu merupakan anggota dari keluargaku. Kamu memiliki hak yang sama dalam keluarga ini, hak dalam berbagi suka maupun duka. Dan hak-hak apa pun itu. Jadi, akan sangat keliru jika kamu menempatkan dirimu sejauh itu. Di luar lingkaran keluarga ini. Dan ini malah-malah semakin akan membuatmu bergerak mundur, dan ndhak bisa untuk dekat kepada keluargaku. Apa kamu tahu perkara itu?" Manis menundukkan wajahnya, kemudian dia mengangguk lemah. "Dan apa yang hendak kubagi denganmu ini adalah tentang Rianti. Rianti yang bukan hanya kawan dekatmu, akan tetapi Rianti yang kini telah menjadi saudaramu, adik perempuanmu, Ndhuk."     

"Iya, Kangmas. Sepertinya, aku memang telah keliru. Rasa ndhak percaya diriku memang telah membuatku menjadi seperti ini. Entah kenapa, aku masih saja merasa ndhak pantas, aku masih merasa jauh berbeda denganmu, Kangmas. Jadi, maafkan aku," katanya kemudian. "Masalah Rianti, sebenarnya aku sudah merasa janggal sedari kembali ke sini, Kangmas. Biasanya, dia itu kalau mendengar kita datang. Dia akan selalu keluar paling pertama. Dan hal yang pertama dia lakukan adalah, menemuimu, meminta oleh-oleh, kemudian dia pasti akan memaksaku untuk menemaninya semalaman. Awalnya waktu itu, aku pikir, barangkali dia sedang berada di rumah Simbah Romelah, jadi dia ndhak tahu kalau kita sudah kembali. Namun lama-lama, semakin ndhak ada kabar sama sekali. Aku pikir jika barangkali Rianti masih marah dengan kita. Tapi nyatanya kita sudah berdamai bahkan jauh sebelum kita berangkat ke Jakarta. Lalu kemarin sore, aku mendengar bisik-bisik para abdi dalem di dapur, Kangmas. Perkara Rianti yang katanya sudah lama ndhak ada di rumah. Jadi, bagaimana bisa Rianti ndhak ada di ru,ah, Kangmas? Lantas sekarang ini di mana dia berada?"     

Kuhelakan napasku berat, kemudian aku berjalan ke arah jendela kamar. Manis melangkah mendekat padaku, kemudian dia ikut memandang ke arah luar jendela.     

"Mungkin ini karenaku, Ndhuk," kubilang, Manis tampak memandangku dengan tatapan bingung. "Ingat, ndhak, waktu aku bertanya denganmu barangkali Rianti memiliki pemuda yang dia cinta. Kurasa aku telah mengetahuinya, Ndhuk. Dan bodohnya aku, malah diam saja ndhak melakukan apa-apa. Malah pergi di saat Rianti mungkin saat itu butuh seorang untuk diajaknya bertukar pikiran. Hingga akhirnya dia memutuskan perkara-perkara yang salah kemudian dia pergi dari sini."     

"Pergi ke mana, Kangmas? Dan... dan siapa pemuda yang dicintai oleh Rianti? Kenapa aku ndhak mengetahuinya sama sekali, toh?" tanya Manis, dia agaknya cukup kaget dengan penuturanku ini, sebab aku tahu betul, jika perkara ini ndhak ada satu orang pun yang tahu. Bahkan, ini saja baru sebatas pradugaku. Ndhak lebih.     

"Dulu, semasa ada masalah tatkala Rianti pulang karena telah dilecehkan oleh Bima. Pada tengah malam, aku ndhak sengaja masuk ke dalam kamarnya, dan sembunyi di sana karena melihat gelagat dia yang berbeda dari biasanya. Di tengah malam, dia memakai rok baru, dia berias, bahkan sedang merapikan rambutnya dan memakai wangi-wangian pula. Sembari membuka jendela kamarnya lebar-lebar. Dan kamu tahu siapa yang ada di balik jendela itu, Ndhuk?"     

"Siapa, Kangmas?"     

"Zainal. Kamu kenal dengan Zainal, toh? Zainal yang rumahnya di ujung kampung. Yang kata Paklik Sobirin adalah kembang desa kampung Kemuning ini."     

"Duh Gusti!" kata Manis, yang agaknya dia telah sadar akan sesuatu. "Kangmas, kalau memang benar Zainal adalah pemuda yang disukai oleh Rianti, maka sedari dulu ada hal-hal kecil yang keduanya lakukan itu adalah pertanda jika keduanya saling cinta, toh. Aku benar-benar ndhak berpikir sampai sejauh itu."     

"Apa, Ndhuk? Apa yang telah kamu ketahui selama ini? Coba kamu cerita kepadaku, barangkali aku bisa menyambung ikatan benang yang telah putus ini."     

"Jadi, Kangmas... dulu, sewaktu kami masih pada masa-masa sekolah. Rianti sering mengajakku untuk jalan menuju ujung kampung. Padahal, jaraknya cukup jauh. Tapi tetap saja dia bersikukuh. Ditambah lagi, tatkala sore hari waktunya pemuda-pemuda menggiring ternak mereka ke kandang. Maka, saat itu juga Rianti sudah berada di rumahku, alasannya ingin bercakap barang sebentar. Tapi yang kulihat dia sedang saling pandang dengan Zainal. Sambil keduanya tersenyum malu-malu."     


Tip: You can use left, right, A and D keyboard keys to browse between chapters.