JURAGAN ARJUNA

BAB 183



BAB 183

0"Jadi kisah ini sebenarnya sudah berjalan sangat lama, toh," gumamku.     
0

Jujur, aku sama sekali ndhak pernah menyangka. Jika rasa cinta yang tumbuh antara Zainal dan Rianti sudah terjalin dengan begitu lama. Namun, kenapa keduanya selama ini hanya diam saja? kenapa keduanya ndhak pernah berusaha untuk saling jujur? Jika sampai detik ini keduanya ndhak sampai ada hubungan apa pun, dan tanpa adanya ikatan. Bukankah, kekaguman itu hanya terjadi dalam diam? Gusti... kenapa sampai bisa seperti ini, toh.     

"Kenapa, kenapa bisa sampai seperti ini, Ndhuk? Rianti yang kukenal adalah perempuan yang cakap bicara, dan dia akan melakukan apa pun sesuai dengan apa yang hatinya inginkan. Namun bagaimana bisa, jika benar rasa itu telah ada lama, kenapa rasa itu hanya bisa keduanya pendam begitu saja?"     

Manis diam sejenak, kemudian dia menunduk. Setelah itu dia berjalan ke arah ranjang, sembari membenahi letak selimut kami.     

"Sejatinya, aku agak mengerti perkara isi hati mereka, Kangmas. Dalam sudut pandang Zainal, ndhak jauh berbeda denganku. Dia hanya seorang pemuda kampung yang ndhak memiliki apa pun, jadi mencintai berlebih kepada seorang Ndoro Rianti ndhak lebih hanyalah sebuah mimpi baginya. Biar bagaimana pun, dia hanya bisa menganggap perasaan itu sebatas perasaan mengagumi, tanpa berani untuk mencintai, apalagi mengikrarkan untuk memiliki. Dan perkara Rianti...," kata Manis terputus, kemudian dia tersenyum getir. "Bagaimanapun, dia adalah seorang perempuan, Kangmas. Kamu sendiri tahu, toh, jika Rianti adalah keturunan dari Hendarmoko yang sangat menjunjung tinggi adat-istiadat beserta semua aturan-aturan dalam hal kehidupan seorang Ndoro Putri. Oleh sebab itu, pantang baginya untuk mengatakan perasaannya terlebih dahulu kepada seorang pemuda. Jika dia cinta, maka dia hanya akan menganguminya saja. Jika dia cinta, maka dia hanya akan diam sambil memandanginya saja. Sebab sampai kapan pun, kodrat dari seorang anak perempuan adalah patuh kepada romonya. Terlebih, Romo Nathan pun memberinya sebuah pilihan untuk menikah dengan Bima. Kangmas pikir, mana yang akan diambil oleh Rianti terlebih dalam keadaan dia sudah ternoda? Bukankah alasan itu sudah sangat jelas, Kangmas?"     

Aku kembali diam mendengar ucapan Manis. Benar, benar adanya. Bahkan posisinya aku yang seorang laki-laki saja sampai detik ini Manis masih merasa sangat sungkan karenaku. Terlebih Zainal adalah seorang pemuda. Pantang baginya untuk menyulitkan permepuan yang dia cinta, terlebih rupanya dia cukup tahu diri untuk perkara itu.     

"Lantas, sekarang aku bertanya lagi kepadamu, Kangmas. Perkara kepergianmu ke Jakarta hendak mengantarku kembali ke rumah di Jakarta itu apa, toh? Apa hal itu ada hubungannya dengan keberadaan Rianti yang sampai detik ini ndhak ada yang mengetahuinya? Atau, ada perkara lain yang benar-benar mendesak sampai Kangmas harus terpaksa ke Jakarta lagi?"     

"Kamu benar, Ndhuk," kubilang, kini aku berjalan ke arah Manis, ikut duduk di atas ranjang kemudian mengelus pundaknya dengan sayang. "Kamu benar, aku ke Jakarta hendak mencari keberadaan Rianti. Sebenarnya, tatkala Paklik Junet datang ke Universitas beberapa waktu yang lalu, sebelumnya Kangmas melihat sosok Bima berada di Universitas dengan langkah terburu. Sembari membawa tas rangselnya. Meski sekilas, tapi aku yakin jika itu benar-benar Bima. Dan jika benar itu adalah Bima, bukankah aku harus ke Universitas untuk menemuinya? Agar aku bisa bertemu dan menemukan Rianti untukku ajak kembali pulang ke Kemuning."     

Manis tersenyum simpul, kemudian dia mengangguk kuat-kuat. Air matanya menetes begitu saja di kedua pipinya, aku pun ndhak tahu kenapa istriku gampang sekali menangis akhir-akhir ini.     

"Kangmas, sadar ndhak... berapa banyak hal yang kita lalui pada empat tahun pernikahan kita ini? Banyak... banyak sekali hal yang kita lalui. Dan aku berharap setelah ini, setelah semua ini akan benar-benar ada pelangi abadi yang menyelimuti rumah tangga kita, kediaman ini. Agar ndhak ada lagi tangis, ndhak ada lagi rasa sakit yang kita rasakan, Kangmas. Sebab aku ndhak ingin lagi melihat orang-orang yang kusayang sedih, terluka, terlebih... menangis. Terutama kamu, Kangmas. Aku ndhak mau suamiku mendapat masalah lagi. Yang kumau hanyalah suamiku bisa tersenyum, bisa tertawa, bisa menghabiskan hari-hari dengan penuh bahagia. Ya, aku ingin seperti itu."     

Aku langsung memeluk tubuh Manis, kemudian kukecup puncak kepalanya. Rasanya sangat tenang, benar-benar sangat tenang.     

"Istriku tersayang, ndhak sepatutnya kamu risau tentang perkara-perkara yang sudah ditakdirkan oleh Gusti Pangeran. Sejatinya, Gusti Pangeran memberi kita cobaan, dan ujian adalah, ndhak lain karena Gusti Pangeran itu percaya, jika kita mampu untuk melaluinya. Itu tandanya kalau kita ini adalah insan-insan yang kuat, Sayang. Dan bagiku," aku menghentikan ucapanku, sembari memandang ke arah Manis. "Dan bagiku seberat apa pun ujian yang aku lalui, asal ada kamu... asal kamu di sisiku, maka aku akan bisa melaluinya dengan sangat mudah, maka aku akan melaluinya tanpa menyerah. Karena kamu tahu, kamu adalah sumber kekuatanku, Sayang. Kamu adalah semangatku. Jadi aku mohon kepadamu, untuk tetap berada di sampingku, ndhak peduli apa pun yang terjadi kamu harus berada di sampingku."     

"Selamanya?"     

"Iya, selamanya. Sampai maut memisahkan kita. Aku ingin selalu bersama-sama denganmu sepanjang waktu. Dan aku ndhak ingin dipisahkan oleh apa pun denganmu, kecuali oleh maut,"     

Manis langsung memeluk tubuhku, kemudian dia tersenyum simpul. "Kangmas,"     

"Hem?"     

"kenapa Kangmas jadi manis sekali, toh. Kangmas belajar dari siapa ini? Setiap kata-kata yang keluar dari mulut Kangmas benar-benar sangat romantis. Sampai-sampai membuat jantungku berdetak kencang ndhak karuan,"     

"Ehm, belajar dari siapa, ya?" godaku. Manis langsung memandang ke arahku. "Belajar dari istriku, lah!" jawabku kemudian.     

"Kok belajar dariku?"     

"Lha setiap hari aku selalu digoda-goda, bagaimana aku ndhak bertambah romantis itu dari mana, toh."     

"Ehm, dasar Kangmas ini. Pandai benar dalam urusan berbicara."     

Aku kembali tersenyum mendengar penuturannya itu. Nadanya kini berubah menjadi manja, sembari memainkan jemari mungilnya pada dada bidangku.     

"Kangmas,"     

"Iya, Sayang, ada apa?"     

"Kamu tahu apa arti—"     

"Aku mencintaimu," potongku, Manis lantas memukul dadaku, kemudian terbahak.     

"Duh, Gusti! Besar kepala sekali toh, Kangmas ini. Siapa pula yang bertanya apa arti i love you, itu lho."     

"Lha terus kamu mau tanya apa? Sudah, ndhak usah mengelak seperti itu. Bilang saja kalu kamu mencintaiku. Beres, ndhak perlu repot-repot!" kubilang ndhak mau terima. Rasanya, malu benar tatkala dia berkata seperti itu. Awas saja, aku pasti akan membuatnya meminta maaf kepadaku karena telah mempermainkanku.     

"Aku cuma mau bilang, aku tresno sliramu, Kangmas." (aku mencintaimu)     

Setelah mengatakan itu, Manis hendak berlari. Tapi, tangannya langsung kutarik sampai dia dengan sempurna jatuh ke dalam pelukanku. Rupanya, dia sedang bermain-main sekarang.     

"Kalau aku ndhak cinta itu sama kamu."     

"Lho, tadi kamu bilang cinta, toh!" marahnya ndhak terima.     

"Endhak!"     

"Cinta!"     

"Endhak!"     

"Halah, terserah, toh! Ndhak cinta juga ndhak apa-apa," marahnya.     

Kemudian sembari cemberut. Kemudian, kudekatkan wajahku padanya, lalu aku berbisik, "tapi aku sangat sangat sangat mencintaimu, sayangku."     


Tip: You can use left, right, A and D keyboard keys to browse between chapters.