JURAGAN ARJUNA

BAB 184



BAB 184

Pagi sekitar jam 02.30 di Kemuning. Udara sangat begitu lembab, kepulan kabut ada di setiap mata memandang. Hawanya yang kadang-kadang dingin menusuk ke tulang-tulang, membuat orang-orang yang kadang ndhak kuat pun harus berselimutkan kain tebal, malas beranjak dari ranjang, dan memilih menggulung diri di atas ranjang.     

Tapi, tentunya akan sangat berbeda ketika itu di kediamanku. Meski ndhak seluruhnya bangun. Tapi, para abdi dalem jam seperti ini sudah harus bangun. Ndhak peduli mereka masih terkantuk-kantuk, ndhak peduli mereka masih enggan turun dari ranjang, dan ndhak peduli jika hawa dingin membuat mereka ndhak ingin pergi ke mana pun.     

Ada yang sudah sibuk di dapur sekadar memotong-motong sayuran, dan lauknya, ada yang sibuk membersihkan beras, menyapu, bahkan cuci baju. Bahkan dulu, pada masanya, pada zaman di mana Biung, dan Romo masih teramat muda dulu. Katanya, bahkan sebelum memasak nasi, para orangtua sibuk menumbuk padi di lumpung untuk dimasak. Bayangkan saja, bagaimana repotnya seorang perempuan zaman dulu. Bahkan padi-padinya pun, ndhak seperti sekarang, yang bisa dipanen barang 3 atau 4 bulan sekali. Padi-padi dulu, adalah jenis padi-padi yang pohonnya tinggi-tinggi, mereka akan bisa dipanen setelah menunggu selama enam bulan lamanya. Adakah dari kalian yang pernah menyaksikan padi itu? Jika pernah, maka hidup kalian adalah yang paling bahagia. Percayalah.     

Aku melangkahkan kakiku keluar dari kamar, setelah melihat jika Manis masih terlelap di atas ranjang. Kemudian langkahku menuju ke balai kerja Romo. Entah kenapa, kaku sangat ingin sekali berada di sini, sekadar melepaskan penat. Atau malah, karena teringat ucapan dari Romo, kalau dia dan Biung pernah menuliskan kisah bodohnya, dan dijadikan dalam sebuah buku. Aku jadi penasaran di mana gerangan buku itu? Jujur aku ingin membacanya. Untuk melihat bagaimana gilanya cinta mereka saat muda, dan agar aku lebih tahu tentang siapa Romo kandungku. Sebab, ndhak ada satu pun kenangan yang kudapatkan, untuk sekadar meyakini dan berkata dengan sepenuh hati, jika aku telah dilahirkan oleh seorang Biung uang sangat mencintai Romo, dan aku terlahir dari Romo yang sangat kubanggakan. Bukan berarti aku ndhak membanggakan Romo Nathan, endhak... endhak sama sekali. Sebab bagiku Romo Nathan adalah bagian terpenting yang ndhak bisa dipisahkan dari hidupku. Jadi, kalian paham, toh, bagaimana pentingnya Romo Nathan untukku? Bahkan, ndhak perlu kuceritakan pun aku yakin, jika kalian sudah lebih dari paham akan hal itu.     

Rak demi rak kuteliti satu demi satu, buku demi buku kubaca judulnya. Rasanya, ndhak akan mungkin, jika buku yang sangat berharga bagi Romo, dan Biung akan diletakkan di tempat yang sama seperti buku-buku lainnya. Aku yakin, buku itu diletakkan di tempat paling penting, dan paling aman di balai ini.     

Aku kemudian duduk di kursi Romo, sembari sesaat menenangkan pikiran. Alisku terangkat setengah tatkala melihat sebuah rak yang dicat dengan warna keemasan dengan dikelilingi oleh kaca. Di dalamnya ada sebuah buku, berwarna keunguan, dan hijau. Buku itu cukup tebal, sampai-sampai lebih terlihat mirip alkitab dari pada buku baca atau yang lainnya.     

Aku berdiri, berjalan menuju sudut ruangan yang sengaja diberi lampu oleh Romo Nathan. Benar-benar tampak begitu khusus. Kukerutkan keningku untuk sekadar membaca kembali. Dan aku baru tahu jika itu adalah buku-buku yang dimaksud oleh Romo Nathan.     

Sampul buku itu tertulis jelas sebuah judul, yaitu... LARASATI. Aku termenung untuk beberapa saat memandang ke arah buku itu. Seperti mahakarya termegah yang diberikan oleh Biung, dan Romo Nathan. Mahakarya yang ada pengabdian seluruh hidup Romo, dan Biung. Mahakarya yang bahkan, jemariku hendak menyentuhnya pun terasa sangat berat. Seolah-olah aku merasa ndhak pantas, untuk sekadar menyentuh buku itu.     

Pelan kubuka pintu kaca itu dengan hati-hati, kemudian aku mulai meraba setiap inci dari bagian buku yang bersampul tebal itu. Entah kenapa hatiku menghangat, bahkan mataku terasa panas. Seolah aku bisa merasakan apa yang ada di dalam sana. Padahal, sekalipun aku belum pernah membacanya sama sekali.     

Kuambil buku berwarna keunguan itu, sebab di sana tertera JILID I dengan sangat nyata. Kemudian aku mengambil posisi duduk, untuk sekadar memeriksa.     

Ada sebuah potret, sepasang suami istri di sudut atas sebelah kanan bekang sampul. Potret itu berwarna hitam putih, kuelus potret itu, kemudian aku tersenyum getir. Inikah potret dari biungku semasa mudanya dulu? Seorang perempuan yang wajahnya benar-benar sangat ayu. Rambut hitam panjangnya yang lurus, digerai dengan begitu indah. Dia mengenakan kemben yang sangat indah, yang ditutupi oleh selendang yang mungkin berbahan dasar sutera. Yang disampingnya tengah duduk, sosok laki-laki yang tampak matang, wajahnya benar-benar ndhak asing di mataku. Seolah, sosok itu adalah gambaran dari wajah Romo Nathan beberapa tahun lalu. Tapi benar, karisma itu nyatanya berbeda, meski sosok itu dan Romo Nathan wajahnya hampir sama. Tatapan matanya, auranya, caranya berdiri, caranya tersenyum, semuanya benar-benar berbeda.     

Yang ada di potret ini pandangannya teduh, pandangannya lembut seolah menjukkkan betapa dia dulu semasa hidup sangat penyabar dan kebapakan. Melihat senyumnya yang ramah betapa dia dulu membuat semua abdi dan orang-orang yang ada di sekelilingnya ndhak takut, melainkan merasa nyaman dan merasa jika dia adalah pemimpin yang arif dan bijak sana.     

Tapi, ini bukan berarti kalau Romo Nathan berbanding terbalik dengan Romo Adrian. Endhak, endhak sama sekali. Akan tetapi, mereka menjadi seorang Juragan dengan ciri khasnya sendiri. Jika Romo Nathan pandanganya sendu dan sangat begitu hangat karena mata jenaka yang menyenangkan itu. Romo Nathan pandangannya lebih ke tegas, dan tajam. Seolah-olah dia memiliki aura yang sangat kental kepada siapa saja yang melihatnya. Jadi, lebih ke sungkan dan takut orang-orang tatkala pertama kali melihat Romo Nathan. Ditambah, ucapannya yang pedas seperti itu. Jadi kalian bisa membayangkan sendiri, toh, perbedaan keduanya.     

Dan bagian senyum mereka pun memang beda, jika senyum serta wajah Romo Adrian adalah tipikal yang benar-benar ramah, dan seperti seorang penyabar. Maka berbanding dengan Romo Nathan yang bahkan nyaris ndhak senyum. Ya, kira-kira senyum Romo Nathan itu bagaikan emas dan berlian. Sebuah senyuman yang nilainya sangat tinggi. Jadi, ndhak sembarang orang yang bisa melihat senyumnya. Hanya orang-orang tertentu saja.     

Aku kembali tersenyum melihat potret lawas itu. Kemudian aku menghela napas panjang. Jadi, jika dulu Romo Adrian dan Romo Nathan tergila-gila dengan Biung, kurasa itu adalah perkara yang lumrah dan wajar. Melihat bagaimana paras cantik Biung dulu, bagaimana bahasa tubuhnya yang benar-benar jauh dari kesan seorang perempuan kampungan. Biung, benar-benar seperti potret seorang Ndoro Putri, atau malah seorang tuan putri dari sebuah kerajaan. Yang pasti, siapa pun yang memandang, pasti akan jatuh hati, bagi para laki-laki. Namun bagi para perempuan, mereka pasti akan merasa iri. Ya, itu adalah biungku, Larasati.     


Tip: You can use left, right, A and D keyboard keys to browse between chapters.