JURAGAN ARJUNA

BAB 185



BAB 185

0Lembar demi lembar buku itu kubaca, seolah semua perasaan bercampur aduk menjadi satu. Rasa gemas, rasa haru, rasa bahagia, rasa jengkel, dan rasa sedih yang semakin menjadi-jadi. Semua rasa yang benar-benar meremuk redamkan hatiku. Kututup satu judul buku, dan nanti akan kubaca buku lainnya di dalam kamar. Lebih baik aku segera kembali ke kamar, sebelum Manis akan benar-baner bangun dan mencariku ke seluruh sudut rumah.     
0

Pelan langkahku mulai melewati kamar Rianti, aku terhenti sejenak pada kamar yang cahayanya temaram itu. Biasanya di jam seperti ini, aku akan melihat adik perempuanku masih tertidur dengan pulas, sembari memeluk gulingnya dengan erat. Namun sekarang kamar itu kosong. Kamar yang menjadi tempat ternyamannya tatkala di rumah. Rianti, adik tersayangku, di mana gerangan dirimu berada? Tahukah kamu bahwa semua orang di kediaman ini sangat menungguku kepulanganmu? Terlebih kangmasmu ini, Kangmas rindu kamu.     

Lagi, aku kembali melangkahkan kakiku. Kemudian aku berhenti tepat di depan pintu kamar Romo, dan Biung. Kukerutkan keningku, sebab kamar ini tampak sedikit terbuka. Ini baru jam berapa? Pelan, aku mengintip ke arah kamar Romo, dan Biung. Ndhak sopan sekali, memang. Tapi, aku sangat penasaran, apa benar jika orangtuaku sudah terbangun. Aku bisa melihat di atas ranjang itu, Biung tampak duduk, sembari menjahit sebuah kain, yang warnanya keemasan. Sementara di sampingnya, Romo Nathan masih terlelap, dengan begitu tenang. Lihat saja bagaimana napasnya tampak begitu beraturan? Dan... Romo?     

Kuperjelas pandanganku, melihat sosok yang kini sedang duduk tepat di samping Romo Nathan. Tepatnya, di seberang tempat Biung duduk sekarang. Sosok itu memakai pakaian khasnya, dan sedang memandangi Romo Nathan, sembari mengelus kepalanya. Aku terdiam beberapa saat, kukucek mataku untuk sekadar memastikan, dan itu memang benar adanya. Sosok itu adalah Romo, ya Romo Adrian.     

Aku kembali terdiam saat Romo Adrian memandang ke arahku, tanpa bicara, dia hanya tersenyum kemudian menaruk telunjuknya di depan bibir. Seolah melarangku untuk mengatakan apa pun. Kemudian aku mengangguk, membalas senyumannya yang sangat menenduhkan itu. Andai, Romo... andai. Untuk sekali saja, bisakah aku mendekat ke arahmu? Bisakah sekali saja aku memeluk tubuhmu? Bisakah sekali saja aku tidur di pangkuanmu? Dan bisakah sekali saja aku berbicara denganmu? Seendhaknya, sekali saja, Romo... sekali. Aku hanya ingin untuk sekali, bisa merasakan perasaan bahagia yang lengkap, merasakan memiliki keluarga yang utuh. Di mana ada Romo, juga Biung. Akan tetapi aku juga tahu, aku juga sadar diri, jika itu ndhak akan pernah bisa terjadi. Sebab bagaimanapun, takdir memang memiliki caranya sendiri untuk menentukan di mana akhir dari cerita ini. Sebab jika aku seegois itu, jika aku berharap semua akan menjadi nyata, maka Rianti barangkali ndhak akan mungkin ada di dunia. Dan mungkin barangkali aku ndhak bisa memiliki Romo sehebat Romo Nathan Hendarmoko. Ya, benar... benar seperti itu.     

"Arjuna, kamu sudah bangun? Ada apa, Juna?" aku terkesiap, tatkala Biung sudah berada di depanku, mengenggam pipiku, dengan pandangan yang khawatir itu. Lalu, kupandang lagi arah Romo Nathan, dan di sana benar-benar sepi. Romo Nathan tidur sendiri, sosok Romo Adrian yang kulihat tadi entah pergi ke mana sekarang. Sosoknya, benar-benar telah menghilang. "Arjuna, ada apa?" tanya Biung yang berhasil membuatku terkejut.     

"Oh...," kataku, aku bahkan bingung harus membalas pertanyaan Biung dengan apa. "Itu... Biung ndhak tidur?" kutanya. Biung tampak mengerutkan dahinya. "Aku tadi dari balai kerja, kemudian melihat kamar Biung ndhak terkunci sempurna. Makanya aku mencoba mengintip, rupanya Biung sudah terjaga."     

"Oh, iya... setiap jam-jam seperti ini Biung ndhak bisa tidur, Arjuna. Jadi, Biung melakukan pekerjaan yang berguna, dari pada hanya berdiam diri saja. Ayo, kesinilah...," ajak Biung, menuntunku untuk duduk di sebuah kursi panjang yang terbuat dari jati, yang ndhak jauh dari kamarnya dan Rianti. "Dulu, Biung—"     

"Iya, aku tahu. Dulu, Biung sudah terbiasa bangun jam segini, toh? Karena dulu, Eyang Buyut menyuruh Biung untuk membeli sayur-sayuran di pasar saat pagi-pagi sekali, toh? Sambil naik delman bersama Bulik-Bulik yang ada di kampung lainnya? Bahkan kadang di setiap akhir pekan, Biung akan pergi ke pasar yang ndhak jauh dari kota. Untuk kemudian, membeli sayur-mayur dalam beberapa waktu lamanya. Benar, toh apa yang kubilang? Lalu... lalu ada kawan Biung yang sering menelong Biung, Danu, atau siapa kalau ndhak salah. Dan pemuda itu diam-diam telah jatuh hati dengan Biung, sampai dia mengorbankan nyawanya untuk Biung. Benar, toh?"     

"Duh, Gusti! Kenapa kamu bisa tahu semua itu, Arjuna? Kamu tahu dari mana?" tanyanya yang agaknya terkejut.     

Aku langsung memeluk tubuh Biung, kemudian aku memamerkan buku yang kubawa. Buku Larasati jilid II kepadanya. Biung langsung mengulum senyum, kemudian dia mencubit hidungku.     

"Rupanya, kamu telah membaca cerita memalukan itu, toh," katanya, senyum itu masih tersungging sangat manis di kedua sudut bibirnya.     

"Memalukan bagaimana, Biung?" tanyaku, seraya menggoda biungku.     

"Kisah itu benar ingin kusuruh kamu atau Rianti menyimpannya, lebih-lebih kalau kalian berkenan membacanya. Namun demikian, mengetahui kalau kamu sudah membaca kisah itu, benar-benar membuat Biung malu. Duh Gusti, cerita yang memalukan itu telah dibaca oleh putraku."     

"Biung... Biung, ndhak ada yang memalukan dari tulisan Biung. Bahkan di setiap kalimatnya, benar-benar membuatku candu. Kisah Biung benar-benar sangat hidup, dan nyata. Bahkan hanya membacanya saja, membuatku seolah ditarik oleh zaman di mana Biung berada. Aku bahkan ingin memperbanyak cetakan-cetakan buku Biung ini, agar ndhak hanya kita, tapi semua orang di seluruh nusantara bisa membacanya. Ini, bukan perkara masalah hal-hal bodoh yang mungkin terselip di dalamnya, akan tetapi perkara makna, dan intisari yang ada di sana. Agar seendhaknya, bisa sebagai bahan pembelajaran untuk diri sendiri, agar kita bisa menjadi pribadi yang lebih baik lagi. Agar mereka tahu, bahwa di kampung yang mungkin banyak orang yang bilang terpencil ini, ada mahakarya dari cinta yang telah terpatri secara nyata dan sejati. Biung...," kataku sambil memeluk tubuh Biung lagi, "tahukah Biung kalau Biung adalah seorang perempuan yang sangat luar biasa? Aku melihat potret Biung saat masih muda dulu, betapa semua laki-laki akan terkagum-kagum dengan Biung. Jadi, aku ndhak heran. Kenapa sampai semua laki-laki tergila-gila dengan Biung, semua yang melakat pada diri Biung adalah istimewa, semua yang ada di dalam diri Biung adalah luar biasa. Dan cara pikir Biung, adalah benar-benar sangat hebat, Biung."     

"Semuanya ndhak ada yang hebat, Arjuna. Hanya saja kebetulan Biung terlahir dari bibit yang berbeda dari yang lainnya...,"jelas Biung. Tangannya kini menggenggam erat lenganku, kemudian dia kembali tersenyum. Sepertinya, kenangan itu, adalah kenangan-kenangan terindah. Ya, kenangan terindah.     


Tip: You can use left, right, A and D keyboard keys to browse between chapters.