JURAGAN ARJUNA

BAB 187



BAB 187

0"Biung ndhak usah takut, toh," kataku pada akhirnya. Sepertinya selama aku ndhak di sini, Biung hanya pura-pura tegar. Sepertinya dia sedang memakai topeng jika dia sedang baik-baik saja. Mungkin karena dia ndhak ingin kalau sampai Romo khawatir. Itu sebabnya dia menjadi seperti ini. Tapi jujur, aku benar-benar ndhak ingin jika Biung sampai seperti ini. Menahan semua rasa takut sendiri itu bukanlah perkara baik. Sebab, ndhak akan hanya luka, akan tetapi sakit fisik yang diakibatkan oleh hati itu jauh lebih mengerikan. Sebab, dia akan membunuh secara perlahan, namun ndhak ada obat sebagai penawar.     
0

"Biung nanti siang aku hendak ke Jakarta mengantarkan Manis kembali ke Jakarta. Kuliahnya kurang sebentar lagi, toh. Jadi aku mau dia segera lulus agar kami bisa cepat-cepat kembali ke sini. Namun, Biung, aku ke Jakarta barang dua atau tiga hari. Sebab aku hendak melakukan sesuatu."     

"Sesuatu apa itu, Arjuna?" tanya Biung yang agaknya penasaran. Aku kembali berpikir, antara berkata jujur atau endhak perihal misiku untuk mencari Rianti. Namun jika aku jujur sekarang, tapi pada akhirnya aku mengecewakannya bagaimana? Baik Biung dan Romo pasti akan semakin terluka lebih dalam lagi.     

"Ada proyek besar di Jakarta, Biung. Aku harus segera mempelajari alurnya. Kemudian membuat keputusan secepat mungkin, agar nanti tatkala aku kembali lagi di sini. Proyek itu bisa berjalan tanpa aku. Lagi pula, aku pun belum meninjau tanah yang telah dibeli Suwoto untuk proyek ini. Apakah dari sisi letak, kondisi, dan strukturnya sudah benar-benar cocok, atau malah ngawur sama sekali."     

Biung akhirnya mengangguk, sepertinya dia paham dengan apa yang hendak aku lakukan. Iya, Biung, aku ndhak bohong. Sebab memang benar, hal itu adalah salah satu dari hal yang harus kulakukan sekarang. Sebab kalau endhak, semuanya akan menjadi berantakan.     

"Apa perlu romomu ikut dalam hal ini?"     

"Jangan dulu, Biung. Kondisi Romo masih lemah, meski dia sudah sembuh. Nanti, setelah aku sampai sana, Suwoto akan kuutus mengirim salinannya kepada Romo, dan menunggu kabar baik dari Romo. Setelah proyek jalan nanti, aku akan mengajak Romo ke sana, beserta Biung. Untuk meninjau, barangkali ada hal terlewat dari mataku. Jadi, jika nanti aku berangkat sebelum Romo bangun, tolong diberitahu, ya, Biung. Agar Romo ndhak panik, agar dia ndhak mencari-cari keberadaanku. Sebab aku ndhak mau, karena terlalu cemas malah membuat kesehatannya kembali menurun lagi."     

"Iya, Biung pasti akan mengatakannya kepada romomu. Dan aku yakin, kalau tahu kamu memiliki niat baik seperti itu, maka romomu ndhak akan khawatir lagi. Kamu hati-hati, ya. Membuat proyek besar itu tanggung jawabnya besar pula. Aku ndhak mau kamu salah langkah hanya karena terlalu nafsu untuk membuat inovasi baru itu. Dan pada akhirnya malah bangkrut atau bagaimana. Semoga, kamu sukses, Sayang. Doa Biung selalu menyertaimu."     

Kucium punggung tangan Biung, kemudian kupeluk lagi. Rasanya benar-benar memiliki kekuatan besar di dalam diriku yang ndhak tahu dari mana tatkala mendengar ucapan Biung ini. Apakah ini yang dinamakan dengan kekuatan doa dari seorang Biung? Jika benar, maka, ini akan luar biasa sekali.     

"Amin, Biung. Aku ndhak membutuhkan apa pun lagi, doa Biung adalah mukjizat nomor satu di muka bumi yang akan membawaku sukses sampai nanti," jawabku, dengan senyuman selebar mungkin sembari aku mengedipkan mata nakalku kepada Biung.     

Biung kembali berbahak, untuk kemudian aku pamit untuk kembali ke kamar. Ini sudah subuh, dan aku harus bersiap-siap untuk mengantarkan Manis kembali ke Jakarta. Dan untuk setelahnya, aku harus menemukan keberadaan Rianti apa pun yang terjadi. Selama dua hari ini, aku harus benar-benar mendapatkan satu saja seendhaknya jalan keluar atas prahara yang menimpa keluargaku. Aku harus membawa kembali senyum keluargaku, aku harus membawa kembali Rianti, agar keluargaku kembali utuh lagi. Ya, aku harus melakukannya!     

*****     

Sore ini, aku sudah berada di Jakarta. Kembali menghuni rumahku yang ada di sini dengan perasaan campur aduk. Rasanya, ingin segera besok saja, agar aku segera berada di kampus untuk mengobrak-abrik isi kampus agar aku segera bertemu dengan Bima. Aku yakin, jika beberapa waktu yang lalu Bima ada di kampus, ndhak menutup kemungkinan jika besok dia masih di kampus juga. Jika dia masih ndhak di sana, maka aku akan menunggunya sampai di sana. Kalau perlu, dari pagi sampai malam. Aku ndhak akan peduli lagi!     

"Jadi, Juragan. Kapan kita bisa meninjau tanah itu? Sebab saya rasa, dua hari ndhak akan pernah cukup untuk menyelesaikan semuanya kalau kita ndhak melakukannya dengan segra," tanya Suwoto, yang saat ini memang aku telah mengajaknya ke sini.     

"Tapi, Paklik Suwoto. Apa ndhak sebaiknya besok saja? Kita baru saja dalam perjalanan jauh, apa ndhak lelah, toh? Istirahat dulu, besok baru lanjut lagi," Manis membuka suara. Sembari melihatku dengan mimik wajah ndhak tega. Aku yakin, jika larangannya ini semata-mata adalah karena dia ndhak mau aku kelelahan, makanya dia seperti itu. Dan kurasa, istri mana pun di dunia ini akan melakukan hal yang sama. Sebab kurasa, tindakan Manis adalah wajar.     

"Tapi, Ndoro, waktu Juragan di sini hanyalah dua hari. Yang artinya, Juragan Arjuna hanya punya waktu besok, dan lusa. Itu pun kalau Juragan memilih kembali ke Kemuning malam harinya. Selain mengurus proyek besar ini, Juragan Arjuna juga harus mencari keberadaan Bima. Jadi, akan benar-benar mustahil untuk melakukan dua hal yang benar-benar pelik ini sesingkat itu."     

Dan lagi, meninjau dari segi ucapan Suwoto pun aku ndhak menyalahkan. Salahku memang karena memberi janji kepada Biung hanya dua hari berada di sini. Sebab, kalau telah sehari saja, bisa-bisa mereka yang di Kemuning akan berpikir kemana-mana.     

"Sekarang siap-siaplah, cari keberadaan Ucup dan bawa dia ke sini. Setelahnya, kita berangkat ke tempat itu. Sekalian, kita bahas masalah-masalah garis besar proyek ini di jalan," putusku.     

"Tapi, Kangmas...."     

"Sayang, aku ndhak apa-apa," kubilang pada Manis, agar seendhaknya dia ndhak terlalu risau mengenai pekerjaanku ini. "Aku ini pemuda yang kuat, lho. Lha wong kelon (bercinta) denganmu yang lumrahnya hanya mampu sekali saja aku bisa berkali-kali, toh? Apalagi melakukan pekerjaan seenteng ini. Gampang! Iya, toh, Suwoto?" kataku meminta persetujuan Suwoto.     

Suwoto ndhak menjawabi ucapanku, dia malah menundukkan wajahnya dalam-dalam. Dan lihatlah, bagaimana kulit hitamnya itu tampak merah padam. Oh ya, aku lupa, Suwoto itu bukan Paklik Sobirin, pantas saja, dia ndhak akan menyahut kalau aku beri guyonan ngeres seperti ini. Coba saja kalau itu Paklik Sobirin, aku yakin, guyonanku ini akan merembet kemana-mana. Ndhak percaya? Coba saja. Tapi, aku ndhak mau menyobanya!     


Tip: You can use left, right, A and D keyboard keys to browse between chapters.