JURAGAN ARJUNA

BAB 189



BAB 189

0Pagi ini, aku sengaja mengajak Manis berangkat pagi-pagi sekali ke Universitas. Sebab ada banyak hal yang ingin aku lakukan di sini, termasuk menunggu kedatangan Bima. Bertanya kepada dosen-dosenya, dan siapa pun itu asalkan bisa menjawab semua rasa penasaranku tentang keberadaan Rianti.     
0

"Kangmas...," kata Manis, yang berhasil membuatku menoleh ke arahnya. "Nanti, aku akan berkunjung ke kelasnya, dan bertanya kepada kawan-kawannya, barangkali kawan-kawannya tahu di mana Bima sekarang."     

"Tapi, Ndhuk, kamu tahu kawan-kawan Bima, toh? Mereka itu adalah tipikal pemuda yang benar-benar sangat beringas. Aku ndhak mau kalau sampai kamu menjadi bahan goda-godaan hanya karena bertanya di mana gerangan pemuda ndhak tahu tanggung jawab itu berada."     

"Kangmas," Manis kemudian menarik tanganku, diajaknya untuk berjalan menuju ruang kelasnya. "Bima adalah pemuda yang bertanggung jawab, terlepas dari bagaimana pandangan Kangmas terhadapnya."     

"Maksudmu?"     

"Jika dia ndhak bertanggung jawab, dia pasti langsung akan pulang tatkala tahu jika tempat yang akan dia diami adalah tempat di mana Rianti berada. Jika benar dia ndhak bertanggung jawab maka dia akan bungkam selamanya karena kesalahannya ini, toh, baginya, Rianti juga ndhak mengatakan apa pun perihal siapa yang telah memperkosanya. Dan," kini Manis menghadap ke arahku, kemudian dia tampak tersenyum kaku. "Jika dia ndhak bertanggung jawab, mana mau dia menikahi Rianti, Kangmas? Mana mau dia ikut pergi dengan Rianti karena keinginan Rianti sendiri? Dia bisa saja pergi, karena dia adalah seorang pemuda, dan dengan kekuasaan orangtuanya pun dia bisa melakukan apa saja, toh. Tapi, apa yang dia lalukan? Dia masih tinggal di Kemuning, setelah apa yang telah ia terima, setelah apa yang telah ia lalui, Kangmas. Kurasa, Bima adalah pemuda yang bertanggung jawab. Meski tanggung jawabnya itu, dengan caranya sendiri."     

Aku diam sejenak mencerna ucapan dari Manis. Ya, kurasa memang benar apa yang telah dikatakan istriku. Jika kenyataanya, Bima adalah pemuda yang bertanggung jawab. Terlepas, dari apa yang ia lakukan selama ini. Akan tetapi biar bagaimanapun, dia adalah suami, yang tahu jika Rianti adalah anak dari seseorang. Ndhak bisakah dia barang sebentar, meski Rianti menolak, dia seharusnya bisa secara sembunyi-sembunyi memberitahu keluarga di Kemuning tentang di mana mereka sekarang, dan apakah mereka benar baik-baik saja? Ndhak bisakah dia melakukan itu? Agar seendhaknya, orangtuaku ndhak merasa risau, resah, dan rindu seperti itu kepada putri tercintanya. Rianti adalah putri satu-satunya mereka, dan putri yang sangat disayangi. Jadi, jika ditinggal sepihak seperti ini, orangtua mana yang ndhak akan cemas dan kepikiran, toh. Dan aku ingin menanyakan ini jikalau nanti aku bertemu langsung dengan Bima.     

"Iya, iya, aku salah. Aku telah keliru menilai Bima. Kata-katamu memang benar adanya. Bima adalah pemuda yang paling bertanggung jawab yang pernah ada," putusku. Istriku ini tipikal perempuan yang keras kepala, kalau aku hanya diam, dan ndhak menyetujui ucapannya, dia pasti benar-benar ndhak akan mau bernajak dari sini sebelum aku mengatakan hal yang dia inginkan. Ya, seperti itulah istriku. "Sekarang kamu masuk, kuliah yang bener, dan harus cepat lulus. Biar bisa cepat pulang, ya, Ndhuk."     

"Siap, Juragan. Saya pasti akan cepat lulus," jawabnya, seraya menggodaku. Aku tersenyum saja mendengar hal itu, kemudian kulihat dia masuk ke dalam kelasnya.     

Dan setelah itu, aku menyusuri lorong, lapangan, jalanan berpaving, dan mengitari Universitas hanya karena ingin memeriksa, barangkali Bima sudah berada di sini, tapi dia berada di tempat yang ndhak aku ketahui. Jadi, lebih baik aku berjalan menyusuri gedung-gedung ini, meski jaraknya benar-benar luas biasa lebar, dan panjangnya.     

Dan setelah perjalananku yang cukup panjang, akhirnya aku sampai kembali ke parkiran. Aku mendengus, sembari menebarkan pandanganku ke arah sekitar. Ini sudah cukup siang, dan sampai detik ini aku ndhak melihat sama sekali keberadaan Bima. Aku malah menjadi ragu, apa benar hari ini Bima berada di sini? Atau malah hari ini dia ndhak berangkat ke kampus.     

"Hey, pemuda!" tegurku, pada tiga orang pemuda dengan gaya nyentriknya berjalan dari parkiran. Ketiganya tampak memandangku setengah menilai, tapi kemudian ketiganya menghentikan langkahnya juga. Aku berjalan mendekat, sembari melihat bagaimana karakter ketiga pemuda ini. Penampilan luarnya, benar-benar serupa dengan Bima. Gaya rambut dan bahkan pakaiannya. "Kalian temannya Bima, kan?" tanyaku lagi. Ketiganya tampak saling pandang kemudian salah satu di antaranya melangkah maju agar bisa semakin dekat dengan posisiku.     

"Iya, kami temannya Bima. Kenal Bima dari mana kamu? Kami rasa kamu bukanlah seorang mahasiswa di sini, akan tetapi kami sering melihatmu berada di sini. Dari gayamu...," kata sosok itu terhenti, mengitari tubuhku seolah-olah hendak menilai. "Apa kamu dari kampung? Ck! Cara berpakaianmu benar-benar terlalu tua sekali, tidak cocok dengan usiamu!" selorohnya.     

"Ck! Ck! Ck! Dasar pemuda yang etikanya rendah," ejekku, "Aku di sini hanya untuk bertanya tentang Bima, bukan mau mendengar tentang penilaian kepadaku. Jika kamu pikir gaya pakaianku ini sudah ketinggalan zaman, lantas bagaimana dengan gaya pakaianmu itu? Bahkan, tampak lebih memalukan dari pada gaya pakaian orang-orang yang ada di sini. Kalian tidak sadar kalau kalian itu adalah para pemuda kaya yang gaya berpakaiannya kampungan? Ah, ya... kalian sekampungan itu."     

"Hey, siapa kamu! Benari sekali kamu mengolok-olok gaya pakaian kami. Punya hak apa kamu!" marahnya sekali lagi.     

"Hey, Gas, sabar. Kamu yang memulai dulu," kata kawan lainnya yang sepertinya paham, perkara siapa yang salah di sini sekarang. Kemudian, pemuda yang berkata itu menarik pemuda congkak lainnya mundur, lalu dia menunduk dengan sopan. "Maaf, Bang, teman kami memang seperti itu. Tapi percayalah dia adalah teman yang sangat baik. Omongg-omong, Abang ini siapa? Dan ada hubungan apa Abang dengan Bima? Kenapa Abang bertanya masalah Bima?" tanyanya ramah. Aku lebih suka pemuda seperti ini, dari pada pemuda yang sok keren itu. Wajah sudah seperti pantat panci gosong saja gayanya luar biasa.     

"Aku adalah kakak ipar dari Bima, dan sekarang aku sedang mencari keberadaan Bima. Beberapa waktu yang lalu aku melihat Bima ada di kampus, tapi sekarang tidak ada."     

"Apa?!" kata ketiga pemuda itu kaget. Entah, mereka itu kaget di bagian mananya aku juga ndhak paham.     

"Abang serius? Abang adalah Abang iparnya Bima? Serius? Bima sahabat kami sudah menikah? Kapan, Bang? Kok dia tidak kasih kabar kepada kami kalau dia menikah?" tanya pemuda itu yang agaknya kebingungan. Dan kurasa itu adalah hal yang wajar. Kalau sampai Bima bahkan ndhak sempat bercerita kepada kawan-kawannya.     

"Iya, dia sudah menikah. Tapi hal itu tidak penting. Yang terpenting sekarang adalah, Bima mengajak adikku pergi dari rumah. Dan aku, dan keluarga tidak tahu mereka ke mana. Jadi, kamu tahu tidak di mana keberadaan Bima saat ini?"     


Tip: You can use left, right, A and D keyboard keys to browse between chapters.