JURAGAN ARJUNA

BAB 195



BAB 195

0"Jadi, benar tidak apa-apa kalau kutinggal kamu sendiri?" tanyaku. Tatkala mengantar Widuri untuk bekerja. Katanya, ada seorang pasien gawat darurat yang membutuhkan pertolongannya.     
0

Widuri pun menggeleng, tapi tangannya masih menggenggam erat tanganku. Sangat kontras dari apa yang kepalanya isyaratkan.     

"Aku jemput jam berapa?" tanyaku lagi. Widuri tampak menimbang-nimbang.     

"Dua jam lagi?"     

"Dua jam?" tanyaku bingung. Sebentar benar rupanya pekerjaannya. Bukankah lebih baik aku di sini saja dari pada harus pulang, lalu menjemputnya kembali ke sini.     

Tapi, aku ndhak mengatakan apa-apa lagi setelah dia menjawabi pertanyaanku dengan anggukan. Kemudian, aku kembali mengemudi mobil Widuri untuk kembali pulang.     

Di tengah jalan, aku merasa diikuti. Oleh mobil sedan hitam yang cukup mentereng. Entah mobil siapa, yang jelas sosok-sosok di sana tampak ndhak asing. Sial benar, aku. Kurasa aku ndhak sedang punya masalah dengan siapa pun, tapi kenapa ada orang yang mengikutiku sampai seperti ini.     

Aku mengambil belokan, membuat mereka yang ada di belakangku harus memutar mobilnya kembali. Sialan! Aku harus menemui Widuri, dari pada aku harus dicegat oleh para berandal itu. Sekarang aku ndhak bisa percaya dengan Suwoto, sebab terakhir kali kami bertemu dia benar-benar telah mengecewakanku. Mengataiku kalau aku telah diguna-guna, dan beralih mendukung Manis dengan sepenuh hatinya. Cih! Benar-benar abdi dalem yang ndhak berguna.     

Setelah sampai kembali di rumah sakit, aku langsung turun dengan tergesa. Setengah berlari aku masuk ke dalam rumah sakit. Kutebarkan pandanganku, mobil sedan itu hanya berhenti sesaat. Ndhak ada satu orang pun yang turun, untuk kemudian melaju lagi.     

Aku langsung menghela napas panjang, sembari mengelus dadaku yang deg-degan. Andai mereka adalah orang-orang jahat, aku kini telah selamat. Seendhaknya untuk saat ini.     

"Le, apa yang sekarang kamu anggap miliki sepenuhnya hanyalah semu. Renungkan barang sebentar tentang mana yang kamu inginkan sebenarnya. Sebab, tipuan iblis itu sangat nyata adanya,"     

Aku menoleh, rupanya ada sosok laki-laki tua yang mengenakan pakain serba hitam sambil membawa tongkat, duduk di sebelahku sambil menunduk. Kutebarkan pandanganku, sebab aku ndhak tahu dia ini bicara dengan siapa? Atau perkataannya tadi itu, ia tunjukkan kepadaku?     

"Keputusan yang diambil dengan cara ndhak sadar mental itu bukanlah keputusan yang benar," katanya lagi. Aku benar-benar penasaran dengan orangtua ini. Kenapa bisa ada orang yang bicaranya medok berada di sini? Terlebih lagi, tadi, aku merasa yakin kalau di sampingku ndhak ada siapa pun. Tapi bagaimana bisa dia tiba-tiba duduk di sini? Sejak kapan? Apakah waktu beberapa detik saja telah membuatnya bisa duduk di sini begitu saja?     

"Mbah, Simbah ini bicara sama siapa, toh? Kalau Simbah ndhak waras, lebih baik segera pergi. Sebelum ada satpam yang menyeret Simbah untuk keluar dari rumah sakit ini. Namun kalau Simbah pengemis, jangan mengemis di sini. Karena ini bukan tempatmu untuk mengharapkan uang dengan cara cuma-cuma dari orang. Tapi, ini rumah sakit. Tempatnya orang-orang yang sakit," ketusku.     

Simbah itu hanya tersenyum saja, benar-benar membuatku geram karenanya. Siapa toh Simbah ini? Sok kenal dan sok baik sekali. Pakaiannya saja lusuh, benar-benar seperti seorang gember di pinggir jalan yang hendak mengemis makanan, atau bahkan dia ke sini karena hendak mencari makanan sisa dari tong sampah.     

"Jangan pernah menikah dengan perempuan yang mungkin saat ini kamu sangat cintai itu. Sebab kalau kamu melakukannya, kamu pasti akan menyesal nanti," katanya lagi. Seolah-olah sedang memperingati. "Maaf, aku ndhak bisa membantumu apa pun. Selain mengatakan hal ini. Apa kamu ndhak merasa bingung? Tubuhmu merasa terbakar tatkala sedang memakan, atau meminum sesuatu dari perempuanmu itu? Apakah kamu ndhak merasa resah?" tanyanya. Aku diam, ndhak mengatakan apa-apa."Kasihan istrimu, pulanglah. Dia masih menunggumu di rumah."     

Setelah mengatakan itu, sosok laki-laki tua itu pun langsung pergi. Hanya sekejap, benar-benar sekejap untuk sosoknya menghilang begitu saja.     

Aku kembali terdiam, apa yang telah dikatakan oleh orangtua itu memang benar adanya. Ada yang aneh di hatiku, tapi aku ndhak tahu apa. Rasanya benar-benar resah, dan aku seperti orang linglung. Terlebih, perkara mulutku yang terasa terbakar itu. Dari mana dia sampai tahu perkara hal itu terjadi kepadaku?     

"Arjuna,"     

Aku menoleh, rupanya Widuri sudah berdiri di sampingku. Dia tampak menatapku bingung, dan aku memandangnya dengan seksama.Widuri adalah perempuan yang mencintaiku, dan aku sangat mencintainya. Jadi kurasa, ndhak mungkin jika dia melakukan hal-hal aneh kepadaku. Sebab mimpi kami adalah sama, memiliki banyak anak, dan menua bersama. Karena kami masih merasa belum puas, untuk melakukan hal-hal yang bersifat intim berdua. Ya, aku benar-benar belum puas dengan tubuhnya.     

"Kenapa kamu ada di sini?" tanyanya kepadaku. Tapi aku diam, berdiri, sampai kami berhadap-hadapan. Tanpa pikir panjang, kutekan tengkuknya, kemudian kulumat bibirnya sembari kukenali jenis perasaan apakah ini? Bibir Widuri yang penuh benar-benar begitu candu untukku, rasanya semanis madu, sampai membuatku ingin melumatnya lagi dan lagi. Aku mencintainya dengan sepenuh hati, dan itu sudah kupastikan dengan ciuman ini. Lantas, bagian mananya yang salah dariku? Ndhak, aku ndhak salah apa-apa dengan hidupku.     

"Arjuna, apa kamu tahu, ini di tempat umum. Kamu menciumku dengan seperti itu...," katanya, sembari menebarkan pandangannya kepada seluruh sisi. Ada orang-orang yang menyaksikan tadi agaknya saling bisik, kemudian memandang kami dengan pandangan jijik, aneh, dan apa pun itu aku ndhak peduli.     

"Widuri aku mau kamu, kita harus segera pulang, aku sudah tidak bisa menahannya lagi. Aku ingin segera menikah denganmu, Widuri, sekarang juga. Bisakah kita melakukannya?" pintaku kepadanya. Widuri tampak tersenyum, kemudian dia mengangguk mantab.     

"Tapi sebelum itu apa kamu mau melakukan sesuatu untukku?" tanyanya. Aku langsung mengangguk tanpa berpikir panjang. Sebab entah kenapa, birahiku langsung melonjak begitu saja tatkala melihat kemolekan tubuh Widuri. "Aku kita ke orang pintar, untuk memintamu bisa sepenuhnya melupakan istri pertamamu itu. Sebab bagaimanapun, aku tidak akan pernah rela dan mau kalau hatimu, dan tubuhmu dibagi-bagi. Kamu hanya milikku, Arjuna. Kamu hanya mencintaiku. Dan kamu hanya boleh tidur denganku. Hanya aku yang boleh memuaskanmu di atas ranjang. Bukan siapa pun apalagi istri jalangmu itu. Apa kamu mau menuruti permintaanku itu?" tantangnya.     

"Iya, aku mau. Ayolah, Sayang, aku sudah tidak tahan."     

"Dan kalau aku menyuruhmu untuk bercerai darinya, apakah kamu juga mau? Ataukah kamu malah akan meninggalkanku?"     

Aku hendak menciumnya lagi, tapi Widuri menahannya. Sebisa mungkin dia menghindari cumbuanku. Aku mengerang, merasa tubuhku rasanya terbakar hebat. Tapi, agaknya Widuri sangat senang membuatku merasa tersiksa seperti ini.     

"Aku ndhak akan mau memenuhi nafsumu kalau kamu ndhak menyetujui permintaanku, Arjuna. Ceraikan dan lupakan istrimu. Jadikan aku yang satu-satunya dalam hidupmu, apa kamu mau?"     

"Iya, aku mau,"     


Tip: You can use left, right, A and D keyboard keys to browse between chapters.