JURAGAN ARJUNA

BAB 190



BAB 190

0Ketiga pemuda itu saling toleh, seolah mereka bingung dengan apa yang kutanyakan. Untuk kemudian, pemuda yang memakai kaus garis-garis, yang sangat sopan itu tampak tersenyum dengan begitu ramah, sembari menggaruk tengkuknya yang ndhak gatal.     
0

"Maaf, Bang. Dulu, bukannya Bima berhenti kuliah untuk beberapa waktu karena dia ingin ke suatu perkampungan untuk mengasah ilmunya di bidang pertanian. Itu adalah informasi yang dia katakan kepada kami. Dan setelah itu, dia pergi dan tidak ada kabar sama sekali. Biasanya, kami betukar kabar lewat telepon. Tapi sebelum berangkat, katanya dia tidak akan bisa dihubungi. Karena di kampung itu tidak ada yang memasang telepon. Makanya, kalau dia ada waktu luang dia berjanji untuk pergi ke kota agar bisa menelepon kami. Tapi, aku pribadi belum mendapatkan kabar dari dia setelah pamitnya dia ke salah satu kampung yang ada di Jawa Tengah itu, Bang. Telepon pun tidak pernah, kecuali kata pembantu rumah, ada panggilang telepon, tapi belum sempat diangkat panggilan itu sudah mati...," jelas pemuda itu, sangat rinci, dan cukup membuatku menghargai jawabannya itu, meski pada kenyataannya, aku ndhak mendapatkan apa-apa dari sana. "Tapi tidak tahu sama temanku yang lain ini, Bang. Gas, Ndru, apa kalian pernah dihubungi atau malah bertemu dengan Bima akhir-akhir ini setelah kepergiannya ke kampung?" tanya pemuda yang sampai saat ini aku ndhak mengetahui namanya itu.     

"Kalau aku pernah, Bang...," kata pemuda yang tadi sempat mengejekku itu, aku hanya menanggapinya dengan separuh hati, ndhak ingin seserius yang satunya. Sebab aku takut, apa yang keluar dari mulutnya hanyalah dusta semata karena hendak mengerjaiku. "Waktu itu setelah tiga bulan kira-kira dia berada di kampung, dia meneleponku. Kalau tidak salah, tepat setelah telepon rumah Bagus tidak diangkat. Bima bercerita kalau dia betah di kampung, karena selain pemandangannya semuanya hijau, keluarga dari sahabat ayahnya juga sangat baik dan ramah. Bima itu, meski anak kota, suka sekali dengan alam, Bang. Itu sebabnya, salah satu hobinya adalah naik gunung. Katanya, bisa merasakan bersatu dengan alam itu sangat luar biasa. Bahkan, rasa puasnya tidak terkira. Akan tetapi waktu itu, ada nada aneh dalam ucapannya. Seperti ada yang disembunyikan. Sebab dia bilang, kalau mungkin dia ditakdirkan di kampung itu untuk mempertanggung jawabkan apa yang telah diperbuatkan. Sebuah takdir tidak akan pernah mengkhianati tuannya. Jujur, sampai saat ini aku tidak tahu maksudnya. Sempat kutanyakan masalah ini kepada Bagus, dan Endru. Tapi, keduanya juga tidak paham dengan bahasa aneh dari Bima. Dan beberapa waktu lalu...," kata pemuda itu terhenti. Alisnya saling bertaut seolah-olah tengah mengingat suatu hal. "Dan beberapa waktu yang lalu, aku melihat Bima datang ke kampus. Dia mengenakan kemeja polos berwarna krem, memakai tas ransel warna hijaunya, dia melangkah dengan buru-buru. Bahkan aku hendak menyapanya pun tidak bisa. Itu adalah hari pertama dan terakhir pertemuanku dengannya setelah dia pamit untuk ke kampung, Bang. Setelah itu, Bima tidak tampak lagi di mana-mana."     

Kemeja krem, dengan tas ransel warna hijau? Bukankah itu hari di mana aku bertemu juga dengan Bima waktu itu? Jadi, pemuda ini berbicara dengan apa adanya. Dia tidak bohong sedikitpun. Lalu, jika Bima kesini untuk pertama, dan terakhir kali setelah dia pamit ke kampung, pasti ada suatu hal yang dia urus, toh? Iya, aku harus mencari tahunya segera.     

"Kalian mau motor keluaran terbaru masing-masing satu?" tawarku. Ketiganya tampak menoleh satu sama lain, kemudian memandangku dengan tatapan aneh. "Mau tidak?" tawarku lagi.     

"Mau, Bang!" teriak ketiganya kompak. Aku langsung tersenyum mendengar jawaban cepat mereka. Akhirnya, aku mendapatkan sekutu lagi, sekarang.     

"Tapi, kalian harus bekerja padaku sebelumnya," ucapku pada akhirnya.     

Ketiganya dengan mimik wajah yang serius pun langsung memandang ke arahku. Aku semakin percaya diri, melihat antuasias ketiganya. Seorang pemuda metropolitan dengan gaya seperti mereka, pastilah barang-barang sedikit mewah menjadi incaran. Seolah, bisa memilikinya adalah sebuah kebanggaan tersendiri. Ya, pasti seperti itu. karena aku pun pernah muda dulu.     

"Apa, Bang? Katakan kepada kami, kami akan bekerja dengan baik untuk Abang!" semangatnya.     

"Cari tahu keberadaan Bima, kalau perlu ajak Bima bertemu denganku secara tidak sengaja. Aku ingin bicara empat mata dengannya, ada banyak hal yang ingin kutanyakan kepadanya. Apa kalian sanggup dengan pekerjaan ini?" tanyaku, ketiganya tampak diam. Sebab aku yakin, mereka pun ndhak tahu menaui mengenai keberadaan Bima. Dan, melakukan pekerjaan ini mungkin sangat awam bagi mereka bertiga. "Kalau kalian berhasil. Kalian bisa memilih motor jenis apa pun yang kalian suka. Aku akan membelikannya untuk kalian."     

"Abang tidak bercanda, kan? Motor yang kami inginkan harga mahal," kata Endru seolah meyakinkan dirinya sendiri.     

"Jangankan hanya tiga motor mahal, rumah pun mampu kuberikan untuk kalian."     

Dan, setelah melakukan kesepakan itu. Aku pun memutuskan untuk kembali ke rumah. Manis pulang masih lama, Ucup pun juga. Lebih baik aku pulang dulu, sekadar memeriksa proposal yang Ucup berikan kepadaku, dan membuat beberapa rancangan garis besarnya untuk ucup. Agar setelah itu, tatkala besok aku kembali ke Kemuning, semuanya sudah beres dan tersusun rapi. Tinggal Ucup, dan nanti akan kukirim beberapa orang kepercayaanku lainnya untuk membantu bagian awal dari pembangunan proyek ini.     

Aku menghela napas panjang, setelah masuk mobil aku ndhak lantas pergi. Kupijat pelipisku yang benar-benar terasa sakit. Semalam aku bahkan ndhak bisa tidur sama sekali karena kepikiran di mana keberadaan Rianti. Dan sekarang, akhirnya aku tahu, apa yang sebenarnya telah dirasakan oleh orangtuaku. Di saat hati benar-benar dilema dengan keberadaan anak perempuannya, di saat bersamaan anak laki-lakinya ndhak ada di rumah juga. Siapa yang ndhak akan nelangsa, dan siapa yang ndhak akan kepikiran olehnya? Bahkan aku pun sekarang, merasa otakku ini nyaris meledak karena memikirkan banyak masalah dalam satu waktu. Terlebih, masalah Rianti.     

"Bang, apa kamu butuh teman?"     

Aku langsung kaget, saat mendengar suara seorang perempuan. Dan saat aku membuka mata, aku langsung menjauhkan wajahku dengan spontan. Ada seorang perempuan, yang kepalanya dimasukkan di dalam mobil bagian depan, tepat di depan aku sedang duduk dan melamun tadi. Bibirnya, nyaris mengenai pipiku, sementara tangannya sudah menyentuh pipiku. Sial benar, seharusnya kututup kaca mobilku tadi, kenapa harus aku membukanya?     

Perempuan itu tampak tersenyum, pakaian bagian atasnya yang seksi benar-benar membuat bentuk dadanya terlihat sangat sempurna. Aku mencoba menghindar, dengan berpindah ke arah tempat duduk penumpang. Tapi, perempuan yang aku ndhak tahu siapa itu malah tertawa.     

"Kamu tampan, gagah perkasa. Tapi, dengan perempuan saja kamu takut luar biasa, Bang...," katanya, yang masih terdengar jelas suara tawanya itu. "Apa yang kamu takutkan dariku? Padahal di luar sana, para pemuda malah berlomba-lomba untuk mendekatiku."     

Aku menyeringai mendengar ucapannya itu. Ucapan yang sangat percaya diri yang keluar dari mulut seorang perempuan.     

"Maaf, tapi aku bukan laki-laki seperti itu. Dan aku sangat tidak minat dengan perempuan murahan sepertimu."     


Tip: You can use left, right, A and D keyboard keys to browse between chapters.