JURAGAN ARJUNA

BAB 192



BAB 192

0Dia berjalan cepat ke arah pintu, kemudian mengunci pintu itu dengan rapat. Lalu dia kembali, sambil membuka jas kebesarannya. Lalu, dia membuka kancing-kancing kemejanya. Dan setelah itu, dia membuka selimut yang menutupi tubuhku. Lagi, aku kembali kaget, saat tahu jika aku ndhak memakai pakaian. Lantas di mana bajuku? Apakah perempuan ini juga yang telah melepaskannya?     
0

"Tenang, Sayang. Aku akan membuat ini menjadi lebih mudah untuk kita," bisiknya.     

Dan entah apa yang terjadi, semuanya berjalan begitu cepat. Dia sudah duduk di atasku dan semua itu terjadi dengan sempurna. Yang aku rasakan hanya satu, rasanya hatiku sakit luar biasa. Karena aku merasa telah diperkosa dengan cara yang sangat menjijikkan seperti ini. Ditambah lagi, aku telah mengkhianati Manis. Manisku.     

Aku menahan napas tatkala dia terus menggodaku di berbagai titik sebisanya. Namun, saat kami menyatu, betapa kaget aku. Dia masih... perawan?     

Tubuhnya langsung ambruk di atasku, ujung matanya berair. Wajahnya tampak memerah. Sepertinya, dia tengah menahan sakit yang luar biasa.     

"Aku tidak tahu kalau sesakit ini, keluhnya."     

Kupejamkan mataku, karena pancingan-pancingannya yang benar-benar membuat kewarasanku gila. Sampai pada akhirnya, kubalas ciumannya tanpa aku menyadarinya. Kedua tanganku yang tadinya melemah kini bisa kugerakkan, kupeluk tubuh kecilnya agar semakin rapat dengan tubuhku.     

Aku benar-benar ndhak bisa mengendalikan diri saat itu, semuanya berlalu di luar kendaliku, bahkan yang aku pikirkan hanyalah bagaimana membuatnya menikmati ini, tanpa merasakan sakit yang tadi dia rasakan. Memberinya sentuhan-sentuhan kenikmatan, sampai dia tanpa sadar meloloskan erangan-erangannya. Aku benar-benar menikmati tubuh perawan ini.     

"Ini salah," bisikku padanya. Tapi dia masih memelukku dengan semakin erat. "Aku sudah punya istri. Ini salah," kataku. Memutuskan untuk menyudahi semuanya sekarang juga. Tapi, Widuri langsung memelukku, kemudian dia menangis tersedu.     

"Sekali, sekali lagi... jangan jadikan aku perempuan jalang seperti ini, Arjuna Hendarmoko."     

"Aku punya istri. Dan aku yakin istriku pasti hancur melihat kita seperti ini."     

Widuri sudah ndhak secongkak tadi, dia hanya menunduk sambil duduk di atas ranjang. Air matanya pun menetes di kedua punggung tangannya itu.     

Kuangkat wajahnya, matanya tampak sembab. Aku benar-benar ndhak paham, siapa dia, dari mana dia berada. Bagaimana dia datang dengan begitu lancang, dan dia menerobos pertahananku yang sudah lama kupertahankan.     

"Kamu siapa? Kenapa kamu tiba-tiba ada di sekitarku dan mengusik hidupku sampai seperti ini?" tanyaku kepadanya.     

Dia ndhak mengatakan apa pun, selain mata sipitnya memandang ke arahku dengan begitu nyata. Membuatku secara ndhak sadar kembali mencumbu bibirnya, kemudian menikmati tubunya untuk kesekian kalinya. Merekam setiap apa yang kami lakukan, dengan penuh gairah yang tumpah ruah. Mendengar desahan Widuri yang sangat menggoda, seolah menggelitik kewarasanku untuk memintanya lagi, dan lagi tanpa ingin berhenti. Gusti, kenapa bisa aku seperti ini? Di mana hati nuraniku, Gusti? Di mana?     

"Kamu sudah bisa berdiri?" tanyanya, tatkala aku sedang mengenakan pakaianku dan hendak pergi. Aku ndhak menjawabi apa pun, selain diam. Entah kenapa, di mataku saat ini hanya ada Widuri, di otak dan hatiku saat ini hanya ada Widuri. Dan aku ndhak bisa untuk jauh darinya, berpisah darinya. "Aku tidak mau jauh dari kamu, Arjuna. Bisakah kita ke rumahku saja? Kita bisa melakukan lebih banyak hal di rumah," ajaknya. Aku mengangguk, karena nafsuku kembali membuncah tatkala dia mengajak melakukan hal yang lebih itu. Aku tahu maksudnya, dan aku belum puas dengannya.     

Pelan, dia memapahku. Berjalan keluar dari ruangan itu. Sembari tersenyum dia membawaku masuk ke dalam mobilnya.     

"Kamu cinta sama aku, kan?" tanyanya. Aku mengangguk mengiyakan. "Kamu akan menikahiku, kan?" tanyanya lagi. Aku kembali mengangguk. Seperti orang linglung, aku benar-benar merasa kosong sekarang. Sebab yang ada hanya nama Widuri, Widuri, dan Widuri.     

"Kita mau ke rumahmu?" tanyaku pada akhirnya. Dia mengangguk. Kupeluk tubuhnya, kemudian kuhirup aroma khas Widuri. Aromanya benar-benar nikmat sekali. Aroma yang sangat legit luar biasa. "Kita bisa lakukan di sini," bisikku menggodanya. Dia malah tertawa.     

"Ini di tempat umum. Ayo kita cari tempat yang sepi. Kita akan main-main sampai malam."     

"Iya, Sayang,"     

Tapi, mobil yang dikendarai Widuri tiba-tiba terhenti, tatkala ada rombongan laki-laki berbadan kekar menghadang mobil kami.     

"Berhenti!" teriak salah seorang di sana. Siapa dia? Suwoto? Kenapa orang ndhak berguna itu ada di sini? Bukankah tadi aku menyuruhnya untuk bersama dengan Manis? "Juragan ayo keluar, Juragan. Ayo pulang! Ndoro Manis sudah menunggumu di rumah!" teriaknya, menggedor-gedor kaca mobil. Tapi, aku ndhak peduli. Selain memiringkan wajahku darinya.     

"Keluar kamu perempuan setan! Keluar! Atau aku matikan kamu!"     

Mendengar perkataan Suwoto yang mengancam Widuri membuatku ndhak terima, aku lantas keluar dari dalam mobil dan mendekat ke arah Suwoto.     

"Jura—"     

Buk!!     

Suwoto langsung terjatuh dengan sempurna setelah kupukul. Lalu Suwoto hanya terperangah ndhak percaya melihatku.     

"Jangan ancam-ancam kekasihku!" marahku padanya.     

"Juragan, ingat, Juragan, ingat! Juragan sadar! Juragan sudah kena pelet perempuan itu, Juragan!" teriak Suwoto, terus berusaha menggoyang-goyangkan tubuhku tapi aku langsung menepisnya dengan kasar. "Apa Juragan ndhak kasihan dengan Ndoro Manis? Ndoro Manis adalah istri tercinta Juragan!" bentaknya kepadaku.     

Aku mengabaikannya, hendak masuk ke dalam mobil lagi. Tapi, salah seorang di sana langsung memukul kepalaku sampai aku kembali ndhak sadarkan diri.     

*****     

"Jadi, bagaimana Paklik Suwoto? Bagaimana? Apa benar suamiku dipelet oleh perempuan itu? Tapi, bagaimana bisa?" tanya Manis, yang lamat-lamat kudengar tatkala kesadaranku sudah mulai kembali.     

Aku sudah berada di kamar rumahku, tapi aku merasa benar-benar ndhak nyaman dengan tempat ini. Aku rindu Widuri, aku ingin Widuri saat ini sekarang juga. Aku ingin merasakan manis bibir Widuri, aku ingin merasakan ketika keluar bersama dengan Widuri, aku ingin semua inci tubuh Widuri yang sangat menyenangkan itu.     

"Saya juga ndhak paham, Ndoro. Tapi, terakhir kali saya menemuinya di depan rumah. Juragan sudah diisi. Dia langsung pingsan begitu saja. Kejadian setelahnya telah Ndoro saksikan sendiri tadi. Sepertinya, saya harus ke Banyuwangi untuk segera menyelesaikan ini semua Ndoro. Akan tetapi, saya juga ndhak mungkin meninggalkan Ndoro sendiri. Saya akan menyuruh orang-orang Kemuning ke sini. Karena saya juga ndhak mau kalau-kalau Juragan Besar, dan Ndoro Putri panik karena Juragan Arjuna ndhak pulang ke rumah tepat waktu."     

"Widuri! Bedebah kamu Suwoto! Di mana Widuriku, di mana!" teriakku kesetanan.     

Aku langsung melempar Suwoto dengan telepon rumah, sampai laki-laki kurang ajar itu berdiri. Kemudian dia pergi dari kamarku. Dan yang tersisa sekarang, hanya aku, dan Manis. Ya, kami berdua. Dan aku benar-benar merasa ndhak nyaman dengan keadaan ini, aku merasa muak dengan Manis. Berada di dekatnya, benar-benar membuatku emosi.     

Manis mendekat ke arahku, kemudian dia membuka kemejaku. Dia tampak tertegun melihat apa yang ada di sana. Air matanya kembali keluar, tapi aku benar-benar sangat membenci itu. Apa yang dia lakukan, benar-benar membuatku muak sekarang.     

"Tanda-tanda merah ini, dari siapa? Apa dari perempuan itu, Kangmas?" tanyanya.     

"Ya."     

"Sejauh mana... sejauh mana yang kalian lakukan. Sejauh mana, Kangmas?" tanyanya lagi dengan suara parau.     

Kupicingkan mataku, kemudian aku mendekat ke arahnya. Sembari tersenyum aku pun berkata, "bahkan kami hendak kelon (bercinta) untuk ketiga kalinya kalau saja orang-orang sialanmu itu ndhak merusak kesenangan kami."     


Tip: You can use left, right, A and D keyboard keys to browse between chapters.