JURAGAN ARJUNA

BAB 194



BAB 194

0Sore ini, sama seperti sore-sore biasa. Benar memang aku bahagia tatkala bersama dengan Widuri, karena bagiku Widuri adalah duniaku. Tapi entah kenapa, jauh di dalam lubuk hatiku terasa begitu kosong. Ada hal aneh yang mengganjal di sana. Bahkan aku sendiri ndhak tahu, ada apa itu? Seperti sepi, dan rindu akan satu hal. Tapi aku ndhak tahu apa jelasnya.     
0

Aku kembali menghela napas panjang, sembari membolak-balik buku yang kubaca. Saat ini aku sedang duduk di teras depan rumah, sembari melihat beberapa kendaraan roda dua berlalu-lalang, kalau ndhak begitu, ya, melihat tetangga saling hilir-mudik sembari berjalan.     

"Kamu ini suaminya Widuri?" tanya salah seorang Bulik kepadaku. Di tangannya sudah ada satu kantung belanjaan, yang kutebak isinya sayur-sayuran. Pasti dia heran, melihat ada pemuda berada di rumah seorang perempuan lajang. Aku sendiri pun ndhak tahu, harus menjawab apa.     

"Calon suamiku, Tante," jawab Widuri, yang rupanya sudah berada di sampingku.     

Aku hanya tersenyum mendengar jawaban dari Widuri itu. Calon suami? Hal itu sepertinya cukup menarik. Dari pada kami terus berbuat dosa setiap hari seperti ini. Lagi pula, aku juga ndhak mau kehilangan dia. Kalau kami menikah, maka kami ndhak akan pernah terpisahkan.     

"Kamu pintar sekali memilih calon suami. Sudah cakep, badannya bagus. Kelihatannya pun bukan orang sembarangan," kata Bulik itu lagi.     

Aku tersenyum saja mendengar celotehannya. Bahkan untuk berkata pun, aku takut. Iya, aku takut jika salah, dan itu malah membuat Widuri berada di posisi yang salah.     

"Iya, dia adalah pengusaha, Tante," jawab Widuri lagi, dengan penuh percaya dirinya.     

Aku nyaris tertawa mendengar ucapannya itu. Pengusaha apa? Pengangguran yang banyak gaya? Dasar, dia ini!     

"Jangan lupa, undangannya, ya. Semoga kalian langgeng,"     

"Iya, Tante,"     

Setelah mengatakan itu, Bulik itu pun pergi. Meninggalkan aku dan Widuri berdua, dia memberiku teh, yang aromanya sedikit menyengat. Seperti aroma... kemenyan?     

"Ini apa?" tanyaku padanya, dia duduk, kemudian tersenyum kepadaku.     

"Maaf, tadi aku masak air, kan. Terus tidak sengaja kemenyan yang kemarin malam kita pakai itu, tumpah. Jadi, aromanya kemana-mana," jawabnya.     

Aku hanya menggeleng kepala, kemudian menyesap teh buatannya. Lidahku terasa terbakar, saat menyentuh teh itu. Padahal, aku yakin benar kalau teh ini ndhak panas. Benar-benar ndhak panas.     

"Kamu kerja jadi dokter?" tanyaku. Ingat tatkala kejadian beberapa lalu di rumah sakit.     

"Oh, iya. Kebetulan aku lulusan kedokteran di Universitas yang kamu datangi kemarin. Kemarin, aku ingin bertemu dengan teman lamaku. Eh, malah ketemu jodoh," jawabnya.     

Aku kembali tersenyum saja, ndhak menjawabi lebih lanjut. Setelah meletakkan teh yang dibuat Widuri di atas meja.     

"Kenapa tidak diminum, Arjuna? Minum," katanya. Aku hanya menggaruk hidungku yang ndhak gatal, sebab aku ndhak tahu, jawaban apa yang harus kuberikan kepada Widuri. Aku takut, dia marah kalau mendengar jawabanku yang sebenarnya. "Apa teh buatanku tidak enak?"     

"Oh, enak," jawabku patuh. Bahkan untuk sekadar menentangnya pun, aku ndhak mau. Aku ndhak mau membuatnya marah, karena aku ndhak mau dia membenciku, kemudian pergi dariku. Aku, ndhak mungkin bisa hidup tanpanya. Tanpa cintanya.     

"Jadi, minum. Habiskan. Habiskan, Arjuna! Kalau tidak jangan harap aku akan melayanimu lagi."     

"Baiklah," patuhku. Meski rasanya teramat sangat aneh, dan nyaris membakar seluruh mulutku. Aku tetap meminumnya sampai habis.     

Melihat itu, Widuri lantas tersenyum, kemudian dia mencium pipiku. Seolah-olah, aku adalah anak kecil yang sangat patuh padanya.     

"Bagus, Sayang... habiskan. Setelah ini kita akan melakukan hal yang menyenangkan. Kita, harus rajin agar aku segera mengandung keturunanmu. Jadi, kamu harus terus meminum teh itu sampai habis, ya," bujuknya. Nadanya sangat lembut, sampai-sampai membuatku ndhak bisa menolak, ndhak bisa mengatakan endhak.     

Dan setelah itu, kepalaku kembali terasa sangat pusing. Widuri, menuntunku, memasukkanku ke dalam rumah. Dengan gelak tawanya itu dia langsung membawaku ke kamar. Ya, kamar yang kini bukan lagi kamarnya. Akan tetapi kamar kami, yang kini bukan hanya aku, dan dia. Akan tetapi, telah menjadi kami. Menyatu dengan penyatuan-penyatuan yang penuh nafsu.     

"Sayang...," bisiknya kepadaku, aku mengerutkan keningku, kemudian dia memeluk tubuhku dengan sangat erat. "Besok kita menikah, ya."     

Aku kembali terdiam, mendengar permintaan dari Widuri. Mulut dan nafsuku memang ingin mengatakan 'iya' saat ini juga. Tapi, entah kenapa hati kecilku terus meronta, jika apakah ini baik? Apakah ini yang terbaik?     

Aku kembali terjingkat tatkala Widuri terus-terusan menggodaku. Dan, keresahan-kerasahan itu tiba-tiba menjadi enyah entah di mana. Menjadi suatu keputusan pastu, tanpa harus berpikir apa-apa lagi.     

"Iya, Sayang. Besok kita akan menikah,"     

Dia langsung kegirangan, kemudian dia tertawa senang. Lagi, dia memelukku semakin erat. Dan aku hanya tersenyum dengan semua tingkahnya itu. Besok... kami akan menikah, kan?     

"Aku tidak sabar, setelah ini aku akan menjadi Nyonya dari Arjuna Hendarmoko. Oh, tidak... tidak, aku akan menjadi Ndoro Putri Widuri Hendarmoko. Benar seperti itu, kan, Sayang?" tanyanya lagi.     

"Iya, kamu akan menjadi seorang Ndoro Putri, untukku. Hanya untuk Juragan Nathan Hendarmoko," jawabku pada akhirnya. Senyum Widuri semakin merekah, kemudian dia memandang ke arahku lagi.     

"Jadi, aku lebih yang kamu cinta, dan kamu jadikan nomor satu, kan, dari pada istri pertamamu itu?" tanyanya seolah menyelidikku.     

Aku kembali tersenyum kemudian mengangguk kuat-kuat. "Pasti kamu akan jadi nomor satu, kamu yang berhak dengan kedudukan sebagai Ndoro Putri. Karena apa? Karena kamu perempuan satu-satunya yang aku cintai. Bukan perempuan lain mana pun."     

"Termasuk istrimu sekarang ini? Yang namanya Manis?" tanya Widuri lagi.     

"Iya, termasuk Manis."     

"Kamu tidak mencintainya, kan? Kamu hanya cinta padaku, kan?" ulangnya, seolah hendak meyakinkan pada dirinya sendiri kalau aku ini benar-benar mencintainya. Ya, hanya dia seorang.     

"Iya, Sayang. Yang kucintai itu hanya kamu. Manis, nanti aku bisa meninggalkannya kalau kamu mau."     

Widuri sepertinya merasa sangat puas dengan ucapanku itu. Dia kembali memeluk tubuhku dengan sangat erat.     

Aku menghela napas panjang, kupandangi wajah Widuri yang benar-benar memabukkan itu.     

"Jadi, ayo lakukan lagi."     

"Apa?"     

"Memenuhi rahimmu dengan calon anakku,"     

Widuri kembali terbahak mendengar ucapanku. Kemudian dia mencubit pinggangku dengan gemas. Aku langsung memeluknya, sembari mendorong tubuhnya. Hingga, tubuh kami sama-sama ambruk, dan pandangan kami saling bertaut satu sama lain.     

"Arjuna, kamu benar-benar tampan. Apa kamu menyadari itu?" lirihnya, matanya terus-terusan meneliti setiap inci wajahku, tapi aku malah ndhak merasa malu sama sekali karena itu.     

"Kamu juga sangat cantik. Terlebih, saat kamu mendesah sambil menyebutkan namaku," bisikku.     

Dan apa yang kami lakukan adalah, kegiatan-kegiatan yang selalu menguras tenaga ini. kegiatan yang mungkin dulu aku merasa ndhak seperlunya kulakukan setiap saat. Tapi dengan Widuri, aku ndhak mampu menolaknya barang sedikitpun. Widuri benar-benar perempuan yang sangat istimewa, perempuan yang benar-benar bisa membangkitkan birahiku dengan segila-gilanya.     


Tip: You can use left, right, A and D keyboard keys to browse between chapters.