JURAGAN ARJUNA

BAB 181



BAB 181

0Gusti, ternyata adikku telah pergi dan sampai detik ini dia ndhak ada kabar, bahkan ndhak pernah kembali ke sini? Bagaimana Romo ndhak sakit jika hal itulah yang benarnya terjadi. Sebagai seorangtua, kurasa bukan hanya Romo saja. Akan tetapi semua orang pasti akan merasa seperti Romo Nathan. Terlebih Rianti, adalah anak perempuannya. Ndhak peduli jika Rianti anak satu-satunya, atau anak perempuan dari beberapa saudara. Sebab bagaimana pun, kasih Romo kepada anak perempuannya adalah yang paling nyata.     
0

Lantas, yang kutemui di Jakarta itu siapa? Apa benar dia adalah Bima? Jika benar kalau pemuda yang kutemui itu adalah Bima, maka aku harus membuat perhitungan kepadanya. Aku harus mencarinya dan menanyakan di mana gerangan keberadaan adikku. Sebab sampai kapan pun, aku ndhak akan pernah mau, setelah pernikahnnya dengan adikku, adikku diajak pergi dan ndhak pernah kembali.     

Kuremas ujung dipang yang sedari tadi kugenggam, rahangku mengeras hanya dengan perkara ini. Bahkan emosiku, sudah berada di ubun-ubun sekarang.     

"Kurang ajar, Bima! Dia harus membayar apa yang telah ia lakukan kepada keluargaku, terlebih kepada Romo, dan adikku!" marahku saat itu.     

"Juragan salah, jangan salahkan Juragan Bima, Juragan," kata Paklik Sobirin seolah ingin meluruskan sebuah masalah. "Sebab, sedari awal yang bersikeras untuk pergi adalah Ndoro Rianti. Bahkan Juragan Bima sempat membujuk Ndoro Rianti untuk tetap tinggal, sebelum dia mengikuti apa yang telah menjadi keputusan Ndoro Rianti."     

Gusti, apa toh ini yang sebenarnya terjadi. Apa benar Rianti—adikku malah menginginkan untuk pergi jauh dari kampung ini? Endhak... endhak, ini pasti ada sesuatu yang salah. Ini pasti ada hal yang salah sampai membuat adikku pergi dari rumah. Apakah... apakah ini ada sangkut pautnnya dengan hatinya? Jika iya, bukankah seharusnya perkara ini ada sangkut pautnya dengan Zainal?     

"Paklik, bisa aku minta bantuanmu sekarang?"     

"Apa, Juragan?"     

"Kamu tahu seorang pemuda yang rumahnya ndhak jauh dari perempatan di perbatasan kampung kita yang bernama Zainal?" kubilang. Paklik Sobirin tampak mengerutkan alisnya.     

"Zainal siapa, Juragan? Di sini Zainal ada tiga, Zainal si kurus yang kerjaannya menjajakan anyaman bambu ke kota, Zainal si gendut yang kerjaannya berternak domba, dan sapi perah, dan Zainal si hitam manis yang menjadi gandrungan perempuan-perempuan kampung."     

"Mana kutahu semua Zainal itu, aku bukan Lurah yang bertugas untuk mendata mereka satu persatu. Tapi, aku hanya butuh Zainal yang bapaknya bekerja menjadi abdi dalem di rumah kita."     

"Oalah! Zainal kembang desa itu, Juragan! Walah, bagus (ganteng)nya itu lho, ndhak ketulungan."     

"Aku juga ndhak peduli kalau gantengnya dia ndhak ketulungan, Paklik!" jengkelku pada akhirnya. Aku benar-benar merasa ndhak cukup sabar jika harus bercakap dengan Paklik Sobirin, dia benar-benar orang yang menjengkelkan sekarang. "Cari dia, suruh dia menemuiku di gubung yang ada di perkebunan teh!"     

"Maaf, Juragan,"     

"Ada apa lagi, toh, kamu ini, Paklik? Kok ya ngomong itu muter-muter seperti kitiran yang ada di sawah itu lho, ndhak pernah bicara barang runtut, jelas, gamblang, dan singkat!"     

"Maaf, Juragan. Saya ndhak bisa membawa Zainal ke sini. Saya ndhak tahu keberadaannya sekarang,"     

"Kalau ndhak tahu tanya emaknya, toh. Masak iya kamu mau tanya sama kerbau-kerbaumu itu. Tanya emaknya atau cari ke Berjo, atau di tempat-tempat yang biasanya ia kunjungi."     

"Tapi masalahnya, Juragan, Zainal sudah ndhak tinggal di Kemuning lagi."     

Aku langsung kaget, mendengar penuturan Paklik Sobirin itu. Apa maksud dari Zainal sudah ndhak tinggal di Kemuning lagi?     

"Zainal pergi bekerja bersama kawannya di kota, Juragan."     

"Kapan kira-kira kepergiannya, Paklik?" tanyaku lagi.     

Paklik Sobirin kembali diam, sepertinya dia sedang mengingat-ingat kapan kira-kira Zainal pergi dari Kemuning dan memutuskan untuk bekerja di kota.     

"Kira-kira ndhak lama setelah Juragan pergi."     

Tunggu... jangan-jangan....     

"Lebih dulu mana, Zainal yang pergi untuk bekerja di kota, atau Rianti yang pergi dari kediaman ini?" tanyaku. Dadaku entah kenapa tiba-tiba terasa ngilu, aku benar-benar ndhak tahu bagaimana hatiku merasa ndhak enak. Jika benar tebakanku, maka jawaban dari Paklik Sobirin adalah....     

"Lebih dulu Zainal, Juragan."     

Tubuhku langsung terasa lemas mendengar jawaban itu dari Paklik Sobirin. Dan seketika mataku terasa panas dibuatnya. Duh Gusti, Ndhuk... Ndhuk. Apa yang sejatinya kamu inginkan di dunia ini? Apa yang sejatinya membuatmu menjadi seperti ini?     

Jika benar kamu mencintai Zainal, bukankah kamu hanya tinggal mengatakan kepada Romo jika kamu ndhak mau menikah dengan Bima? Jika benar kamu telah mencintai Zainal bukankah lebih baik kamu perjuangkan cintamu?     

Lantas kenapa, Ndhuk... kenapa? Lantas kenapa kamu harus setuju menikah dengan Bima, Ndhuk, kenapa?!     

Apa yang sebenarnya ada dalam isi otakmu itu? Apa yang sebenarnya ada pada isi hatimu? Ndhak percayakah kamu kepada Romo, dan Biung? Sampai kamu menyimpan semua masalahmu sendiri. Sampai kamu ndhak pernah sama sekali membagi rasa sakitmu kepada kami. Kenapa, Ndhuk?     

Dan setelah kamu menikah dengan Bima, apa yang kamu peroleh? Padahal kamu juga tahu dengans angat jelas, bahkan Bima pun ndhak memiliki perasaan apa-apa denganmu. Jika kamu melakukan ini, apa yang hendak kamu sombongkan, Ndhuk? Apa yang hendak kamu tuju atas semua keputusan sembronomu ini?     

Terlebih, hal yang benar-benar berada di luar nalar adalah, kenapa, kenapa jika kamu benar telah memutuskan menikah dengan Bima. Kenapa kamu harus pergi? Kenapa kamu harus pergi setelah Zainal pergi? Apa yang sebenarnya kamu rencanakan? Apakah kamu merasa menyesal telah menikah dengan Bima, dan rasa takut kehilangan Zainal yang sangat tinggi sehingga membuatmu frustasi dan memutuskan ke kota? Ataukah malah, kamu pergi ke kota itu dengan tujuan untuk mencari di mana Zainal berada? Ndhak, Ndhuk... endhak! Jika benar keputusanmu maka kamu telah sangat keliru sedari awal. Karena apa? Sekarang, saat ini, yang terluka dan akan hancur bukan hanya kamu seorang. Akan tetapi, Romo, Biung, aku, Zainal, dan bahkan... Bima.     

Iya, memang benar, jika Bima yang telah memperkosamu. Bima telah membuatmu menjadi perempuan yang ndhak suci lagi. Tapi biar bagaimanapun, Bima ndhak pantas kamu perlakukan seperti ini. Biar bagaimanapun Bima adalah suamimu. Suamimu yang sah, yang kamu pilih dengan sangat sadar. Meski saat kamu mengatakan hendak menikahinya, antara kamu terpaksa, atau kamu ndhak cinta.     

Gusti, duh Gusti Pangeran. Seyogyanya aku memang seorang manusia yang benar-benar hina di dunia. Namun ketahuilah, Gusti... jika aku adalah sama dengan makhlukmu yang lain, toh? Jika aku juga mendapatkan porsi yang sama tatkala aku berdoa, toh? Jadi, Gusti, aku mohon... dari sekian banyak doa-doaku itu kabulkanlah satu, terlebih, tolong kabulkan doa-doa dari adikku, Rianti. Lindungi dia di mana pun dia berada, dan lembutkanlah hatinya. Agar dia menjadi perempuan yang lebih baik lagi, perempuan yang welas asih, dan perempuan yang bisa bersatu dengan orang yang dia cintai. Gusti, itu adalah salah satu dari doa-doaku, dan aku mohon, kabulkanlah doaku itu.     


Tip: You can use left, right, A and D keyboard keys to browse between chapters.