JURAGAN ARJUNA

BAB 92



BAB 92

0"Memangnya mau apa, toh?"     
0

"Mau apa, ya? Main...." kubilang. Dia tampak menahan senyumnya. "Hari ini kita dituntut untuk melakukan permainan yang sangat seru. Yang bahkan, kamu ingin melakukannya sampai berpuluh-puluh putaran. Pemainnya hanya ada dua, aku, dan kamu. Dan tempatnya itu di atas dipan," godaku.     

"Main apa?" tanyanya seraya menggoda. Duh Gusti, rupanya dia juga sudah pandai menggoda orang, toh. Pakai tanya main apa segala.     

"Coba tebak main apa?" godaku lagi, berjalan mendekat ke arahnya, sembari kudekatkan wajahku padanya. Kutampilkan senyum paling manis kepadanya, membuatnya kembali tersipu malu-malu karena perlakuanku itu.     

"Kenapa harus mandi, hayo?" katanya lagi. "Memangnya, kalau ndhak mandi ndhak boleh? Kan, nanti mandi lagi," dia bilang.     

Kugigit bibirnya sampai ia mengaduh, kemudian aku pun menangkap wajahnya dengan kedua tangannya. Wajahnya benar-benar tampak mungil, hanya seukuran kedua tanganku ini. Duh Gusti, pantas saja banyak orang bilang tatkala jatuh hati tai kerbau pun aromanya wangi.     

"Ya sudah, ayo kita main. Ndhak perlu mandi-mandian!" semangatku. Yang kini sudah menindih tubuhnya.     

Wajah Manis kembali memerah, kini dia ndhak berani memandang ke arahku. Malu-malu ia memalingkan wajahnya, dan itu semakin membuatku gemas ndhak terkira.     

"Sayang, kenapa kamu malu? Bukankah kita sering melakukannya dulu?" kubilang.     

"Kangmas...," kata Manis, yang telah mengabaikan semua godaanku. "Terimakasih...," katanya lagi. Dan itu berhasil membuatku menanggapinya dengan serius. "Terimakasih telah sudi mencintai perempuan ndhak punya apa-apa sepertiku, dan terimakasih telah membalas cintaku. Kupikir dulu, hanya akulah yang mencintaimu secara diam-diam, hanya akulah yang mencintaimu seorang diri. Tapi rupanya, Gusti Pangeran menjawab semua doa-doaku, siapa sangka, pemuda seperti Arjuna Hendarmoko telah membalas cintaku," ada nada haru yang kutangkap pada ucapan Manis. Ada nada yang benar-benar aku ndhak bisa harus bagaimana caraku mendeskripsikannya. Manis, seolah menganggapku seperti anugerah terindah, atau bahkan dia menganggapku sebuah keajaiban yang telah didapatkan dari kemustahiilan yang ia pikirkan. Gusti, andai dia tahu, jika aku ini juga manusia biasa. Jika aku ini hanya seorang Arjuna Hendarmoko, yang ndhak akan menjadi hal mustahil untuk mencari perempua ayu (cantik) sepertinya. Lantas, di manakah letak anugerah itu?     

Kukecup lagi bibirnya agar dia ndhak bicara apa-apa lagi. Sebab jujur, rasanya benar-benar merasa bersalah jika aku mengingat hal yang lalu. Terlebih, tatkala aku bercerita tentang Arni di depannya. Sungguh, aku ndhak bisa membayangkan bagaimana sakit hatinya Manis saat itu. Dan, akulah penyebab semuanya.     

"Maafkan aku," kubilang, dia tampak menggeleng. Sungguh, aku ndhak tahu harus mengatakan terimakasih, atau maaf kepada Manis. Sebab kurasa, hanya Manislah perempuan satu-satunya dalam hidupku yang telah mengetahui apa pun dariku dan dia masih bertahan dengan cintanya. Mengetahui semua keburukanku, mengetahui kebiasaan-kebiasaan jelekku. Terlebih, mengetahui dengan mata dan kepalanya sendiri tatkala aku bercumbu dengan Arni dulu. Manis, kamu seperti malaikat, yang aku sangat bahagia karena telah memiliki dirimu.     

"Ndhak ada yang perlu dimaafkan. Namanya hati, ndhak akan ada yang abadi. Sebab itulah, menjaga adalah cara terbaik agar apa yang kita rasakan akan tetap sama untuk waktu yang lama."     

"Dan sekarang, berhentilah mengingat-ingat hal yang membuat kita sedih. Kita ganti topik pembahasannya," kataku untuk mengalihkan pemikiran Manis yang agaknya benar-benar sedang emosionil sekarang. Aku ndhak mau membuatnya bersedih, dengan memikirkan hal macam-macam, dan itu malah berakibat menganggu kesehatan, dan pikirannya. Aku mau dia bahagia, dan janjiku sudah kukatakan kepada orangtuaku tadi.     

"Apa topiknya?"     

"Kelon, bagaimana?"     

Aku langsung menyerbunya, mencumbunya sembari melepaskan pakaian yang sedari tadi melekat pada dirinya. Ini adalah malam pengantin kami, dan aku ndhak mau menyia-nyiakan malam yang indah ini.     

"Sayang, aku—"     

"Romo! Biung! Romo!"     

Aku langsung melirik ke arah pintu, tatakala terdengar ketukan yang begitu keras dan ndhak sabaran. Ada apa, toh, Ningrum ini. Bagaimana bisa dia menganggu orangtuanya yang sedang berusaha bekerja keras malam ini.     

"Romo! Biung!" teriaknya lagi tampak ndhak sabar sama sekali.     

"Ningrum...," kata Manis, ia hendak berdiri kemudian kutahan. Enak saja, malam ini Manis adalah milikku, dan ndhak ada yang boleh mengangguku termasuk itu Ningrum. "Tapi, Ningrum?"     

"Biarkan saja. Dia pasti mengerti, jika orangtuanya sedang melakukan pertempuran yang sangat berbahaya," kataku untuk merayunya. "Dia juga pasti akan bahagia dengan ini. karena hasil dari pertempuran ini adalah, untuk mengemban sebuah misi yang sangat luar biasa. Yaitu, membuatkannya seorang adik bayi. Ayolah, ndhak usah kamu pikirkan siapa-siapa, oke? Di luar ada banyak orang, jika Ningrum ada perlu, dia pasti bisa meminta tolong kepada mereka," bujukku lagi. Kembali mencumbui dada, dan leher Manis.     

"Romo! Biung!"     

"Ada apa, toh, Ndhuk? Romo, dan Biung sedang sibuk!" marahku. Apa-apaan, toh, dia ini? Kenapa dia tiba-tiba menjadi anak yang pembangkang, dan menyebalkan seperti ini? Dia sudah dewasa, pastinya sudah paham dengan apa yang aku, dan biungnya hendak lakukan.     

Tapi rupanya, Ningrum ndhak menyerah. Dia memukul-mukul pintu kamar semakin keras. Aku yakin, jika ini adalah perbuatan Ningrum normal maka semua penghuni kediaman ini akan keluar dan memarahi Ningrum. Sebab bagaimana bisa, seorang anak melakukan pekerjaan yang membuat keributan. Bagaimana pun, ini adalah rumah dari seorang Juragan Besar, yang apa pun harus dijunjung tinggi dengan segala aturannya.     

"Kangmas, ndhak usah marah-marah," kata Manis. Ia kemudian melepaskan dekapanku, meraih pakaiannya dan memakainya lagi.     

"Ini pasti ulah tua bangka Nathan Hendarmoko itu. Senang benar dia menganggu. Kayak ndhak pernah muda saja. Pasti dulu, malam pengantinnya dilalui dengan amat suram. Makanya dia meminta kawan sekarang," gerutuku. Iya, aku baru ingat, jika bahkan Romo ndhak bisa merasakan malam pengantin. Malam pertamanya sama Biung saja dia lakukan dengan cara tipu daya. Ah, pantas saja dia sekarang ingin mengangguku. Kasihan sekali laki-laki tua itu. dasar!     

Dan lagi-lagi Manis melotot, ia beranjak dari ranjang kemudian membuka pintu kamar. Sudah ada Ningrum di sana, sambil memeluk buku-bukunya. Memandangku, dan Manis secara bergantian dengan kaku, kemudian tersenyum lebar. Aku tahu, dia pasti terpaksa melakukan ini. Sebagai anak perempuan usia seperti Ningrum pada zaman ini, bisa dikatakan ia sudah memasuki usia perawan. Bukan bocah kecil lagi.     

"Ada apa, Ndhuk?" tanya Manis pada akhirnya, setelah ia beranjak dari ranjang kemudian membukakan pintu untuk Ningrum.     

"Biung... Romo... aku ada tugas sekolah, dan aku ndhak bisa mengerjakan. Jadi, boleh aku minta diajari kalian?"     

"Ndhak!"     

"Boleh," jawabku, dan Manis bersamaan. Aku langsung melototi Manis, tapi dia malah memelototiku semakin lebar. "Sini, Ndhuk, masuk... masuk."     

Manis, kamu benar-benar telah membangunkan macan tidur, rupanya? Bagaimana bisa, kamu sendiri yang telah menggagalkan rencana malam pengantin kita? Bagaimana bisa, Romo, Biung, Rianti, dan Ningrum membuat kejahatan yang ndhak termaafkan seperti ini? apakah mereka ndhak puas setelah melihatku sengsara selama berbulan-bulan? Belum cukup mereka melihat itu semua?     


Tip: You can use left, right, A and D keyboard keys to browse between chapters.