JURAGAN ARJUNA

BAB 139



BAB 139

0"Jadi benar, kalian berdua ndhak mau pulang sama-sama?" tanya Biung, yang saat ini bertanya kepadaku, dan Manis.     
0

Paklik Sobirin sudah membawa sebuah mobil untuk menjemput mereka pulang. Tapi, aku menolak. Sebab aku ingin punya waktu berdua saja dengan istriku. Karena masalah Rianti, kami jadi ndhak punya waktu untuk sekadar pacaran lagi.     

"Kalian pulang saja dulu. Aku dan Manis ingin pulang dengan berjalan kaki. Memangnya, hanya Romo, dan Biung saja, toh, yang mau pacaran. Kami juga ingin," kubilang.     

Manis langsung menyikut perutku, wajahnya sudah memerah karena malu. Tapi, siapa peduli. Toh Romo, dan Biung yang sudah setua itu saja ndhak punya malu.     

"Kamu iri, toh? Ya sudah, sana, pacaran yang lama. Kami juga ndhak mau ganggu, toh. Iya, toh, Sayang?" kata Romo lagi, seolah semakin memamerkan kemesraannya di depanku.     

Aku langsung menggenggam tangan Manis, kemudian beranjak dari sana. Lalu aku berujar, "ingat, ada Bima. Jaga adab kalian di depan tamu!"     

"Kamu ini lho, Kangmas. Kok ya ndhak sopan benar dengan Romo, dan Biung, toh," celetuk Manis. Tatkala kami sudah berpisah dengan kedua orangtuaku.     

Aku menggenggam tangannya dengan erat, kemudian aku tersenyum. Aku merasa sudah sangat lama ndhak berduaan seperti ini dengannya. Kok rindu juga.     

"Kalau sama mereka itu ndhak usah merasa sungkan, toh, mereka juga ndhak punya sungkan dengan yang muda. Biarkan saja," kujawab. Manis kembali tersenyum.     

Kami berjalan dalam diam, masih dengan bergandengan tangan. Untuk sesekali kami tersenyum, sembari melihat satu sama lain. Seperti orang bodoh, memang. Tapi, siapa peduli? Toh, kami sangat menikmatinya dengan senang hati. Sembari mengingat kenangan-kenangan masa muda dulu, saat aku dan Manis masih menjadi kawan. Siapa sangka kini gandengan tangan kami telah memiliki beda arti, beda status, dan beda dunia. Aku adalah suaminya, dan dia adalah istriku. Kami sama-sama telah jatuh hati entah dari kapan itu.     

"Lho, Juragan Arjuna, Ndoro Manis. Kok ya kalian jalan kaki saja. Bukankah rombongan kalian baru saja lewat dengan naik mobil?" sapa seorang Bulik, tatkala kami melewati depan rumahnya.     

Bulik itu ndhak sendiri, tapi bersama dengan beberapa Bulik-Bulik lainnya. Mungkin mereka sedang bercakap bersama-sama, menghabiskan waktu sore mereka setelah memasak tentunya.     

"Ndoro Manis sudah pulang, toh? Libur kuliah, Ndoro?" tanya Bulik lainnya.     

Merasa sungkan dipanggil Ndoro, Manis pun tampak menunduk, sembari tersenyum malu-malu. Maklum, dia masih belum terbiasa. Dan aku paham dengannya sekarang.     

"Iya, Bulik. Baru saja ujian akhir semester, toh. Jadi dapat libur dua minggu, seminggu lagi kembali ke Jakarta," jawabnya sopan. Aku tersenyum mendengar jawaban Manis yang seperti itu. Dia benar-benar pandai menempatkan diri di mana pun dia berada.     

"Wah, Juragan bagusnya ditinggal-tinggal terus ini. Apa ndhak rindu? Atau ndhak takut kalau kepincut perempuan lain, Ndoro?"     

"Iya, benar itu, Ndoro. Juragan ini masih sangat muda, sangat rupawan, dan seorang yang berkedudukan tinggi. Terlebih...," kata Bulik lainnya, memandang Manis dari atas sampai bawah. "Kamu ini termasuk lama juga, ya, Ndoro. Hati-hati, lho," lanjutnya.     

Kukerutkan keningku ndhak paham dengan apa yang diucapkan oleh Bulik itu. Membuat Manis memandang ke arahku barang sejenak.     

"Hati-hati apa, toh, Bulik? Aku sama sekali ndhak paham," katanya jujur.     

Bulik itu tampak tersenyum, sementara Bulik-Bulik lainnya saling sikut. Aku pikir, Bulik-Bulik lainnya ini sungkan, atau merasa ndhak enak. Aku juga ndhak begitu paham dengan gelagatnya itu.     

"Begini, lho, Ndoro. Ndoro, dan Juragan kan sudah lama menikah. Kok ya belum juga mengandung. Apa Ndoro Manis ndhak tahu kalau menurut peraturan sedari dulu, jika istri pertama seorang Juragan selama satu tahun ndhak mampu memberikannya keturunan. Maka Juragan tersebut disarankan untuk menikah lagi. Sebab bagaimanapun, bagi seorang Juragan, sebuah keturunan itu penting. Terlebih keturunan pertama laki-laki. Sebab keturunan laki-lakinya itulah yang kelak akan meneruskan tahta sebagai penerus dari apa-apa yang ada di dalam keluarganya."     

Jujur, ucapan dari Bulik ini benar-benar ndhak enak di dengar. Dan aku yakin, pasti Manis yang mendengarnya pun akan lebih dan lebih sakit dari pada apa yang kurasakan sekarang. Bagaimana bisa, Bulik ini mengatakan hal-hal seperti itu. Di depan istriku.     

"Bulik, sebenarnya perkara istriku sampai sekarang belum juga mengandung adalah, karena jarak kami jauh. Dan dia masih kuliah. Tentu, ndhak akan sangat tepat jika saat ini dia sedang hamil, akan lebih banyak pikiran-pikiran yang nanti akan sedikit repot. Lagi pula, keluargaku bukanlah keluarga yang melulu memikirkan kewajiban-kewajiban semacam itu. Harus menikah lagi tatkala istri pertama ndhak memberi keturunan, kurasa ndhak sekonyol itu. Toh buktinya romoku sampai detik ini ndhak punya keinginan untuk menikah lagi. Aku hidup dalam keluarga yang ndhak suka terikat dengan aturan-aturan konyol, oleh sebab itu orangtuaku membebaskan hak-hak anak-anaknya. Toh, seumpama jika istriku ndhak melahirkan sama sekali, atau pun ndhak melahirkan seorang anak laki-laki, aku pun ndhak masalah bulik. Aku percaya, jika ndhak aku yang memberikan cucu kepada orangtuaku, maka adikku bisa melakukannya," jawabku panjang lebar.     

Dua Bulik yang ada di samping kanan Bulik itu tampak menunduk dengan sungkan, aku yakin jika sejatinya mereka sudah merasa sungkan denganku.     

"Akan tetapi, sejatinya anak dari adik, dan anak kandung sendiri itu berbeda, lho, Juragan. Bisa saja sekarang kamu akan berpikir seperti itu. Namun, seiring berjalannya waktu ndhak ada yang ndhak mungkin di dunia ini. Kalau semua orang memiliki pemikiran sepertimu, maka ndhak akan ada kisahnya saudara kandung saling berebut kekuasaan. Jika semua orang seperti dirimu maka ndhak ada pewayangan yang mengisahkan cerita yang melegenda tentang perang Bharatayudha."     

"Bulik, yang berumah tangga itu aku, toh. Yang menjalani hubungan pernikahan itu aku. Bukan orangtuaku, apalagi orang lain. Jadi kurasa, apa pun yang membuatku bahagia bukanlah harus berpatokan dengan apa kata orang. Terlebih itu perkara keturunan. Itu urusan Gusti Pangeran. Kita sebagai manusia ndhak bisa menjadi Gusti Pangeran yang seolah bisa menentukan takdir dari seseorang. Ini bukan perkara siapa istriku, tapi ini perkaraku. Percuma aku menikah seribu kali kalau Gusti Pangeran ndhak memberiku keturunan lantas Bulik mau apa? Mau menyuruhku menikahi semua perempuan di dunia ini?"     

"Maaf, Juragan. Aku—"     

"Aku sangat tersanjung tatkala Bulik begitu peduli denganku, dengan istriku. Akan tetapi, aku juga ndhak menampik, jika ucapan Bulik semakin ndhak masuk akal. Dan membuat hati istriku akan terluka. Bukan... bukan, kurasa bukan hati istriku saja. Akan tetapi, hati semua wanita yang berada di posisi istriku pasti akan terluka. Jadi, Bulik, kamu juga seorang perempuan. Kamu juga punya keluarga, sekarang andaikan saja, perkataan itu dibalik untuk Bulik tatkala Bulik belum punya anak, apa yang Bulik rasakan? Sakit, pasti. Aku ndhak percaya kalau Bulik ndhak akan sakit hati."     

Bulik itu tampak menunduk, setelah aku mengatakan hal itu. Untuk kemudian, kugenggam lagi tangan Manis, dan kuajak pergi. Biarkan saja, jika aku dikata ndhak sopan kepada mereka. Toh kurasa, mereka yang ndhak punya sopan santun kepadaku terlebih dahulu. Telah menyakiti hati istriku, dan membuat istriku terluka. Aku, ndhak akan menerima semua itu.     


Tip: You can use left, right, A and D keyboard keys to browse between chapters.