JURAGAN ARJUNA

BAB 140



BAB 140

0"Kamu ndhak apa-apa, toh, Sayang?" tanyaku kepada Manis. Yang sedari tadi, setelah bertemu dengan Bulik-Bulik tadi, Manis tampak semakin murung. Aku tahu lebih dari siapa pun sedikit banyak Manis terpengaruh juga dengan perkataan Bulik tadi. Dan aku ndhak mau, sampai dia terbawa suasana karena perkataan jahat itu.     
0

"Sayang—"     

"Kangmas...," katanya menyela ucapanku. Matanya tampak sangat bening, seolah melambangkan hatinya yang sangat jernih. Kemudian dia tersenyum kaku. "Bagaimana kalau ucapan Bulik tadi benar?" tanyanya.     

Kukerutkan keningku ndhak paham, ucapan Bulik yang mana yang dia maksud? Sebab, banyak benar ucapan Bulik tadi itu.     

"Ucapan yang mana?"     

"Yang perihal jika aku ndhak mampu memberimu keturunan, Kangmas. Bagaimana jika itu benar terjadi?"     

Aku langsung berhenti, kemudian aku menghadapnya. Menggenggam erat kedua pundaknya, sembari kutatap dia dalam-dalam.     

"Sungguh aku tahu perkara kegundahan di hatimu itu. Sebab sejatinya, kamu adalah seorang perempuan. Dan di dalam kasus mana pun, jikalau sepasang suami—istri ndhak kunjung punya keturunan, maka yang menjadi bahan olok-olokan adalah si istri. Namun perlu kamu tahu, Sayang, jikalau itu ndhak lah benar. Dan aku—suamimu, ndhak menganut kepercayaan semacam itu. Bisa saja kalau aku yang ndhak bisa memberimu keturunan, toh?"     

"Tapi—"     

"Lagi pula, Sayang, aku di Kemuning, kamu di Jakarta. Kita jarang benar memiliki intensitas waktu berdua. Jikalau aku kesana, atau kamu pulang, itu pun hanya sebentar. Aku ndhak tahu masa suburmu juga. Dalam keadaan aku lelah, kamu lelah, semuanya juga sangat berpengaruh. Jadi aku harap, jangan pikirkan hal yang macam-macam dulu, ya. Kamu masih kuliah, kamu butuh waktu yang panjang untuk melebarkan sayapmu agar tetap fokus dan lulus tepat waktu. Jika saat ini kamu hamil, bukankah itu akan menjadi perkara yang menyusahkan? Kamu pasti akan ngidam, mual-mual, lelah, pusing, dan lain segalanya. Dan berakibat kuliahmu akan terganggu," aku langsung tersenyum, kemudian kutangkap wajahnya dengan kedua tanganku. "Fokus kuliah dulu, kemudian lulus. Percaya denganku, Gusti Pangeran itu akan memberimu apa yang kamu butuhkan, bukan apa yang kamu inginkan. Dan Gusti Pangeran juga, selalu memberi apa yang kamu butuhkan di waktu yang tepat, bukan di waktu yang kamu kehendaki. Paham?"     

Manis kemudian tersenyum, kemudian dia memeluk tubuhku dengan sangat manja. Lama... lama dia memeluk tubuhku, seolah dia hendak menenangkan pikirannya, kemudian membuang semua penatnya jauh-jauh.     

"Bukannya aku takut jikalau aku ndhak bisa memberimu keturunan lantas kamu hendak menikah lagi. Bahkan, aku akan menjadi orang pertama yang ndhak akan pernah merasa keberatan kalau kamu hendak menikah lagi. Meski itu sekarang. Aku sadar, kamu adalah seorang Juragan. Dan memiliki banyak keturunan adalah perkara yang sangat baik untukmu. Namun demikian, kerisauanku bukanlah perkara kamu hendak menikah lagi. Aku takut...," kata Manis terhenti, kemudian dia memandang ke arahku dengan pandangan nanarnya itu. "Aku takut jika aku ndhak bisa menjadi yang sempurna untukmu. Aku takut jika aku ndhak mampu menjadi wanita, dan istri yang seutuhnya untukmu. Aku takut... aku takut jika aku ndhak mampu memberimu keturunan. Itu... itu adalah hal yang benar-benar sangat menakutkan."     

Aku langsung menggeleng, mengecup puncak kepalanya kemudian kubalas pelukannya dengan semakin erat. "Bagiku, ndhak ada perempuan yang paling sempurna di mataku selain kamu. Dan aku, ini janjiku. Aku ndhak akan pernah menikah lagi, dengan alasan apa pun itu."     

Manis tampak mengulum senyum, kemudian dia mendorong tubuhku agar menjauh darinya. "Dasar, gombal! Dari mana, toh, kamu belajar sok manis seperti itu, Kangmas? Dasar!" dengusnya.     

Aku langsung menangkap tubuhnya lagi, kemudian kukecup pipi mulusnya itu. Dia langsung melotot, menutup pipinya dengan tangan.     

"Ih! Nanti kalau ada orang lihat bagaimana, toh, Kangmas! Kamu ini Juragan, lho!"     

"Lha kenapa? Toh yang kucium istriku, bukan orang lain. Ndhak akan ada yang akan menggunjing. Paling-paling orang yang cemburu saja."     

"Kangmas!"     

"Merdunya suara istriku tercinta."     

"Ih!"     

"Ayo, Sayang?" ajakku ambigu.     

"Ayo apa?"     

"Kelon." (bercinta)     

Wajah Manis tampak langsung bersemu merah kemudian dia menunduk sembari hendak memukul dadaku. Tapi, kutangkap tangannya, kemudian kutarik sampai tubuhnya menempel pada tubuhku dengan sempurna.     

"Ayok,"     

"Ehm."     

"Ayok," ajakku yang semakin semangat.     

"Tapi, aku harus ke rumah pintar."     

"Bisa nanti."     

"Nanti aku harus ke Berjo," alasannya banyak benar perempuan satu ini.     

"Alasan lagi aku akan gendong kamu sampai ke rumah," ancamku.     

Manis langsung menutup mulutnya, melihatku yang tampak menaik—turunkan alis. Kemudian dia mengulum senyum sembari berkata, "ayok."     

Mendengar hal itu, semangatku langsung membara. Setengah tergesa aku langsung menarik tubuhnya. Setengah berlari agar kami sampai ke dalam rumah. Setelah kami sampai di depan rumah, tubuh Manis langsung kubopong. Membuatnya meronta untuk diturunkan karena dia malu dengan orang-orang. Tapi, aku ndhak peduli!     

"Kangmas, turunkan, toh! Nanti kalau orang rumah lihat bagaimana? Aku malu!"     

"Lho, siapa peduli? Aku malah mau pamer. Biar mereka iri!"     

"Kangmas!"     

"Ehem!"     

Dan benar saja, Romo sudah berdiri di depanku. Sambil mengikat kedua tangannya di belakang punggung. Kemudian memandangku yang sedang menggendong Manis dengan tatapan anehnya itu. Manis yang merasa malu pun langsung menyembunyikan wajahnya di dadaku. Aku yakin, Manis pasti telah kehilangan mukanya sekarang di depan Romo.     

"Wah, wah... pengantin yang sudah jauh dari baru, gendong-gendongan, toh," sindir Romo Nathan kepadaku.     

"Jelas, lha wong aku mau pamer sama pengantin yang sudah karatan...," sindirku ndhak mau kalah. "Minggir, Romo. Pengantin baru, mau bulan madu dulu," aku langsung berjalan mendahului Romo kemudian masuk ke dalam kamar. Menguncinya rapat-rapat, sebab aku kuatir, nanti dia akan melakukan seribu satu cara untuk menggagalkan usahaku untuk memperoleh keturunan. Ah, dasar, Romo!     

*****     

Pagi ini mentari agaknya enggan menampakkan diri, dia masih ingin berselimut awan untuk sekadar untuk singgah sebentar. Sementara aku, ya... masih di sini, di atas ranjang sembari memandangi wajah istriku yang masih terlelap dengan begitu tenang. Hari ini, biarkan aku untuk sesaat bermalas-malasan, dan menghabiskan sepanjang pagiku untuk bersama dengan perempuan yang kusayang.     

Lihatlah mata indah itu tatkala terpejam, kelopaknya pun begitu tampak sangat indah. Bahkan, bulu-bulu halus yang ada di sana. Begitu lentik dan menggoda. Aku ndhak pernah menyadari, jika mengagumi dan bersyukur atas anugerah Gusti Pangeran bisa senikmat ini.     

Gusti, aku ingin dia. Aku hanya mau dia. Jadi, bahagiakan dia, panjangkanlah umurnya, berikan selalu kesehatan untuknya, dan kabulkanlah semua doa, serta mimpi-mimpinya. Sebab bagiku, kebahagiaannya di atas kebahagiaanku, harapannya di atas harapanku, serta mimpinya di atas mimpiku. Hanya buat dia bahagia, Gusti, maka aku juga akan bahagia. Hanya buat dia menjadi perempuan yang seperti dia inginkan, maka aku seperti mendapatkan surga loka. Gusti, tolong, jaga dia untukku.     


Tip: You can use left, right, A and D keyboard keys to browse between chapters.