JURAGAN ARJUNA

BAB 82



BAB 82

0"Pokoknya, apa pun ucapan orang lain. Ndhak perlu kamu ambil hati. Kamu cukup percaya dengan apa yang kamu lihat. Dan jika kamu masih belum yakin, kamu bisa tanya langsung sama Romo, jangan sama Biung," kata Romo lagi, setelah tawa kami reda. Matanya, tampak memandangku dengan begitu tulus dan penuh cinta, ndhak bisa kulihat pandangan itu kepada orang lain selain Romo.     
0

"Kenapa?"     

"Karena Romo takut, biungmu akan sedih jika kamu tanyakan perihal masa lalu. Romo hanya ndhak mau, biungmu kembali mengingat hal-hal yang buruk," jelas Romo Nathan. Lihatlah bagaimana dia menjaga perasaan Biung, Romo Nathan adalah laki-laki sejati.     

"Siap."     

"Kamu tahu level tertinggi dari mencintai? Saat kamu mampu melepaskan orang yang kamu cinta meski dia bahagia dengan kekasihnya,"     

Iya, benar... level teringgi dari mencintai adalah, tatkala kita bisa melepaskan dengan ikhlas, orang yang kita cinta untuk bersanding dengan orang lain. Ndhak peduli jika saat itu hati kita berdarah-darah bahkan sampai mati rasa karenanya. Asalkan orang yang kita cinta itu bisa bahagia. Dan Romo Nathan telah membuktikan itu, mengorbakan kebahagiaan, dan cintanya demi menjaga senyum bahagia orang yang ia cinta. Gusti, agungkanlah Romoku, biarkan dia terus bisa menggenggam cintanya sampai kapan pun itu. Sebab, hadiah paling menyenangkan adalah, tatkala dipersatukan dengan dia orang yang dicinta, meski awalnya hal itu hanya akan menjadi angan semata.     

"Romo, kurasa Shinta akan cemburu kepada kisah Romo dan Biung,"     

"Kenapa seperti itu?" tanya Nathan padaku.     

"Karena Rama ndhak bisa setulus Romo dalam urusan mencintai seseorang,"     

"Oalah, anak semprul!"     

"Hahaha!"     

*****     

Pagi ini agaknya menjadi awal rutinitasku kembali di perkebunan teh. Sebab, masa panen daun-daun teh sudah datang. Bisa kurasakan hawa sejuk dari kabut kampungku yang menebal, ini tandanya jika kampungku masih memiliki udara yang sangat segar. Bagaimana endhak, toh, hamparan hijau yang menyejukkan mata membentang luas dengan begitu nyata.     

Kadang aku pikir jika suatu saat zaman telah menjadi maju apakah kampung halamanku akan tetap hijau seperti ini?     

"Juragan, banyak beberapa pekerja kebun yang ndhak datang," kata Paklik Sobirin memberitahuku.     

Tumben.     

"Apakah mereka sedang ndhak enak badan?" kutanya. Sebab, ndhak seperti biasanya mereka ndhak datang seperti ini.     

"Mungkin karena beberapa hal yang terjadi kemarin," kini Paklik Junet yang menjawab.     

Aku benar-benar ndhak paham, apa hubungannya pekerjaan memetik daun teh dengan masalah pribadiku? Mereka bukanlah keluargaku, atau keluarga dari Minto yang pantas untuk berduka atau semacamnya, toh?     

Kuabaikan ucapan dari Paklik Junet, sebab beberapa pekerja, dan mandor sudah datang. Wajah mereka tampak benar-benar ndhak seperti biasanya, mereka seperti enggan-enggan melakukan pekerjaan mereka. Bahkan, mengucapkan selamat pagi pun ndhak ada.     

Kuabaikan perlakuan dingin para pekerja kepadaku, kemudian aku mengambil posisi duduk. Memeriksa beberapa catatan keuangan yang diberikan mandor kepadaku.     

"Lihatlah, bagaimana tingkahnya. Seperti ndhak pernah terjadi apa-apa. Benar-benar pemuda ndhak tahu malu,"     

Lamat-lamat kudengar percakapan dari beberapa pekerja yang kebetulan mereka memetik daun teh ndhak jauh dariku duduk. Tapi, aku pura-pura mengabaikannya.     

"Mentang-mentang dia keturunan darah biru. Mentang-mentang pewaris terakhir yang akan mengemban pangkat Juragan Besar, tabiatnya benar-benar ndhak mencerminkan pemuda Jawa sama sekali. Sepertinya, Juragan Nathan telah salah mendidik anak. Katanya, anak perpendidikan tinggi itu akan memajukan kampung, akan memberikan ilmu wawasan, dan lebih pintar dari kita. Nyatanya...," Bulik bertubuh bongsor itu pun menggantung kalimatnya, kemudian dia tersenyum sinis sambil memandang ke arahku. "Kelakuannya seperti pemuda-pemuda kota. Bejat benar. Malah aku dengar, ya, Min, perempuannya itu, si Manis itu telah hamil, lho, saat menikah dengan Kamitua Minto. Kamitua Minto berbesar hati menerimanya, eh malah direbut dan dibunuh. Hiii... mengerikan pemuda seperti Arjuna itu,"     

Tanpa sadar, pena yang sedari tadi kugenggam telah patah. Tintanya tercecer memenuhi seluruh buku yang sedari tadi kubawa. Dadaku benar-benar terasa panas mendengar celotehan orang-orang yang ndhak tahu diri itu.     

Tahu apa mereka tentang hidupku? Bagaimana bisa mereka menghakimiku dengan seperti ini? Gusti, apakah Manis juga sering mendengarkan gunjingan seperti ini waktu ia di sini? Jika benar seperti itu, pastilah hatinya akan hancur karenanya.     

"Ndhak usah didengarkan, Juragan," kata Paklik Sobirin yang kurasa dia mendengar juga ucapan dari wanita-wanita tua itu.     

"Bulik semuanya...," kataku pada akhirnya. Mereka tampak kaget, karena aku tiba-tiba memanggil mereka. "Jika kalian ndhak suka, dan ndhak betah bekerja di sini, kalian boleh untuk berhenti. Aku sama sekali ndhak akan melarang untuk itu. Sebab, masih banyak orang-orang di luar sana yang membutuhkan pekerjaan, dari pada harus mengatakan hal-hal ndhak benar dan menyebar luaskannya."     

Aku langsung berdiri, sambil mengelap tanganku yang terkena tinta dengan sapu tangan. Paklik Sobirin tampak mengejar kepergianku, sementara Paklik Junet tampak sibuk dengan beberapa mandor di ujung mataku.     

"Juragan,"     

"Tinggallah di sini untuk membantu Paklik Junet mengurus perkebunan, Paklik. Aku akan kembali setelah emosiku terkendali," kubilang. Sambil beberapa kali kucoba untuk membuang napas beratku.     

"Baik, Juragan."     

Aku segera berjalan menyusuri jalanan setapak yang ada di perkebunan, kemudian menuju jalan utama yang setiap kanan kirinya merupakan rumah warga yang jaraknya masih terbilang jauh-jauh. Rumah-rumah warga yang asri, yang berpagarkan anyaman bambu. Yang bagian depan rumah mereka selalu tersedia kendi-kendi yang diisi air untuk cuci tangan dan kaki.     

Langkahku kemudian terhenti saat mulai memasuki pelataran rumah pintar. Di sana, sudah ada Manis serta kawan-kawannya, yang tampak sibuk memilah beberapa kain, dan lain sebagainya.     

Manis yang sedari tadi sibuk mengajari beberapa kawannya pun ndhak sengaja melihatku, dan itu cukup membuatku tersenyum untuk menyapanya dari kejauhan. Hari ini, entah kenapa aku agaknya ndhak siap untuk sekadar mendekat. Sebab aku takut, setelah aku mendekat Manis akan sakit karena gunjingan warga kampung terhadapnya. Aku ndhak ingin itu terjadi.     

Manis tersenyum lebar, dia membuka mulutnya tanpa suara seolah bertanya ada apa aku berada di sini. Kemudian, kujawab saja jika rindu dia. Dan itu kembali berhasil membuatnya tersenyum lebar.     

Kuberikan dia sebuah kecupan jarak jauh, dia menunduk malu-malu sambil mengenggam ciumanku yang baru saja hinggap di telapak tangannya itu. Kemudian kusuruh dia untuk memberikannya juga kepadaku, sebuah ciuman jarak jauh sebelum aku pergi dari tempat ini.     

Untuk sesaat Manis diam, dia seolah ingin memastikan jika apa yang nanti akan dilakukan ndhak diperhatikan oleh kawan-kawannya. Kemudian dia memberiku sebuah kecupan jarak jauh itu, lalu kutangkap dan kudekapkan di dada kananku. Untuk kemudian, kecupan dari Manis kumasukkan mulutku, dan kutelan. Manis tampak kaget, lihatlah ekspresi kagetnya yang lucu itu. Dia mengangkat kedua tangannya seolah ingin bertanya kenapa, dan itu membuatku kembali tersenyum dibuatnya.     

"Agar kecupanmu menyatu pada jiwaku,"     

Setelah mengatakan itu, aku cepat-cepat pergi. Sebab kutahu, jika semua kawannya yang ada di sana telah menoleh mendengar suaraku. Aku yakin jika saat ini wajah Manis akan memerah, antara malu juga bahagia.     

Manis, asal kamu tahu, aku telah memilihmu di dalam hatiku. Dan oleh karena itu, aku pasti akan memperjuangkanmu sampai sisa detak jantungku. Tunggulah sebentar lagi, maka semuanya akan menjadi jelas dan mudah. Kita pasti akan bersatu pada ikatan sakral yang disebut sebagai pernikahan. Sebentar lagi, tunggulah sebentar lagi tanpa kamu harus pergi.     


Tip: You can use left, right, A and D keyboard keys to browse between chapters.