JURAGAN ARJUNA

BAB 141



BAB 141

0"Kangmas...," lirih Manis, saat aku masih terlalu mengaguminya. Sampai-sampai aku ndhak sadar, jika mata yang sedari tadi terpejam itu kini sudah terbuka. Sesekali dia menguceknya, kemudian mata bundarnya memandangku dengan sangat sempurna. Agaknya dia terkejut, terlihat jelas dari pupil matanya yang mengecil, kontras dengan matanya yang sedikit melebar saat ini. Lalu kemudian, dia kembali menyembunyikan wajahnya di dada telanjangku, kemudian memelukku dengan sangat erat. "Sudah bangun?" dia bilang. Aku mengangguk, menikmati tubuhku yang menghangat dengan cara merayap, bersentuhan dengan tubuh Manis yang ndhak memakai apa pun. Dan membuat sesuatu yang ada di diriku kembali bangkit. Ya, gairahku kembali terangsang karena kelakuan Manis ini.     
0

"Hm," kubilang, sembari sesekali kutelan ludahku dengan susah. Kuatur napasku yang mulai ndhak karuan, kemudian kubalas pelukannya yang sangat erat itu.     

"Aku kesiangan, toh? Mau sarapan apa, Kangmas? Tak buatin," tawarnya.     

Aku menggeleng, kemudian menahannya yang hendak bangkit. Sampai tubuhnya kembali ambruk ke dalam dekapanku.     

"Aku ndhak mau kamu pergi. Aku ingin kita seperti ini. Itu saja keinginanku pagi ini, Sayang," kataku.     

Manis kembali tersenyum, kemudian dia kembali memelukku dengan sangat erat. Seolah-olah aku sekarang tahu, kalau saat ini dia sedang tersenyum. Tersenyum dengan begitu riang, sampai membuatku mabuk kepayang.     

Pelan, kuturnkan tanganku, kemudian kuelus lembut punggungnya yang polos itu. Manis tampak mengejang, kemudian dia bergerak-gerak ndhak karuan. Aku yakin, jika sejatinya dia juga sama denganku. Kami, sama-sama telah terangsang.     

"Manisku sayang, kenapa aku bisa seperti ini padamu. Sebenarnya, apa yang telah kamu lakukan padaku?" kutanya.     

Manis langsung mendongak, memandangku dengan tatapan bingungnya itu. Melihat bola matanya yang bundar, benar-benar membuatku semakin gila karenanya.     

"Kenapa kamu membuatku hilang kewarasan, kenapa kamu membuatku frustasi, dan kenapa kamu membuatku candu. Sebenarnya, apa yang telah kamu lakukan padaku?"     

Manis pun mengulum senyum, jemari mungilnya kini tengah meraba bibirku. Seolah-olah, ia tengah mengabsen anggota wajahku satu demi satu. Kukecup jemari mungilnya itu, kemudian kugigit dengan pelan. Rasanya, aku benar-benar akan hilang akal, jika dia terus menggoda dengan cara yang sangat sederhana.     

"Cinta, Kangmas. Aku hanya memberimu cinta," jawabnya. Aku langsung tersenyum, kemudian kutekan tengkuknya. Mencium bibirnya yang penuh itu dengan nikmat, sembari kuingat-ingat bagaimana manis rasa bibir ini, dan begitu memabukkan. Aku langsung menghimpit tubuh Manis dengan kakiku, kemudian menuntunnya sampai berada di bawahku. Manis, sudah memejamkan matanya, menikmati setiap cumbuan yang kuberikan padanya.     

"Hari ini bagaimana kalau kita absen."     

"Absen?" tanyanya yang agaknya ndhak paham.     

"Kita ndhak perlu keluar kamar. Kita usaha membuat cucu untuk Romo, dan Biung."     

Manis hendak menundukkan wajahnya, tapi kutahan. Kembali kulumat bibir ranumnya yang menggoda, kemudian kuraba bagian-bagian tubuhnya yang lebih sensitif. Lagi, Manis mendesah, tatkala dadanya mulai kuraba. Tangannya menggenggam tanganku seolah dia ingin aku melakukannya lebih, seolah dia menginginkan yang lebih dari apa yang kulakukan kepadanya.     

"Manis...."     

"Kangmas...."     

"Arjuna! Keluar kamu kalau endhak akan kudobrak pintu kamar sialanmu ini!"     

Manis spontan hendak berdiri, sampai kepalanya membenturkepalaku yang kebetulan masih berada di atasnya. Matanya melotot, kemudian dia langsung menutupi tubuhnya. Dia kaget, dengan suara keras Romo Nathan dari luar. Seolah-olah, dia takut kalau Romo akan masuk ke dalam kamar dan melihat kami berdua tengah bercumbu, dengan telanjang.     

"Romo!" katanya panik. Kucoba tahan dia, tapi Manis sudah terlanjur panik. Aku hendak menciumnya lagi, tapi dia langsung menghindar. "Romo!" katanya tergugu. Aku yakin, dia hendak bilang kalau di luar ada Romo. Tapi, mulutnya hanya bisa bilang Romo, Romo, tanpa ada perkataan lainnya lagi.     

"Ck! Dasar tua bangka itu, panda benar dia mengganggu kesenanganku," dengusku pada akhirnya. "Jangan hiraukan, pintu kamar kita sudah kugembok, dan ndhak ada satu makhluk pun yang bisa membuka pintu kamar kita," lanjutku. Meyakinkan Manis yang kini masih begitu panik.     

Aku berusaha menuntunnya lagi untuk merebahkan tubuhnya, tapi dia menahanku. Raut panik itu, benar-benar ndhak hilang sama sekali dari wajahnya.     

"Ayolah, Sayang. Apa kamu tega menyiksaku seperti ini? Aku sudah berdiri, dan rasanya sakit sekali," keluhku padanya.     

"Tapi Romo ada di luar, Kangmas," katanya pada akhirnya, dengan sangat lancar.     

"Biarkan saja, siapa peduli. Toh nanti, kalau dia sudah capek berteriak, dia akan berhenti sendiri kemudian pergi," kataku lagi untuk menenangkan.     

Aku kembali mendekatkan wajahku kepada Manis, hendak mencumbunya. Manis kini sudah kembali memejamkan matanya pasrah.     

Brak!! Brak!!     

"Lima menit kamu ndhak keluar dari kamar, akan kubakar kamarmu ini, Arjuna!!" teriak Romo Nathan.     

Duh Gusti, kenapa, toh, dia ini. Kok ya sepertinya memiliki dendam kusumat kepadaku. Bagaimana bisa, di setiap aku ingin melakukan pekerjaanku yang mulia dengan menyenangkan istriku tercinta selalu saja digagalkan oleh Romo. Sebenarnya, aku salah apa, toh, kepadanya? Sampai-sampai dia begitu membenciku sampai seperti ini.     

"Arjuna Hendarmoko! Pelaku pemerkosaan Rianti sudah ditemukan!"     

Aku yang awalnya marah langsung mematung, tatkala mendengar Romo mengatakan hal itu.     

Apa? Pelaku pemerkosa Rianti telah ditemukan? Lantas, siapa gerangan kurang ajar yang telah memerkosa adik tercintaku itu?     

"Aku pakai baju dulu, setelah ini kamu mandi, aku menemui Romo dulu, ya," kataku pada Manis.     

Manis mengangguk, melihatku beranjak dari ranjang kemudian mengenakan kaus sedapatku. Setelah aku berpakaian lengkap, aku langsung membuka pintu. Melirik ke dalam memastikan jika Manis ndhak tampak dari luar. Kemudian, aku memandang ke arah Romo, yang kini bersedekap.     

Kutarik sebelah alisku ndhak paham. Katanya, dia sudah menemukan siapa yang telah memperkosa Rianti, kan? Tapi kenapa raut wajahnya tampak begitu tenang. Apakah dia telah membodohiku dengan sandiwara menyebalkannya itu? Jika iya, maka ndhak akan pernah kumaafkan Romo Nathan untuk saat ini.     

"Keluar juga, kamu?" tanyanya, malah-malah dia yang lebih sebal dari pada aku sekarang.     

"Mana pemuda yang telah memperkosa Rianti?" tanyaku mengabaikan gerutuannya yang jelek itu.     

Romo tampak tersenyum miring, dan itu berhasil membuatku memicingkan mata. Kenapa perasaanku jadi ndhak enak dengan senyuman jelek itu?     

"Ck! Ck! Ck! Benar-benar!" jawabnya, yang benar-benar membuatku bingung.     

Dia langsung berjalan menjauh, membuatku mau ndhak mau harus mengikutinya juga. Duh Gusti, orangtua ini, bagaimana bisa dia mempermainkanku dengan cara sampai seperti ini.     

"Romo—"     

"Mandi dulu sana...," kata Romo Nathan, berhenti kemudian dia memandangku dari atas ke bawah, lalu dia menutup hidungnya dengan tangannya. "Baumu itu, lho. Bau sperma,"     

"Romo!"     

"Hahahaha!"     

Benar, toh! Apa yang kukira adalah benar! Mana mungkin Romo Nathan akan sesantai ini kalau benar dia telah mengetahui siapa yang telah memperkosa Rianti. Dia, benar-benar penipu yang sangat ulung. Dan aku paling membenci Romo lebih dari siapa pun. Awas saja nanti, nanti malam akan kutaruh mercon di bawah ranjangnya. Agar nanti malam tatkala dia ingin meminta jatah pada Biung, dia akan kaget. Biar dia jantungan sekalian. Menyebalkan!     


Tip: You can use left, right, A and D keyboard keys to browse between chapters.