JURAGAN ARJUNA

BAB 142



BAB 142

0Sore ini, aku sedang memilah-milah bukuku yang ada di balai kerja. Sembari menyuruh Paklik Sobirin dan Suwoto membersihkan beberapa bukuku yang berdebu. Namun, entah kenapa, tumben benar keduanya diam membisu seperti itu. Atau malah, keduanya tampak berbisik-bisik. Aku benar-benar ndhak tahu dengan apa yang mereka bicarakan. Sepertinya pembicaraannya sangat rahasia. Dan yang lebih membuatku ndhak paham adalah, sejak kapan keduanya main rahasia-rahasiaan denganku.     
0

Setelah merasa cukup penasaran, aku pun meletakkan bukuku, berjalan pelan kemudian berdiri tepat di balik pilar kayu yang ada di dekat mereka. Yang saat ini kebetulan sedang mereka punggungi.     

"Jadi, bagaimana?" tanya Paklik Sobirin sembari setengah berbisik. Suaranya benar-benar pelan, sampai-sampai aku yang sedekat ini pun, harus mengerutkan kening sekadar mendengar percakapannya dengan jelas. "Jadi sebenarnya itu, kamu sudah tahu apa belum, toh, tentang siapa gerangan yang telah merenggut keperawanan Ndoro Rianti?" tanya Paklik Sobirin lagi.     

Tentu percakapan ini sangat menarik untukku. Sebab bagaimanapun, ini seperti sebuah tugas sekolah yang harus kuselesaikan sekarang. Jika endhak, maka masalah ini akan semakin berlarut-larut. Yang aku takutkan adalah, jika masa perkara ini telah lalu. Dan membuat tersangka utama pelaku kejahatan yang ingin kumusnahkan itu merasa senang karena ndhak akan ada satu orang pun yang akan memberinya perhitungan. Hingga kemudian, perkara ini, seiring berjalannya waktu akan menghilang. Sehingga menyisakan adik yang aku sayangi menjadi korban, dan rugi sendiri. Ndhak... aku ndhak akan pernah mau itu terjadi.     

"Kenapa kamu diam?" desak Paklik Sobirin. "Aku tahu siapa kamu, toh. Kamu itu Suwoto. Tangan kanan kepercayaan Juragan Besar Hendarmoko. Yang akan bisa menangkap pembunuh bahkan hanya dengan hitungan hari. Jadi kurasa, aku sangat ragu jika sampai detik ini kamu belum bisa menangkap siapa yang telah memperkosa Ndoro Rianti. Aku yakin, kamu telah mengetahui sesuatu. Tapi, kamu menutupinya. Bukan hanya dariku. Akan tetapi, dari Juragan Arjuna juga."     

Jujur, sedari kemarin juga aku memikirkan hal yang sama dengan Paklik Sobirin. Sekelas Suwoto, mustahil memang jika dia sampai detik ini berkilah kalau dia belum menemukan siapa gerangan yang telah memperkosa Rianti. Terlebih, bukankah seharusnya dia masih di Jakarta jika benar dia masih menyelidiki siapa gerangan pemuda itu? Tapi nyatanya, dia bahkan ndhak kembali ke Jakarta dan malah enak-enakan di sini. Sebenarnya, apa yang telah Suwoto sembunyikan dariku? Apakah sebenarnya yang dicurigai oleh Paklik Sobirin benar, bahwa sanya Suwoto telah menemukan siapa orang itu namun dia enggan memberitahukannya kepadaku.     

Suwoto, tampak memberi jarak antara dirinya dan Paklik Sobirin, dari gerak tubuh itu tampak jelas seolah ia ingin menghindar. Dia masih diam membisu, enggan menjawabi pertanyaan Paklik Sobirin yang bahkan telah mendesaknya dengan amat nyata.     

"Aku ndhak tahu apa-apa," jawab Suwoto pada akhirnya, dia bahkan ndhak berani memandang wajah Paklik Sobirin. Membuatku semakin penasaran dengan orang satu ini.     

"Jangan bohong, oke, kalau kamu ndhak tahu sampai detik ini siapa pelakunya. Tapi, kamu pasti tahu sesuatu, toh? Ngaku saja denganku, ndhak usah bohong. Hanya kita berdua, ndhak ada yang tahu," rayu Paklik Sobirin.     

Orangtua ini rupanya cukup penasaran juga. Entah karena dia penasaran apakah Suwoto jujur, atau penasaran dengan siapa gerangan pelaku kurang ajar itu. Yang jelas saat ini, aku juga ingin mendengar sebuah jawaban yang cukup memuaskan yang keluar dari mulut Suwoto.     

"Aku bingung, aku serba salah. Itulah satu-satunya yang bisa kuberitahu kepadamu. Jadi tolong, jangan desak aku dengan pertanyaan ini lagi. Sebab aku ndhak mau, kalau-kalau Juragan Arjuna mendengar. Bisa bahaya."     

"Bahaya kenapa, toh, Suwoto? Dan kamu bingung serta serba salah kenapa?" tanya Paklik Sobirin yang semakin penasaran, sehingga membuat Suwoto agaknya kesal.     

"Kamu itu pikiranmu cetek, jadi aku ajak bicara panjang lebar pun pasti ndhak akan paham. Lebih baik, aku ndhak bicara apa pun," kesal Suwoto pada akhirnya.     

Paklik Sobirin malah mendekatkan tubuhnya, membuat Suwoto tampak kesal. Rasanya, aku ingin tertawa setiap kali melihat tingkah ndhak tahu malu dari Paklik Sobirin. Tapi, mau bagaimana lagi. Itulah memang sifat Paklik Sobirin, ndhak bisa diubah lagi. Sudah paten sedari lahir.     

"Ayolah, Suwoto, seendhaknya bisiki aku sedikit saja. Aku janji, ndhak akan mengatakan apa pun kepada Juragan Arjuna. Kamu bisa pegang mulutku, akan tetap tertutup rapat-rapat tanpa ada sepatah kata pun yang keluar dari mulut Juragan Arjuna."     

Jujur, melihat Suwoto sangat bersikeras seperti ini kepada pendiriannya. Benar-benar membuatku kecewa. Karena aku merasa jika dia belum sepenuhnya menjadi abdiku yang setia. Bahkan perkara yang penting seperti ini saja dia menutup-nutupinya dengan sangat sempurna. Padahal dia tahu sendiri, jika aku sangat membutuhkan informasi itu untuk menemukan siapa gerangan yang telah memperkosa adik tercintaku.     

"Jujur, bukannya apa-apa. Bukannya aku ingin menyembunyikan ini dari Juragan Arjuna, sungguh. Hanya saja aku ndhak mau membuat Juragan Arjuna kecewa, dan terluka dengan apa yang kudapat dari Jakarta, sebab semuanya telah keluar jalur, Sobirin."     

"Keluar jalur bagaimana?"     

"Intinya, ini ingat baik-baik. Jika kamu mampu menerjemahkan berarti kamu adalah orangtua yang pintar," Suwoto tampak membenarka posisi duduknya, kemudian dia memandang Paklik Sobirin dengan pandangan seriusnya. "Ibartkan upil, meski dia dekat dengan kita, dia ndhak akan tampak oleh mata kita. Seperti itulah jawabannya."     

Paklik Sobirin langsung melempar Suwoto dengan buku. Untuk kemudian dia langsung ketakutan dan minta maaf. Aku yakin jika Paklik Sobirin takut akan ditebas Suwoto kalau-kalau Suwoto kesal dengan sikapnya.     

"Maaf, aku ndhak sengaja. Karena kamu membuat perumpamaan seaneh itu. jadi aku ndhak sengaja melemparmu dengan buku," katanya. Seraya terkekeh dengan nada ndhak beraturan sama sekali.     

Aku pun ikut terkekeh dibuatnya. Kemudian, kembali mengendap-endap dan menjauh dari mereka berdua. Dasar Suwoto ini, bisa ndhak punya perumpamaan yang bagus sedikit. Kenapa dari semua hal yang ada di dunia ini, dia harus memilih upil sebagai perumpamaannya.     

Aku menghela napas panjang, sepertinya aku harus mencari tahu sendiri kebenaran tentang semua ini. Nant, tatkala Manis kembali ke Jakarta aku akan ikut. Dan aku akan mencari tahu hal yang sebenarnya terjadi.     

"Arjuna! Arjuna!" teriak Paklik Junet, yang mimik wajahnya tampak panik, mencariku dengan tergesa. Wajahnya pucat pasi, napasnya ndhak beraturan sama sekali. Seolah, dia telah mencariku kesana-kemari.     

"Ada apa, Paklik? Kenapa wajahmua menjadi seperti ini?�� tanyaku kepadanya.     

"Ini bahaya, Arjuna. Ini bahaya!" katanya lagi, dia lantas menarik tanganku, membuatku harus meletakkan buku-bukuku kemudian berjalan terseok karena tarikannya.     

"Tunggu...," kataku yang langsung berhenti. "Sebenarnya apa yang terjadi? Dan bahaya apa, Paklik?" tanyaku masih penasaran. Aku ndhak akan pergi dari tempat ini kalau dia ndhak mau mengatakan apa sebab dia menarik-narikku untuk pergi.     

"Bahaya, Arjuna! Di balai tengah, Kangmas Nathan menghajar Bima habis-habisan!"     

Aku langsung terdiam, kemudian mengingat kembali ucapan dari Suwoto tadi. Upil di dalam hidung tak tampak oleh mata? Jangan-jangan!     


Tip: You can use left, right, A and D keyboard keys to browse between chapters.