JURAGAN ARJUNA

BAB 143



BAB 143

0"Kangmas Nathan menghajar Bima habis-habisan,"     
0

Seketika mendengar ucapan seperti itu keluar dari mulut Paklik Junet, semua perkataan ndhak masuk akal yang tadinya keluar dari mulut Suwoto seolah-olah menamparku tepat di titik yang ndhak terelakan. Aku langsung memandang Suwoto, orangtua itu mendadak menunduk, tanpa berani memandang ke arahku.     

Sialan, Suwoto. Kenapa dia ndhak mengatakan apa pun kepadaku perihal ini?     

"Kamu tahu?" tanyaku, dengan nada tajam, karena rasa kecewaku kepadanya yang teramat mendalam. Kenapa dia ndhak jujur, kenapa dia ndhak bilang apa pun kepadaku? Kenapa dia ndhak memberitahuku, di saat dia telah tahu semuanya. Apa maksudnya melakukan semua ini?     

"Kamu telah tahu semuanya, toh?! Kamu tahu kalau pemuda yang telah memperkosa Rianti adalah Bima?!" tanyaku lagi, dengan nada lebih tinggi sampai membuat mimik wajahnya tampak pucat.     

Paklik Sobirin, dan Paklik Junet pun langsung terdiam, keduanya juga langsung menunduk dalam. Sedangkan sekarang, Suwoto langsung bersimpuh tepat di depan kakiku.     

"Maafkan saya, Juragan. Maafkan saya. Sungguh saya ndhak ada niatan sama sekali untuk berbohong, apalagi menutupi semua ini dari Juragan Arjuna. Maafkan saya," ucapnnya, dengan nada terdengar bergetar, dan kedua tangan yang juga sudah gemetaran. Aku mundur, ndhak sudi kakiku dipegang oleh pengkhianat seperti Suwoto. "Waktu itu, tatkala saya sampai di di sini dari Jakarta. Sebenarnya saya telah mengetahui semuanya. Ya, semuanya. Tatkala saya bercerita perihal siapa yang telah menceritakan semuanya kepada Ndoro Rianti. Tatkala saya membahas Puri. Namun, tepat tatkala saya hendak memberitahu warta (berita) yang sebenarnya, jika yang memperkosa Ndoro Rianti adalah pemuda dari Jakarta yang ndhak lain salah satu kawan kuliah Ndoro Rianti sendiri. Tiba-tiba, sosok yang ingin saya laporkan kepada Juragan sudah ada di sini. Berdiri di sini. Terlebih, menurut penuturan Juragan, pemuda itu adalah anak dari kawan kental Juragan Besar Nathan Hendarmoko. Siapa yang ndhak bingung, Juragan. Saat itu saya bingung setengah mati. Saya ndhak tahu harus berbuat apa bahkan sampai detik ini. Di satu sisi, saya tahu dia adalah pelaku atas perbuatan nista yang dialami oleh Ndoro Rianti. Namun di sisi lain, bagaimana saya bisa mengatakan kebenaran itu kepadamu. Saya mohon, Juragan. Saya mohon, sudilah kiranya Juragan paham bagaimana peliknya posisi saya selama ini. Bahkan, untuk sekadar tidur pun saya ndhak mampu,"     

Rahangku mengeras mendengar penuturan itu, setelah kutebas kausku, aku langsung melangkah keluar dengan kaki lebar-lebar. Menuju ke arah balai tengah, dari lorong rumah, tampak terlihat abdi dalem laki-laki pun perempuan, mereka berlari berhamburan dengan mimik wajah panik mereka, menuju ke arah balai tengah. Aku yakin, keributan ini memicu kepanikan semua penghuni kediaman rumah ini. Dan aku bisa melihat dengan ekor mataku, Paklik Sobirin, Paklik Junet, dan Suwoto pun keluar dari balai kerjaku.     

"Kangmas!" teriak Manis, dia menyincing rok panjangnya, seraya berjalan cepat. Ya, bagaimana lagi. Bagi perempuan, adalah pantangan berlari di dalam rumah. Bahkan sekadar menampakkan mata kaki pun sebenarnya ndhak diperbolehkan. Dia langsung berada di depanku, kedua tangannya bergetar menarik-narik ujung kausku. Matanya nanar, wajahnya memerah. Aku yakin, dia panik sekarang. "Romo... Romo... Romo murka, Romo marah dengan Bima. Dia memukuli Bima dengan membabi buta, dan aku ndhak tahu apa salah Bima, Kangmas," napasnya tampak terengah, sehingga dia harus menghirup napas dalam-dalam. "Aku sama sekali ndhak menyangka, Romo Nathan yang kutahu selama ini adalah sosok yang tenang, sosok yang setiap ada masalah selalu memandang apa pun dari segala sisi. Tapi tiba-tiba tanpa sebab bisa sekalap ini. Kangmas harus menolong Bima, kalau endhak... kalau endhak...," kata Manis kembali terputus. "Kalau endhak Bima bisa mati, Kangmas."     

Aku mengangguk, sembari mengusap air mata yang menetes di pipinya. Aku ingin memastikan jika istriku ndhak akan panik lagi. Meski anggukanku bukanlah sebuah janji, jika aku akan menolong Bima. Bagaimana aku bisa menolong pemuda biadab itu, mengetahui kenyataannya saja, membuat kedua tanganku gatal ingin segera merobek bagian tubuh terdalam Bima, untuk sekadar kubuang, dan kuberi makan kepada anjing-anjing liar. Tapi, aku bisa menjanjikan satu hal untuk istriku, jika aku akan bertanya dulu, tentang kronologi peristiwa itu. Agar seendhaknya, otakku bisa menangkap dan menerjemahkan bagaimana cerita saat itu. Agar aku tahu, perkara yang sebenar-benarnya.     

"Aku akan ke sana. Tapi sebelum itu aku ingin bertanya kepadamu. Di mana Biung? Apa dia baik-baik saja?" tanyaku lagi. Sebab lebih dari siapa pun, Biung adalah satu-satunya orang yang harus kuselamatkan. Baik batinnya, juga fisiknya. Aku ndhak mau sampai dia kaget mendengar ini, dan membuatnya jatuh sakit.     

"Biung ada di sana, beliau berusaha melerai Romo Nathan tapi ndhak diindahkan. Biung menangis, Kangmas."     

"Tolong, bawa Biung ke kamarnya, bilang kepadanya jika urusan Romo aku yang akan menanganinya."     

Setelah mengatakan itu, Manis mengangguk. Dia kembali setengah berlari kembali ke balai tengah. Kemudian aku berjalan di belakangnya. Hatiku benar-benar risau, ndhak karu-karuan. Antara marah, emosi, kecewa menjadi satu kepada Bima. Bima yang selama ini di dekatku, Bima yang selama ini bersamaku, dan Bima yang selalu kuanggap sebagai pemuda yang sangat baik. Namun ternyata, Bima....     

Apakah bencinya Rianti kepada Bima menjadi berlebih karena hal itu? Dan dia juga takut mengatakan kebenarannya karena Bima adalah putra dari kawan kental Romo? Jika iya, aku ndhak bisa membayangkan. Bagaimana tersiksanya Rianti selama ini, harus rela tinggal serumah dengan pemuda yang telah membuatnya hancur. Dan bodohnya, aku sama sekali ndhak tahu dengan perkara itu. Duh Gusti, maafkanlah aku. Kenapa aku selalu menjadi yang terbodoh dalam setiap masalah-masalah penting seperti ini. Kenapa aku sama sekali ndhak peka dalam setiap situasi yang ada.     

Aku pun mempercepat langkahku, di balai tengah terdengar suara teriakan histeris Biung, juga para abdi dalem. Tentu, dengan isakan-isakan kepanikannya itu. Saat kusibak orang-orang yang ada di sana, benar saja.     

Bima, dalam keadaan yang entah bisa selamat apa endhak. Karena tubuh dan wajahnya sudah penuh luka, darah tampak jelas keluar dari kepala, dan hidungnya, terkapar di lantai. Sementara kaki Romo Nathan masih berada tepat di atas kepala Bima. Sepertinya, Bima ndhak melakukan perlawanan apa pun. Sebab jika dia melawan, aku yakin, sangat cukup mudah untuk mengalahkan Romo yang saat ini tenaganya pasti ndhak sekuat dirinya sebagai seorang pemuda.     

Aku langsung berjalan mendekat ke arah Romo, menyaksikan sendiri bagaimana wajah garang romoku. Di sini, di depanku saat ini, aku sama sekali ndhak bisa melihat. Apakah yang ada di depanku ini benar-benar adalah Romo, atau bukan. Sebab sejatinya, apa yang terlihat di depanku, seolah seperti sosok lain. Sosok buto (raksasa) dengan penuh amarah di dalamnya yang seolah-olah hendak menerkam mangsanya.     

Namun sejatinya aku sadar, aku sangat paham. Romo Nathan yang kukira selama ini tenang, menyelesaikan masalah tanpa ada emosi bisa berubah menjadi seperti ini. Dia adalah seorang Romo, dia adalah seorang Romo dari seorang putri. Putri satu-satunya yang dia miliki, kemudian harus rela dirusak oleh pemuda ndhak bertanggung jawab seperti Bima. Dan kurasa, semua Romo di dunia ini akan melakukan hal yang sama. Ya, itu sangat wajar, untuk romoku sekarang.     


Tip: You can use left, right, A and D keyboard keys to browse between chapters.