JURAGAN ARJUNA

BAB 144



BAB 144

0"M... maafkan... a... aku... Paman," lirih, hanya itu yang terdengar dari mulut Bima. Sebelum darah segar dimuntahkan dengan sangat nyata dari dalam mulutnya. Semua abdi kembali menjerit, bahkan ada yang pingsan karena ndhak tahan melihat kondisi Bima sekarang.     
0

Romo yang semakin marah, hendak menendang Bima. Tapi aku langsung menangkis tendangan Romo. Yang berakibat, tubuhku yang terpental karena tendangan Romo. Jujur, tenaga Romo meski sudah umur, benar-benar luar biasa. Dan aku bisa jamin, sekali atau dua kali saja Bima mendapat tendangan seperti ini, dia pasti akan... mati.     

"Romo, hentikan dulu," kataku pada akhirnya. Romo Nathan memandangku dengan tatapan galak itu, kemudian aku mengabaikannya. "Tolong tutup ruangan ini. Aku hanya ingin bicara bertiga. Kalian keluar dulu!" perintahku. Tapi, seolah enggan untuk dilaksanakan oleh para abdi dalem, beserta biungku. "Paklik Sobirin, tolong suruh para abdi dalem untuk pergi, Paklik Junet tolong papah Biung dan istriku kembali ke kamar. Dan kamu, Suwoto, jaga tempat ini, jangan sampai ada lalat pun yang berani menguping pembicaraan kami."     

"Baik, Juragan!"     

Semuanya langsung pergi dengan serempak. Membuat suasana di tempat ini langsung terasa hening.     

Plak!     

Pipiku terasa panas, tatkala Romo Nathan menamparku dengan tiba-tiba. Aku ndhak tahu, apa salahku sampai dia menamparku begitu saja. Rahangku mengeras, aku mencoba sekuat tenaga untuk ndhak terpancing amarahnya. Ya, saat ini Romo Nathan sedang marah, dan mungkin saja apa yang telah ia lakukan kepadaku itu karena dia sedang emosi saja.     

"Kenapa kamu membelanya!" bentaknya kepadaku. Dan ucapannya itu, membuatku paham, atas alasan kenapa dia menamparku. Rupanya, dia telah salah paham. "Oh, apa karena Rianti bukan adik kandungmu, makanya kamu ndhak merasa kasihan kepada adikmu. Bahkan, iba pun kamu ndhak merasakannya! Apalagi, bersikap untuk membela adikmu itu!" marahnya.     

"Demi Gusti Pangeran, Romo. Demi Gusti Pangeran...," kataku terputus, sembaru kuacungkan dua jariku pertanda aku sedang bersumpah. "Aku sama sekali ndhak pernah sedikit pun memiliki pikiran, jika Rianti bukanlah adik kandungku. Bagiku, di dalam hatiku, dia adalah adik kandungku. Terlepas dari semua fakta apa pun itu! Hanya saja, lihat... Romo bisa melihat kondisi Bima saat ini? Sekali saja tendangan Romo layangkan pada dirinya, dia bisa benar-benar mati. Apa ini yang Romo inginkan kepada Bima? Apa ini yang Romo inginkan kepada putra dari sahabat kental Romo?"     

Romo Nathan langsung terdiam, napasnya yang ngos-ngosan kini sedikit demi sedikit berangsur tenang. Kemudian, dia mengusap wajahnya dengan kasar. Lalu dia terdiam.     

"Romo tahu dari siapa jika Bimalah yang telah memperkosa Rianti?" tanyaku lagi pada akhirnya, setelah beberapa saat kami diam.     

"Dia," jawab Romo Nathan. Aku langsung melirik Bima, yang telah memandangku, dengan tatapan yang benar-benar sulit diartikan. Namun entah kenapa, jika dia mengakui sendiri perbuatannya, terlebih dia sedang berada di sini. Itu adalah salah satu perbuatan sedikit kesatria, meskipun sudah terlambat. Atau malah, seharusnya dia ndhak melakukan itu sama sekali. "Dia datang kepada Romo, dan mengatakan semuanya."     

"Mengatakan apa, Romo? Kronologi kejadiannya?"     

"Endhak," jawab Romo lagi. "Dia hanya mengatakan jika dia yang memperkosa Rianti, dia yang bertanggung jawab atas apa yang terjadi kepada Rianti."     

"Lantas Romo langsung menghajarnya dengan membabi buta seperti ini?"     

Lihatlah, bagaimana Romo Nathan diam membisu. Melihatnya seperti ini, membuatku tahu. Jika tadi dia langsung menghajar Bima tanpa ampun, sebelum mendengar penjelasan Bima lebih jauh lagi. Aku ndhak sedang membela Bima, sungguh! Asal kalian tahu itu. Bahkan pun, aku akan menjadi orang pertama yang akan membunuh Bima, karena telah menyakiti adik perempuanku sampai seperti ini. Tapi seendhaknya, aku hanya ingin mendengar alasannya. Agar aku tahu, kejadian yang sebenarnya tanpa menghakimi siapa pun dengan begitu egois.     

Aku kemudian melangkah mendekat ke arah Bima, menyeretnya dan menyenderkan tubuhnya pada tembok. Napas yang tadi tersengal pun kini naik—turun dengan beraturan. Kemudian, Bima kembali memandang ke arahku.     

"Terimakasih, Bang...," ucapnya yang sudah kembali lancar, meski terdengar pelan dan lirih. Tapi lebih dari cukup untuk membuat telingaku juga telinga Romo mendengar. "Abang sudah menolongku, dan Abang juga memberiku kesempatan untuk bicara."     

"Lantas, aku ingin tahu. Bagaimana kejadian yang sebenarnya pada waktu acara naik gunung itu, Bima? Katakan kepadaku, sebelum kedua tanganku sendirilah yang akan membunuh, dan merobek-robek isi perutmu itu," kataku.     

Di matanya, ndhak ada ketakutan sedikit pun, ndhak ada keraguan sedikit pun. Bahkan aku sampai ndhak tahu harus berkata apa, bagi seorang pendosa, bagaimana bisa dia memiliki tatapan yang seberani ini.     

"Benar memang waktu kami di kampus aku dan teman-temanku membuat rencana untuk mengerjai Rianti. Aku tidak akan menampik tentang masalah itu...," kata Bima mulai bercerita, aku masih berjongkok di depannya, sementara Romo Nathan memilih berdiri di tempatnya tadi, sembari mengikat kedua tangannya di belakang punggung. Bahkan sekarang, dia seolah enggan untuk melihat ke arah Bima. "Tapi, itu hanyalah sebuah guyonan semata. Kami tidak benar-benar memiliki niat untuk melakukannya. Dan pada suatu hari, saat kami hendak merencanakan liburan sebelum kami melakukan ujian semester. Ada salah satu anggota mapala kampus, yang memberi sebuah ide, jika ada acara naik gunung, untuk memperingati hari mapala pada saat itu. Yang kebetulan, ketua mapala adalah kakak tingkatku. Tentu, mendengar itu aku ikut. Dan siapa sangka, Rianti juga menjadi salah satu peserta dari kegiatan itu. Kupikir, benar memang dia adalah anak pecinta alam. Namun setelah kutahu dari menguping, ternyata dia dipaksa oleh salah seorang temannya untuk naik gunung. Dan bodohnya, dia ikut, tanpa ada alasan yang jelas," Bima tampak menghela napas panjang, seolah ingin mengatur napasnya yang kini perlahan kendur, kemudian dia memandangku dan Romo Nathan secara bergantian. "Abang ingat kenapa aku berada di tempatnya waktu Abang ke sana?" tanyanya, aku pun mengangguk. Bagaimana aku ndhak ingat, toh, aku bahkan ingat betul saat dia dan Rianti tampak bertengkar hebat, meski aku ndhak tahu, alasan apa di balik pertengkarannya itu dengan Rianti. "Asal Abang tahu, aku sengaja ke sana, tidak lain adalah untuk memberitahunya, melarangnya untuk ikut. Tapi rupanya, dia keras kepala, dan menuduhku dengan tuduhan-tuduhan yang tidak berdasar, sampai memakiku. Dan kurasa, Abang juga mendengar dengan jelas, bagaimana ucapan-ucapan pedas itu sampai di telinga Abang juga,"     

"Tunggu...," kataku memotong pembicaraan Bima. "Kenapa kamu harus bertanggung jawab untuk melarang Rianti pergi? Apakah hubungan kalian sedekat itu sampai kamu memiliki kewajiban untuk datang ke tempatnya, dan melarangnya pergi, Bima?"     

Mendengar hal itu, Bima langsung diam membisu. Kemudian wajahnya tampak memerah, dia pun memalingkan wajahnya dariku.     

"Karena aku tidak mau, perempuan yang kubenci mati. Sebelum aku puas meledeknya setiap hari," jawabnya. Benar-benar sangat aneh. Tapi, aku kembali diam, membiarkannya bercerita jika dia ingin melanjutkan ceritanya. Aku ingin tahu, bagaimana kejadian itu bisa terjadi secara rinci. Dan gamblang, sehingga aku tahu bagaimana asli dari kondisi yang sebenarnya di sana waktu itu.     


Tip: You can use left, right, A and D keyboard keys to browse between chapters.