JURAGAN ARJUNA

BAB 145



BAB 145

0"Dan menjelang beberapa hari, akhirnya kami pun berangkat. Berangkat ke salah satu gunung yang hendak kami daki. Aku perhatiin tingkah Rianti sedari berangkat itu benar-benar sangat aneh. Terlebih, setelah dia berbincang-bincang dengan seorang perempuan,"     
0

"Perempuan?" tanyaku lagi memotong ucapannya. Bima, dengan lemah pun menganggukkan kepalanya. "Apa perempuannya memakai pakaian terbuka? Ada tahu lalat di bawah matanya? Kulitnya kuning langsat dan pendek?"     

"Iya, Bang. Kalau tidak salah, Rianti menyebutnya Mbakyu Puri," jelas Bima.     

Sialan, memang perempuan iblis satu itu. Jadi, dia menemui Rianti di saat Rianti hendak naik gunung? Dan menceritakan semua cerita busuknya itu? Bangsat!     

"Lalu setelah itu?" tanyaku lagi. Aku belum bertanya lagi, kenapa bisa Bima ini tampaknya begitu perhatian dengan Rianti. Yang katanya benci, kenapa dia sampai tahu jika Rianti bertemu dengan seseorang terlebih dahulu? Padahal seharusnya, di sana ada orang banyak, dan Bima juga ndhak ada kepentingan untuk harus mengurusi setiap gerak-gerik Rianti, toh.     

"Setelah itu kami mulai naik, tentu setelah mendapatkan intruksi dari ketua regu. Rianti berkata kalau rumahnya adalah di lereng gunung, dengan percaya diri dia bisa naik ke puncak dengan sangat mudah. Aku yang saat itu mendengar pun hanya menganggapnya sebagai ucapan kesombongan semata. Dan benar saja, belum sampai di pos tiga, tiba-tiba perempuan lampir satu itu mendadak hilang entah kemana. Yang berakibat, semua tim harus mencarinya kemana-mana tapi tidak ada. Jadi, aku bernisiatif mencari juga. Dan tiba-tiba aku melihatnya, sudah ditodong oleh beberapa laki-laki yang aku yakin jika laki-laki itu hendak berniat jahat padanya,"     

"Lalu kamu menolongnya?" kini giliran Romo Nathan yang bertanya. Ragu-ragu Bima pun mengangguk.     

"Aku menolongnya, mereka pergi setelah mengatakan jika mereka disuruh seseorang untuk memperkosa Rianti. Setelah mereka pergi, aku dan Rianti tidak bisa kembali ke rombongan. Bahkan kami, tidak tahu ada di mana kami saat itu. Tidak ada jalan, yang ada hanya hutan belantara dan semak belukar. Kami mencoba berjalan, dengan saling bertengkar, saling menyalahkan. Karena kurasa saat itu, karena dialah aku ikut tersesat. Namun juga aku menyalahkan diriku sendiri, kenapa juga aku harus menolongnya. Hingga saat malam tiba. Rianti tiba-tiba bertingkah aneh, dia kedinginan. Dan aku yakin itu adalah tanda-tanda jika dia sedang terserang hipotermia, dan aku tidak tahu harus berbuat apa saat itu, Bang. Aku hanya tahu dari ketua mapala, kalau ada teman yang terkena gejala Hipo kita harus berusaha menghangatkannya. Dan Abang tahu sendiri aku dan Rianti seperti apa. Aku coba dekati saja, dia mendorongku. Sampai saat aku memutuskan untuk membangun tenda di sana, kemudian membuat perapian. Tubuhnya sangat kaku, dan itu benar-benar membuatku panik. Dan mau tidak mau, aku memaksa memeluknya," Bima kembali menghirup udara dalam-dalam, kurasa dia cukup kehabisan napas di kondisi seperti ini untuk berbicara panjang lebar.     

"Tapi itu tidak mempan, sampai akhirnya kuputuskan untuk membuka baju, agar aku bisa menyalurkan suhu tubuhku padanya. Tapi, tapi...." Bima langsung terdiam, dia kemudian menunduk dalam-dalam. Tidak ada lagi suara yang keluar dari mulutnya sekarang.     

"Kamu tidak sadar mencumbunya?" tebakku.     

Bima langsung menutup wajahnya dengan lengannya. Kemudian dia menangis. "Aku sama sekali tidak meyangka jika semua itu akan terjadi, Bang. Awalnya, yang aku pikirkan hanyalah bagaimana membuat tubuh Rianti tidak kaku lagi. Dengan memeluknya sambil menyelimuti tubuh kami. Demi Tuhan, aku sama sekali tidak berencana dan tidak mau jika bisa diulang, tidak ingin kejadian itu terjadi. Aku salah, Bang. Aku salah. Paman, aku salah, maafkan aku."     

"Dan apakah maaf bisa membalikkan kehormatan putriku?" tanya Romo lagi.     

Aku mendongak, memandang wajah Romo Nathan. Entah kenapa, aku melihat amarah yang menggebu tadi telah menghilang. Pun denganku, amarah yang sedari datang ke sini berniat untuk memukul Bima pun ikut pudar. Sebab aku jadi tahu, alasan di balik terjadinya semua itu. Dan mungkin, hal itu juga yang membuat Rianti pun meski terpukul ndhak sampai sedepresi itu. Dia masih bisa memandang Bima, meski tatapan benci itu masih tampak sangat nyata. Ya, kurasa, kami sekarang mengerti. Kalau Bima, berniat untuk menolong nyawa Rianti.     

Sebab bagaimanapun, meski aku orang awam dalam masalah mendaki gunung dan penyakit hipotermia atau semacamnya. Aku pun cukup sering mendengar, jika ndhak jarang pendaki harus kehilangan nyawanya karena hal itu. Dan melihat kondisi Rianti seperti yang diceritakan oleh Bima, melihatnya bisa pulang dengan selamat adalah hal yang sangat luar biasa.     

"Romo, sekarang keputusan ada di tanganmu. Bima telah menceritakan kejadian yang sebenar-benarnya pada kejadian waktu itu," setelah mengatakan itu aku pun berdiri, kemudian memandang Romo lagi yang kini memerhatikan kondisi Bima dari atas sampai bawah.     

"Paman, aku benar-benar siap, atas hukuman yang akan Paman berikan. Dan jika Paman ingin membunuhku aku pun siap. Hanya saja, aku harus menitip pesan kepada Ayah, dan Ibu. Karena jujur, dosaku ini membuatku selalu tidak bisa tidur karenanya,"     

Mendengar Bima mengatakan hal itu dengan sangat mantap membuatku menelan ludahku. Aku baru tahu, jika ada pemuda seberani ini.     

"Kamu harus bertanggung jawab atas apa yang telah kamu lakukan," kata Romo Nathan pada akhirnya.     

Bima menunduk, ndhak mengatakan apa pun. Kurasa, dia sudah benar-benar pasrah atas keputusan yang mungkin akan diambil oleh Romo.     

Lama, suasana di tempat ini mendadak menjadi hening. Hanya ada suara batuk Bima, yang sesekali tampak jelas masih mengeluarkan darah dari mulutnya. Aku, harus memanggil mantri, untuk memberi pertolongan pertama kepadanya sebelum aku membawanya ke rumah sakit.     

"Kamu mau tahu apa hukuman yang pantas untukmu?" kata Romo lagi, yang masih berputar-putar di situ juga. Aku yakin, Romo agaknya juga bingung, atas hukuman apa kira-kira setimpal untuk Bima. Sembari dia berpikir, itu sebabnya dia bertanya-tanya seperti itu terus. "Kamu sangat membenci Rianti, toh? Seberapa benci kamu kepada putriku?"     

"Bahkan berdekatan dengannya lima menit saja aku enggan, Paman," jawab Bima. Tanpa basa-basi.     

Dan, aku bisa melihat dengan jelas, senyum jahat tercetak manis di bibir Romo Nathan. Senyuman yang menurutku adalah pertanda yang benar-benar sangat buruk. Karena apa, karena setiap kali Romo Nathan tersenyum seperti itu, maka ndhak akan ada hal baik yang keluar dari mulutnya. Melainkan, hal buruk yang pasti akan membuat lawan bicaranya menderita seumur hidup.     

"Maka dari itu, habiskan seluruh hidupmu dengan Rianti."     

Aku, dan Bima langsung memekik. Mendengar ucapan Romo yang sangat lantang, dan mantab. Apakah itu artinya....     

Kurasa, cukup sampai di sini aku bahas perihal Rianti, dan kehidupannya. Jika kalian penasaran dengan bagaimana jalan hidupnya, biarkan kusuruh dia bercerita kepada kalian dengan sangat rinci.     

Aku, akan kembali fokus dengan diriku sendiri, juga dengan istriku tercinta yaitu Manis. Yang hendak kuberitahu kepada kalian hanyalah, mulai dari saat itu, kehidupan Rianti akan benar-benar berubah. Berubah menjadi benar-benar penuh warna.     


Tip: You can use left, right, A and D keyboard keys to browse between chapters.