JURAGAN ARJUNA

BAB 148



BAB 148

0"Ini sudah berapa tahun, Kangmas? Ini sudah berapa tahun?" katanya, yang kini sudah berpadu dengan suara paraunya, karena tangisan yang ndhak bisa dia tahan. "Sudah hampir dua tahun dan aku sama sekali telah menjadi istri yang ndhak berguna sama sekali."     
0

"Sayang—"     

"Apa... apa yang salah dariku, Kangmas? Apa? Aku harus apa agar aku bisa hamil? Bahkan, apa pun yang diucapkan oleh orang-orang aku lakukan. Tapi nyatanya...," dia menghela napasnya dalam-dalam, sembari mengusap air matanya dengan kasar. "Padahal, dokter pun bilang kalau semuanya baik-baik saja, Kangmas."     

"Jadi, jika seperti itu, jangan pernah memberikan dirimu beban yang seharusnya dipikul oleh dua orang," Manis langsung memandangku, dengan pandangan bingungnya itu. Lagi, kucoba untuk menariknya ke dalam pelukanku, kemudian mengelus rambut panjangnya itu. Seendhaknya, aku bisa menenangkannya sekarang. "Sayang, kamu tahu... memiliki buah hati itu bukan tanggung jawab dari seorang. Akan tetapi, tanggung jawab dari dua orang. Jika kamu telah merasa melakukan banyak hal, jika kamu telah merasa semua yang ada pada dirimu ndhak ada yang salah. Maka, bukankah jawabannya hanya ada satu perkara saja?"     

"A... apa?"     

"Jika bukan kamu, bukankah kesalahan dan kekurangan itu seharusnya ada pada diriku?"     

Mendengar hal itu, mata Manis langsung terbelalak. Dia langsung memelukku semakin erat dengan tangis terpecah.     

"Maafkan aku, Kangmas. Maafkan... aku sama sekali ndhak bermaksud untuk menyinggungmu, atau mencurigaimu, sungguh!" katanya, malah tampak semakin lebih histeris dari sebelumnya.     

"Sayang... sayang, dengarkan aku," kataku, mencoba untuk menenangkannya yang tampaknya merasa jika aku telah menuduhnya dengan yang endhak-endhak. "Jika kamu ndhak ingin aku berpikiran seperti itu. Maka, berhentilah membebani pikiranmu dengan hal-hal yang rancu. Kenapa kamu masih memusingkan masalah buah hati? Jika kita sendiri ndhak mampu membuatnya sendiri tanpa adanya jemari-jemari dari Gusti Pangeran. Jika kamu masih seperti ini, Ndhuk, itu tandanya kalau kamu itu ndhak percaya dengan takdir, ndhak percaya dengan kuasa dari Gusti Pangeran. Itu berarti, kamu itu tamak, kamu serakah, Ndhuk."     

Lagi, Manis terisak. Kemudian dia menundukkan wajahnya sembari menutup wajahnya dengan kedua tangan. Kemudian dia mengangguk lemah, memandangku setelah dia menenangkan dirinya sendiri.     

"Maafkan aku, Kangmas," katanya kemudian. Dia tampak menghirup udara dalam-dalam, kemudian mengembuskannya dengan pelan. Memandang ke arah luar jendela, kemudian dia mulai tersenyum simpul. "Sepertinya, apa yang telah Kangmas katakan adalah perkara yang sangat benar. Ucapan Kangmas, telah menampar kesadaranku. Dan membuatku paham, jika sejatinya selama ini apa yang kulakukan hanyalah perkara mengikuti hawa nafsu. Nafsu dari ingin membuktikan kepada orang-orang, jika aku mampu, dan harus memiliki keturunan. Tanpa peduli, atau bahkan lupa jika sejatinya pernikahan itu bukanlah perkara soal anak. Akan tetapi, tentang kita."     

Aku tersenyum, kemudian kucubit pipi bundarnya dengan gemas. Iya, setelah menikah denganku, istriku tercinta ini semakin tambah montok saja. Lihatlah bagaimana bundar pipinya, sampai membuatnya tampak terlihat semakin cantik di mataku.     

Dia langsung merengut, kemudian membalas cubitanku itu. Dia tersenyum, sembari mengusap air mata yang tersisa di ujung matanya.     

"Jadi, ndhak sedih lagi ini? Ndhak memintaku mengantar periksa ke rumah sakit ini?" godaku. Dia menyenggol lenganku, kemudian dia mengulum senyum.     

"Aku sudah malu, mbok ya ndhak usah diperjelas seperti itu, toh, Kangmas," katany.     

"Ohnya, kamu ndhak kuliah?"     

"Duh Gusti! Aku lupa! Hari ini ada tugas yang harus kuselesaikan sekarang juga!"     

Manis langsung beranjak dari duduknya, kemudian dia keluar dari kamar. Aku yakin, jika dia pergi ke kamar mandi. Ndhak lama setelah itu, dia cepat-cepat masuk ke dalam kamar. Dalam keadaan, seluruh tubuhnya benar-benar basah, dan dia masuk ke dalam kamar tanpa mengenakan handuk. Dia, benar-benar sedang telanjang sekarang.     

Sepertinya, dia sangat panik pagi ini. Karena dia langsung membuka lemari, sambil sesekali mengeluh. Kuperhatikan dia dengan teliti, bagaimana dia memasukkan buku-bukunya ke dalam tas dengan sangat berantakan. Bagaimana dia hampir menggunakan beberapa pakaian yang salah. Aku hanya mengulum senyum, melihat kecerobohannya itu. Salah satu ciri khasnya yang ndhak diketahui semua orang, meski lebih banyak orang menganggapnya sebagai sosok tenang dan dewasa adalah, dia ndhak pernah bisa mengatur waktu, serta pelupa. Hingga akhirnya, kejadian seperti ini nyaris dilakukan jikalau dia sedang dalam keadaan yang sangat mepet.     

"Ayo aku antar," kubilang, sembari beranjak dari dudukku, hendak berganti baju. Tapi, Manis tampak menggeleng kuat-kuat.     

"Ndhak usah, Kangmas. Aku mau berangkat dengan kawanku,"     

"Kawanmu?" tanyaku yang agaknya bingung. Dia kembali mengangguk.     

"Iya, kami janjian berangkat bersama,"     

Mendengar hal itu, aku langsung beranjak keluar. Mencari barangkali kawannya itu telah datang. Sebab, menurut perhitunganku, seharusnya kawannya ini sudah berada di sini sedari tadi. Karena menjemput istriku tercinta. Karena sekarang jam sudah hampir sangat-sangat telat. Tapi, ndhak ada siapa pun. Apakah kawannya itu lupa menjemput istriku? Atau, malah kami yang ndhak mendengar kedatangan kawannya itu? Kuperiksa teras rumah, masih kering tanpa ada tanda-tanda orang pernah ke sini. Ini adalah satu perkara lagi, sebab kalau gerimis seperti ini akan sangat mudah mengetahui jika ada orang bertamu ke rumah kita.     

"Ndhak ada siapa pun di luar, dan kamu sudah sangat telat. Benar kamu mau menunggu kawanmu atau mau aku antar? Sebab kurasa, jika kawanmu itu menjemput, bukankah dia seharusnya berada di sini sedari tadi?"     

Manis yang tampak sudah siap dengan segala tetek bengeknya itu pun terdiam, kemudian dia memandang arloji (jam tangan) yang melingkar di pergelangan tangannya. Sembari terus tampak gusar, kemudian dia memandangku, lalu mengangguk.     

"Aku diantar Kangmas saja," putusnya.     

Aku tersenyum, dengan segera aku mengenakan pakaianku. Kemudian mengajak dia untuk berangkat sekarang juga.     

"Kangmas, tapi kalau kawanku belum berangkat bagaimana?" tanyanya. Dia ini benar-benar ndhak enakan, rupanya.     

"Kita ke rumahnya dulu?" tawarku. Dia langsung tersenyum semangat, kemudian mengangguk kuat-kuat.     

"Ndhak keberatan?"     

"Ya endhak. Jangankan menjemput kawanmu, kamu ajak aku ke neraka saja, aku akan berangkat dengan penuh suka cita!" jawabku menggodanya.     

"Duh, aku terharu," jawabnya sok manis sekali.     

Aku langsung melaju ke arah rumah kawan Manis. Tentu, dengan arah-arahan darinya. Ndhak cukup jauh jika berjalan kaki, akan tetapi jika dalam kondisi gerimis yang cukup deras seperti ini, pastilah akan sangat merepotkan, apalagi berjalan kaki. Bagi seorang perempuan.     

Setelah mengambil arah bertigaan, mobilku langsung disuruh belok pada sebuah rumah yang ukurannya cukup besar. Di sana, Manis menyuruhku memarkikran mobil. Kudongakkan wajahku menatap rumah itu. Rumahnya mirip dengan rumah Puri, gaya rumah megah pada masanya saat ini.     

"Aku tanya orang rumahnya dulu, Kangmas."     

"Iya, kujawab,"     

Manis pun pergi, membuatku memerhatikannya dari dalam mobil. Sembari menebarkan pandanganku. Tatkala aku melihat di celah-celah gang kecil, mataku menyipit melihat sosok yang rupanya telah memandangku. Sosok itu memakai payung hitam, dia mengenakan rok putih berenda selutut. Rambutnya hitam panjang, dan sosok itu... tersenyum.     


Tip: You can use left, right, A and D keyboard keys to browse between chapters.