JURAGAN ARJUNA

BAB 146



BAB 146

0"Jadi, benar ndhak apa-apa kalau semuanya kita tinggal begitu saja, Kangmas?" tanya Manis.     
0

Saat ini kami sudah berada di Jakarta, dan aku telah membeli sebuah rumah baru. Bukan rumah lama yang dulu ditempati oleh Rianti dan Manis waktu dulu. Sementara Ningrum masih berada di Kemuning, tujuanku agar dia sampai menyelesaikan sekolah menengah atasnya dulu. Untuk kemudian dia kubawa ke sini, kuliah dan besar di sini kalau bisa.     

Seperti pindahan, memang. Tapi kurasa ini adalah pilihan terbaik, dari beberapa pilihan baik yang pernah kulakukan. Aku ingin orang-orang yang ada di Kemuning menyelesaikan masalah mereka sendiri, aku ingin kegaduhan di sana agaknya tenang. Untuk kemudian, aku akan mengambil langkah, ke mana gerangan kaki ini akan melangkah.     

Manis kini mengitari tubuhku, seraya mengenggam lenganku yang masih menggenggam erat pilar penyangga bagian depan teras rumah. Dadaku rasanya benar-benar sesak. Tatkala aku memutuskan untuk ke Jakarta, di saat keadaan di Kemuning sedang genting-gentingnya.     

"Apa yang akan terjadi kepada Rianti, dan Bima? Apa yang akan terjadi kepada Romo, dan Biung?" tanya Manis lagi.     

Memang, waktu itu perseteruan antara Bima, dan Romo memang terhenti. Sebab Romo telah memberikan hukuman telak kepada Bima. Namun, saat itu Rianti ndhak ada di sana, Biung pun ndhak ada di sana juga. Siapa yang akan menyangka, dan siapa yang akan tahu, akan seperti apa kejadian setelah itu. Untuk menghindari keadaan semakin bertambah rumit, aku pun memutuskan untuk segera pergi. Sebab, kurasa ini bukan lagi ranahku. Jadi, jika kalian bertanya bagaimana kelanjutan nasib Rianti, biarlah nanti waktu yang akan menjawabnya. Dia yang akan menceritakan semuanya kepada kalian. Ya, tentu saja. Tentu jika dia sudi untuk bercerita panjang lebar sepertiku ini.     

"Biarlah, Rianti telah dewasa. Aku ndhak punya hak sama sekali untuk ikut campur. Biarkan dia menyelesaikan masalahnya sendiri dengan Bima, dengan Romo, dan Biung, juga dengan hatinya," kujawab. Sembari melangkah duduk di kursi yang terbuat dari kayu, dengan sulaman rotan sebagai pemanis kursinya.     

"Hatinya? Maksud Kangmas?" tanya Manis yang agaknya masih bingung, dengan apa yang kuucapkan.     

"Iya, hatinya. Sebab bagaimanapun, dia dan Bima sama-sama saling membenci. Semua itu tergantung dengan mereka. Hukuman yang diberikan oleh Romo pun aku juga ndhak yakin akan mereka terima begitu saja. Sebab sejatinya, Romo lebih memilih kebahagiaan anak-anaknya. Jika Rianti menolak, pastilah hukuman itu ndhak akan terlaksana. Meskipun Bima telah menyetujuinya meski ndhak ingin."     

"Jadi benar Bima yang telah merenggut mahkota Rianti?" tanya Manis.     

Agaknya, istriku tercinta itu masih ndhak percaya. Sebab aku pikir, dia mimiliki pemikiran yang sama denganku. Yaitu, Bima adalah pemuda yang baik, dan dia ndhak mungkin melakukan semua itu. Namun sejatinya kembali lagi, kurasa siapa pun pemuda, yang masih normal dan memiliki hawa nafsu dalam keadaan seperti itu, terlebih di tempat yang benar-benar banyak lelembut berkuasa, akal sehat akan dipertaruhkan untuk sekadar bisa menjaga kelakuan itu barang sebentar saja.     

"Katanya niatnya untuk menolong, tapi kebablasan, entahlah. Aku ndhak mau ikut campur."     

"Tapi dia adikmu, lho, Kangmas."     

"Aku sudah membantu sebisaku, Sayang. Lantas apa lagi yang harus aku lakukan? Kalau masalah hati, meski dia adikku sekalipun, tetap saja aku ndhak bisa berbuat apa-apa. Aku ndhak mau membuatnya mengambil keputusan karena terpaksa. Aku mau dia mengambil keputusan apa pun itu, dengan hatinya sendiri. Dan tentu, setelah ia mempertimbangkan risiko yang akan dia terima di kemudian hari."     

Manis langsung diam, dia ndhak mengatakan apa pun lagi. Selain duduk di sampingku sambil mengelus dagunya. Kulirik saja dia, sudah seperti seorang polisi saja, toh. Yang mencoba memecahkan sebuah kasus pembunuhan yang sangat rumit. Sampai-sampai dahunya berkerut-kerut seperti orangtua dengan mimik wajah yang seserius itu.     

"Jujur, Kangmas. Sebenarnya aku juga merasa aneh dengan Rianti...," katanya kemudian, yang berhasil membuat alisku terangkat setengah. "Rianti seperti seorang perempuan yang sedang jatuh hati, lho, Kangmas. Tapi, aku ndhak tahu, dia itu jatuh hati kepada siapa."     

Aku diam, ndhak menjawabi ucapan dari Manis. Sebab sejatinya, perihal ini aku juga telah merasakan. Terlebih, tatkala melihat tatapan Rianti kepada Zainal, pula dengan Zainal, yang saat itu kutanyai di warung serabi itu.     

Jika benar tebakanku, maka ini akan menyakitkan sekali untuk Rianti. Jika benar aku ndhak keliru maka, di sini, dengan keputusan ini. Bukan hanya dua hati yang akan terluka, namun tiga sekaligus juga.     

Gusti, kenapa dengan adik kecilku, toh? Dia hanya seorang perempuan kecil yang lemah, dan rapuh. Bagaimana bisa engkau telah memberinya cobaan sampai sebesar di bahkan di saat dia belum merasakan jatuh hati itu sebenarnya seperti apa.     

Gusti, aku mohon. Sudilah kiranya engkau tetap jaga senyumnya. Jangan engkau berikan cobaan yang teramat padanya, Gusti. Sebab kutahu, dari seluruh hidupnya, dia adanak anak yang baik. Dia ndhak pernah menyakiti siapa pun.     

"Amin," lirih Manis, yang agaknya membuatku terjingkat, dia mengamini doa dalam hatiku seolah ia tahu apa yang kupikirkan sekarang. Kemudian, dia memelukku, dan tersenyum sangat ramah kepadaku. "Percayalah, Gusti Pangeran akan mengabulkan apa pun doamu itu."     

"Tahu dari mana kalau aku sedang berdoa?" tanyaku kepadanya, tapi dia malah mengulum senyum. "Jangan-jangan, kamu diam-diam telah masuk ke dalam pikiranku dan mengintip doaku. Iya, toh?" tuduhku.     

Manis langsung menjauhkan tubuhnya, kemudian dia mencubit lenganku dengan gemas. Aku tersenyum saja tatkala dia sudah berlaku seperti itu.     

"Enak saja!" serunya ndhak terima. "Itu karena aku ini sehati dengan kamu. Makanya aku tahu apa yang ada di dalam pikiranmu. Aku, bisa membaca pikiranmu dengan sangat jelas," sombongnya. Duh Gusti, bagaimana bisa istriku menjadi tiba-tiba sepercaya diri ini sekarang. Belajar dari siapa, toh, dia ini. Kenapa setiap hari semakin tampak lucu sekali.     

"Yakin?" tantangku. Dia tampak menarik sebelah alisnya.     

"Yakin... apa?" tanyanya yang agaknya sekarang tampak ragu-ragu. Sekarang, kuputar tubuhku sampai menghadap tepat di hadapannya, kemudian kupandang kedua bola mata bundarnya lurus-lurus.     

"Sekarang tebak, apa yang sedang kupikirkan. Kalau kamu berhasil menjawabnya dengan benar. Aku akan memberimu hadiah."     

"Ah, nanti juga aku benar menjawab kamu akan berbohong, toh," tolaknya, sembari mengibas-kibaskan tangannya di hadapanku.     

"Endhak, serius. Janji!" kataku menyakinkan.     

Sejenak, Manis terdiam. Kemudian dia memerhatikanku dengan seksama. Seolah-olah dia hendak menerawangku. Jujur, rasanya aku ingin tertawa saat ini juga. Tapi bagaimana lagi, mengerjainya adalah perkara yang sangat menyenangkan sekali.     

"Ehm, kamu pasti sedang berpikir perkara Rianti lagi?" jawabnya, yang lebih seperti sebuah pertayaan.     

Aku langsung menggeleng sembari mengulum senyum kepadanya. Kemudian aku menaik—turunkan alisku.     

"Salah, hayo, apa hayo. Apa yang sedang kangmasmu yang paling bagus (ganteng) sejagad raya ini pikirkan?" godaku lagi.     

Dia langsung cemberut, sebab merasa kalau dia telah salah menjawab, kemudian dia menarik alisnya lagi.     

"Kamu lapar?"     

"Ya jelas salah."     

"Kamu memikirkan aku?"     

"Selain itu, toh. Sebab setiap hari aku pasti memikirkanmu," kujawab. Dia langsung menunduk dengan wajah merahnya itu.     

"Sudah ah, aku menyerah," katanya pada akhirnya.     

"Wah, ndhak seru ini. Katanya sehati, tak tanya apa yang hatiku sekarang inginkan saja ndhak bisa menjawab,"     

"Kangmas!" gerutunya.     

Aku langsung mencubit hidung bangirnya sampai dia meronta-ronta karena ndhak bisa bernapas.     

"Kamu mau tahu apa yang sedang hatiku inginkan?" kutanya pada akhirnya.     

Dia pun mengangguk dengan mimik wajah seriusnya itu, sembari berucap, "apa?"     

"AMKSK."     

"Apa?" tanya Manis yang tampak semakin bingung.     

"AMKSK. Tebak, kepanjangan dari apa?"     

"Apa, toh, Kangmas? Aku benar-benar ndhak paham ini, lho," katanya yang tmpak semakin jengkel.     

"AMKK itu singkatan dari aku mau kelon sama kamu,"     

Manis langsung memukul dadaku, wajahnya langsung memerah. Dia menundukkan kepalanya dalam-dalam, mungkin karena dia merasa sangat malu.     

"Kangmas ini."     

"Apa? Mau apa endhak?"     

"Endhak."     

"Endhak apa? Endhak nolak?"     

"Iya."     

"Hahaha. Ayok!"     

"Ayok apa?"     

"Ya ayok, kita nganu-nganu."     

"Nganu-nganu apa?" tanyanya yang semakin menggodaku. Aku langsung membopong tubuhnya, tanpa banyak ucap lagi, kemudian aku masuk ke dalam rumah. Mengunci pintu rapat-rapat.     


Tip: You can use left, right, A and D keyboard keys to browse between chapters.