JURAGAN ARJUNA

BAB 147



BAB 147

0Siang hari di bulan januari, tatkala gerimis mulai merapat, hingga membuat napas terasa sangat sesak. Percikan air yang terpelanting dari langit tampak begitu nyata, memberikan irama dengan nada-nada merdunya. Jatuh terpelanting ke genting-genting, dedaunan, teras-teras, bahkan benda-benda lainnya sehingga menimbulkan suara nyaringg.     
0

Lihatlah, bagaimana para katak mengorek meksi pagi sudah tiba. Seolah, mereka enggan untuk sekadar menyudahi pestanya. Lihatlah bagaimana langit masih ingin selalu kelabu, seolah mereka enggan untuk membiarkan mentari barang sejenak untuk mengintip indahnya keindahan bumi barang seditik saja. Dan lihat pula, bagaimana orang-orang yang masih tampak bergeliat di atas ranjang-ranjang tidurnya, sembari menaikkan selimut mereka ke atas, hanya karena mereka ingin sekadar lebih lama lagi untuk beranjak dari sana. Dan dari itu semua, ada hal-hal yang sangat menyejukkan hati. Tatkala aku masih bermalas-malasan di atas ranjang seperti ini, aku bisa mencium dengan jelas, aroma teh hangat yang menusuk-nusuk indera penciumanku, yang dihidangkan dengan mendoan hangat-hangat. Padahal, udara masih sedingin ini, tapi istriku sudah beranjak dari ranjang sedari tadi pagi. Untuk membuat sarapan, sembari menyiapkan cemilan untukku. Gusti, rasanya punya istri senikmat ini, toh. Pantas saja zaman sekarang banyak pemuda-pemuda yang usianya cukup matang, mereka begitu bersemangat untuk mencari seorang pendamping hidup.     

Dulu, aku ndhak pernah begitu memerhatikan perbedaannya, memang. Sebab yang melayaniku meskipun aku telah memiliki istri tetap Bulik Sari ataupun Bulik Amah. Meski memang, ada beberapa hidangan yang Manis sengaja siapkan sendiri. Tapi, betul-betul ndhak seperti ini. Dan tinggal berdua saja dengannya, nikmatnya baru benar-benar terasa.     

"Sayang, bangun, toh. Minum teh, dan mendoannya selagi masih hangat. Sembari menikmati rintikan germis yang ada di luar. Bukankah itu adalah perkara yang sangat mengasyikkan, dari pada menghabiskan pagi ini dengan bermalas-malasan?"     

Manis tampak membawa cangkir tehnya, sembari menepuk-nepuk sebuah kursi panjang, yang terletak di sisi kanan ranjangku. Di depannya, ada sebuah jendela kata berukuran besar, yang jika malam tertutup rapat-rapat oleh tirai. Jika tirai disibak seperti ini, maka pemandangan kebun di samping rumah akan terpampang nyata. Kebun yang diolah sendiri oleh istriku, kebun dengan banyak tumbuhan di sana. Bukan hanya bunga, tapi apotek hidup juga, serta beberapa sayur-mayur juga. Sungguh, sebuah kebun yang ndhak hanya sangat indah, namun penuh dengan manfaatkan. Terlebih, jika dinikmati tatkala gerimis seperti ini. Seolah melihat sebuah pertunjukan tari yang dihadirkan oleh Gusti Pangeran dan diturunkan langsung di bumi ini. Tatkala kelopak bunga, dan dedaunan saling bergoyang dengan irama-irama dengan sangat merdu, bersanding dengan irama air hujan yang jatuh ke pucuk-pucuknya, kemudian terlepanting ke tanah dengan begitu nyata.     

Setelah aku mulai meregangkan otot-ototku, aku pun langsung beranjak dari ranjang. Kemudian berjalan mendekat ke arah Manis. Duduk si sampingnya sembari merangkulnya. Dia menyenderkan kepalanya di pundakku, dan kami menikmati pagi hari kami yang indah. Tentu, sembari meminum teh dan menikmati rintikan hujan.     

Oh ya, aku lupa. Aku belum menceritakan beberapa hal. Jika setelah beberapa bulan kami berada di Jakarta. Selama beberapa bulan pula Manis seperti kesetanan. Bagaimana endhak, toh, hampir setiap bulan dia itu selalu memaksaku untuk memeriksakan kandungannya di rumah sakit. Terlebih, tatkala ia telat datang bulan barang seminggu. Betapa dia sangat menginginkan seorang buah hati, betapa dia sangat bekerja keras untuk itu. Aku diam, aku menuruti semua yang dia inginkan tanpa protes sedikit pun, dan tanpa mengatakan apa pun. Aku sakit, hatiku bagai diremas-remas tatkala melihat Manis sampai seperti itu. Akan tetapi, aku sendiri pun ndhak tahu, bagaimana harus mengatakannya kepada Manis, bahwa sanya, yang kubutuhkan dalam pernikahan kami adalah dia. Bukan apa pun selain dia. Meski jujur, aku juga mendambakan buah hati. Manusia mana yang ndhak ingin memiliki buah hati. Tapi, itu bukan tujuan utamaku. Memiliki buah hati adalah bonus dalam pernikahanku. Sebab aku ndhak mau membuat istriku terbebani, membuat istriku selalu menangis tatkala aku pura-pura tidur di setiap tengah malam. Aku ndhak mau, dia merasa menjadi yang kurang sempurna gara-gara ini.     

"Kamu tahu, Sayang, hidupku terasa sangat sempurna, dan beruntung," kubilang, sembari mengelus lengannya yang kurengkuh saat ini. "Bisa menikah dengan perempuan yang kucintai, kemudian hidup bersamanya. Aku berharap, jika Gusti Pangeran memberiku usia yang panjang. Maka doaku hanya satu,"     

"Apa?"     

"Menghabiskan sisa hidupku bersamamu,"     

Manis langsung tersenyum, kemudian dia mencubit hidungku dengan gemas. Memandangku tanpa kedip selama beberapa saat, kemudian senyum itu kembali mengembang lagi.     

"Memangnya kamu pikir, kamu boleh, toh, menghabiskan sisa hidupmu dengan perempuan lain?" katanya, dengan senyumannya yang khas itu. "Ndhak akan kubiarkan. Sebab, aku akan mengikatmu dengan kuat agar kamu berada di sisiku selamanya."     

"Aduh," Manis tampak kaget, tatkala aku memegangi dadaku sembari meringis.     

"Kenapa, Kangmas?"     

"Rasanya aku menderita penyakit baru, Sayang?"     

"Sakit apa?"     

"Kencing manis."     

"Kok bisa?"     

"Habisnya, kata-katamu terlalu manis sampai aku ndhak sanggup lagi untuk menerimanya."     

"Alah, Kangmas ini!" dengusnya, memukul dadaku kemudian dia kembali menatap ke arah taman yang ada di depan pandangannya, sembari menyesap teh yang ada di genggam sedari tadi.     

Kukecup pipinya kemudian kemudian kuembuskan lagi napasku yang rasanya sangat sesak. Mencari cara terbaik untuk memberitahu Manis apa pun itu jalannya.     

"Kamu tahu, Sayang. Di dunia ini, ada beberapa hal yang bisa kita usahakan, namun ada juga beberapa hal yang ndhak bisa kita paksakan. Sebagai manusia, sejatinya kita hanya diwajibkan untuk berusaha. Perkara hasil, kita harus menyerahkan semuanya kepada sang pencipta."     

"Iya, Kangmas. Aku paham akan hal itu," jawabnya. Dengan senyum yang seolah dipaksa.     

"Aku menikah denganmu, itu semata-mata karena aku ingin menghabiskan sisa hidupku denganmu. Kehadiranmu, sudah lebih dari cukup untukku. Jadi aku mohon, Sayang...," kataku yang kini sembari menggenggam kedua tangan Manis erat-erat. "Ndhak usah merasa terbebani dengan apa pun. Ndhak usah merasa tertekan, dan harus melakukan apa pun. Kamu, hanya kamu itu sudah sangat cukup untukku. Aku, ndhak butuh yang lainnya lagi."     

Manis, ndhak menjawabi ucapanku, akan tetapi punggungnya tampak bergetar. Dia memelukku dengan semakin erat. Aku yakin jika dia menangis sekarang, aku yakin jika apa yang kukatakan sangat mengoyak hatinya sekarang. Namun bagaimanapun, aku harus menjelaskan perkara ini. Aku sudah menahannya lama, aku sudah mencoba berbagai cara lama agar Manis paham tentang apa yang sejatinya aku rasakan. Mungkin, saat ini adalah saat yang tepat untukku mengatakan kepadanya perihal hal ini.     

"Tapi, Kangmas... tapi...," kata Manis tampaknya terbata. "Aku... aku merasa telah menjadi istri yang ndhak sempurna untukmu. Sebab... sebab aku ndhak bisa memberimu keturunan, Kangmas."     

Lagi, hatiku seakan tersayat tatkala ucapan itu lantang terdengar di telingaku. Terlebih, kata-kata menyakitkan itu keluar sendiri dari mulutnya. Pasti, saat ini hatinya sangat hancur. Benar-benar sangat hancur.     


Tip: You can use left, right, A and D keyboard keys to browse between chapters.