JURAGAN ARJUNA

BAB 152



BAB 152

0Kuembuskan napasku dalam-dalam, sembari duduk di teras sembari menikmati rintikan hujan. Kuambil sebatang rokok yang baru saja kubeli, kemudian kunyalakan sembari kunikmati setiap nikotinnya. Rasanya, sudah sangat lama aku ndhak menikmati ketenangan seperti ini, rasanya sudah sangat lama aku ndhak merasa sebutuh ini dengan benda kecil ini. Lagi, kuhisep kretekku kemudian kubuang putungnya. Entah kenapa, hidup di kota dan jauh dari orangtua tiba-tiba menjadi semenyebalkan ini. Terlebih, dengan adanya perempuan bernama Hasnah itu.     
0

Kupikir, hubunganku dengan Manis ndhak akan ada satu perkara yang memisahkan. Tapi rupanya, kerikil kecil yang tajam itu adalah karena Hasnah. Kawan dekat istriku sendiri. Bukan perkara pemuda lain atau karena apa pun.     

Rasanya, baru kemarin aku dan Manis bermesraan. Ah, bukan... bukan, melainkan baru sebelum dia berangkat kuliah tadi. Dan tiba-tiba suasana menjadi secanggung ini.     

Kulihat lagi gerimis yang turun, dan membayangkan tatkala aku berada di Kemuning. Duduk di dipan depan rumah, sembari melihat bunga sepatu warna-warni beserta bunga krisan yang bermekaran. Sangat indah, tatkala kelopak-kelopaknya disentuh dengan indah oleh tetesan air hujan. Bias kristalnya sangat tenang, dan menyejukkan. Membuat semua orang yang melihatnya ikut merasakan ketengan.     

Membayangkan itu semua ndhak terasa rokok yang sedari tadi kupegang sudah hampir habis. Kulempar dengan asal, sampai baranya mati. Kemudian aku menyenderkan punggungku di kursi.     

Ndhak berapa lama, Hasnah keluar dari rumahku. Dia tampak kaget, tatkala melihatku duduk di teras. Ada Manis juga, kemudian itu berhasil membuatku berdiri.     

"Mau pulang?" kutanya. Hasnah, yang agaknya bahagia dengan pertanyaanku itu pun tersenyum merekah. Kemudian, dia mengangguk kuat-kuat.     

"Iya, Bang."     

"Aku antar," putusku.     

Manis agaknya kaget dengan cuapanku itu, sepertinya dia cukup ndhak percaya. Sebab bagaimanapun, tadi aku marah dengannya karena sahabat tersayangnya ini.     

"Aku antar, jalan," putusku lagi. Berjalan mendahului Hasnah tanpa mengenakan payung. Dan membiarkan tubuhku terguyur gerimis yang masih rintik-rintik.     

"Manis aku balik dulu, ya."     

"Oh, iya... hati-hati," jawab Manis.     

Setengah berlari, Hasnah berjalan mengejar langkahku. Kemudian dia mengiringi langkahku. Kulirik kakinya, apakah menampaki tanah atau endhak. Rupanya, dia menapaki tanah. Jadi dia benar-benar manusia. Ah, Gusti... kenapa denganku, bagaimana bisa sampai detik ini aku selalu berprasangka kalau dia bukanlah manusia. Dasar, aku.     

"Aku tidak suka dengan gayamu seperti itu. Sebenarnya, rencana apa yang hendak kamu lakukan kepada Manis?" tanyaku, Hasnah terdiam, dia memandangku dengan tatapan anehnya. Rasanya, ingin kupangkas saja rambut panjang menganggu itu. "Aku bukan orang polos seperti Manis, yang akan langsung percaya, hanya karena sandiwara busukmu itu."     

Hasnah kemudian tersenyum, lalu dia menyibak rambutnya. Dijadikan satu, dan ditaruh ke sisi kanan bahunya. Kalau seperti itu seendhaknya, ndhak mengerikan seperti tadi.     

"Kamu ini bicara apa, sih, Bang. Kenapa Abang selalu mengatakan kalau aku ini jahat. Aku baik, dengan Manis aku baik. Dan aku hanya tidak menyangka, jika Abang adalah suaminya Manis," jelasnya, cukup cerewet, dan benar-benar berbeda dari tadi.     

Aku sampai heran, apakah ini aslinya dia? Lantas kenapa, tatkala dengan Manis dia seolah menjadi sosok yang muram, dan menyeramkan. Apakah dia tengah merencanakan suatu hal dengan Manis?     

"Aku pikir Manis itu belum menikah," katanya lagi.     

Aku langsung mendengus. Kemudian, aku berhenti, memerhatikan tubuh Hasnah dari atas sampai bawah.     

"Kamu korban perkosaan pamanmu?" tanyaku. Dia tampak kaget. Kutarik sebelah alisku, melihat mimik wajahnya yang dibuat itu. Sepertinya, dia bukan seperti seorang perempuan korban perkosaan siapa pun. "Bahkan melihatmu saja aku tidak yakin apa kamu benar-benar korban perkosaan. Sungguh, sandiwaramu itu lucu," ejekku.     

Aku kembali berjalan, tapi Hasnah langsung menarik tanganku. Sampai aku nyaris jatuh, dalam pelukannya. Tapi, aku langsung menarik tubuhku. Sehingga aku langsung menjauh darinya. Dia ndhak akan bisa membuatku jatuh pada perangkap kotornya itu.     

"Abang, tidak semua orang memiliki pikiran picik seperti Abang. Kalau aku bilang A, maka itulah yang sebenarnya terjadi. Jangan pikir aku ini pendusta karena kamu tidak percaya, bisa saja kamu tipikal manusia yang suka berburuk sangka."     

Aku diam, tatkala dia mengatakan hal itu. Pandai bicara benar perempuan ini. Sungguh, semua yang ditampilkan di depan manis benar-benar jauh berbeda. Mungkin, hal itulah yang membuatnya agar bisa dipercaya oleh Manis.     

"Apa salahnya aku ingin memiliki teman seperti Manis? Di saat tidak ada satu orang punn yang mau berteman denganku. Apa salah jika aku menerima tawaran perteman dari Manis? Di saat semua orang mengucilkan dan menjauhiku? Apa salah aku melakukan semua itu, Bang?"     

Mata Hasnah tampak nanar, kemudian dia melangkah, dan memandang ke arahku. Dia sudah menangis.     

"Sudah, pulanglah. Jika tujuanmu mengantarku hanya untuk mencurigaiku seperti ini. Aku tidak butuh diantar oleh orang berpikiran sempit sepertimu."     

Hasnah langsung pergi sambil berlarih. Bahkan, dia sudah ndhak peduli, jika saat ini payung yang ia bawa terjatuh entah ke mana. Dan aku, masih berdiri di sini, dengan bodoh, sembari memandangnya, yang semakin jauh, dan sosoknya semakin samar, kemudian... menghilang.     

Apa aku salah telah mengatakan apa yang ada di pikiranku? Sebab aku rasa, selama ini aku ndhak pernah keliru. Namun, tatkala dia mengatakan hal itu, aku jadi ndhak enak hati. Sebab bagaimanapun, aku dan dia ndhak ada bedanya. Aku, adalah seseorang yang dikucilkan kawan-kawanku. Aku adalah seseorang yang ndhak pernah punya sosok yang bisa disebut dengan... kawan.     

Aku tersenyum kecut tatkala mengingat hal-hal pahit yang dulu kualami. Hanya karena mereka mengatakan aku anak haram, lantas mereka menghakimiku dengan begitu menyakitkan. Rasanya dulu, bahkan berpura-pura jika aku bukan seorang putra dari Juragan Besar pun aku mau, asal aku memiliki banyak kawan. Akan tetapi, pahit itu memang hidupku. Getir itulah jalanku. Aku harus bagaimana lagi selain menerima, kemudian menjalaninya dengan suka cita. Sebab sejatinya, setiap kehidupan pasti memiliki jalannya masing-masing. Baik yang hidup, atau pun yang mati. Oleh sebab itu yang bisa kulakukan adalah pura-pura bisu, dan tuli. Agar aku ndhak mendengar setiap cacian yang datang kepadaku, agar aku ndhak melihat pandangan mencemooh orang-orang kepadaku. Sebab sejatinya, melihat Biung bisa tersenyum adalah sumber kekuatan utamaku.     

Aku pun kembali tersenyum setelah menghela panas yang rasanya sangat sesak. Kemudian melangkah untuk kembali ke rumah. Semua orang memiliki jalannya, dan jika Hasnah benar memiliki hal semacam itu, baiklah. Aku akan belajar untuk menerimanya sebagai kawan istriku. Akan tetapi, aku pun ndhak akan tinggal diam. Dengan atau tanpa sepengetahuan Manis, aku harus mencari cara untuk benar-benar mengetahui siapa Hasnah sampai ke akar-akarnya. Sepertinya, aku butuh menghubungi Suwoto, sebab kurasa selain menghindari agar Manis ndhak curiga kepadaku. Agar dia juga ndhak tahu, kalau sampai kapan pun dia ndhak akan tahu kalau aku masih sangat ndhak suka dengan sahabatnya itu.     


Tip: You can use left, right, A and D keyboard keys to browse between chapters.