JURAGAN ARJUNA

BAB 151



BAB 151

0Aku langsung kaget, tatkala dia mengatakan hal itu. Apa yang dia ucapkan tadi? Aku masih terdiam, melihatnya masuk ke dalam rumahku. Senyuman itu masih tersungging, seolah-olah dia tengah memikirkan sesuatu. Merasa dilihat dengan cara aneh seperti itu aku pun memilih masuk ke dalam kamar, kemudian mendekat ke arah Manis yang kini sedang berganti pakaian.     
0

"Ndhuk...," ucapku. Kuputar tubuh Manis sampai dia memandang ke arahku, kemudian kududukkan dia di atas ranjang. "Perkara kawanmu itu, aku benar-benar merasa ada yang aneh darinya. Benar kamu berkawan dengannya cukup baik? Berapa lama kamu berkawan dengannya? Bagaimana bisa—"     

"Kangmas...," potongnya. Aku hanya bisa apa selain diam, tatkala dia sudah mengatakan hal itu. Sembari tersenyum dengan sangat ramah. "Hasnah itu adalah kawan yang sangat baik. Percayalah jika dia adalah perempuan baik. Dia baik, Kangmas," kataya seolah hendak membuatku percaya.     

Jujur, aku masih kurang yakin. Akan tetapi, dia terus bersikeras mengatakan hal itu. Aku ndhak ada bukti apa pun untuk mengatakan jika Hasnah itu ndhak baik diajaknya berkawan.     

"Dia pendiam, apakah itu sudah terjadi lama? Apa dia pernah ada suatu hal yang membuatnya menjadi pendiam?" kutanya, kali ini dengan nada sehalus mungkin agar istriku ini ndhak tersinggung.     

"Sebenarnya, ada alasan kenapa dia seperti itu, Kangmas. Kangmas tahu, di kelas, dulu, sebelum aku berkawan dengannya. Dia itu sering dijuluki anak aneh oleh kawan-kawannya. Bahkan, ndhak ada satu orang pun yang mau berkawan dengannya. Dia diasingkan, dan itu benar-benar sangat kasihan," mendengar hal itu, kurasa itu adalah perkara yang sangat wajar. Memangnya, siapa orang yang mau berkawan dengan manusia menyeramkan seperti Hasnah. Bahkan kurasa, hanya istriku inilah manusia aneh yang mau berkawan dengan perempuan mengerikan itu. "Tapi, pelan-pelan aku mencoba dekat dengannya, kemudian berkawan. Dan Kangmas tahu, apa alasan kenapa dia menjadi sangat tertutup seperti itu?"     

"Ya ndhak tahu, aku, kan bukan Romo, dan Biungnya," ketusku. Duduk sembari melepas jaketku. Bahkan aku sampai lupa, kalau aku belum sempat mandi sedari tadi. Saking herannya aku dengan perempuan bernama Hasnah.     

"Dia pernah diperkosa oleh pakliknya sendiri, Kangmas. Hal itu memberikan trauma yang teramat sangat. Dan menjadikan dia menjadi individu seperti itu. Takut dengan orang, takut dengan pemuda yang ada di kampus."     

Aku diam mendengar hal itu. Takut? Kok aku jadi ndhak yakin, toh, kalau dia takut dengan semua pemuda karena rasa traumanya itu. Kenapa dia ndhak ada takut-takutnya denganku? Malah-malah yang kurasa, dari pada dia seperti perempuan trauma, malah seperti perempuan yang sering menjajakan tubuhnya. Senyuman dan tatapan matanya, benar-benar ndhak bisa menipuku sama sekali.     

"Aku tahu kamu adalah perempuan baik, Ndhuk," putusku. "Tapi aku harap kamu juga harus nurut dengan suamimu ini. Kamu boleh berkawan dengan siapa pun, aku sama sekali ndhak melarang. Hanya saja, tolong, seendhaknya jangan terlalu percaya dengan orang dengan begitu saja. Dan selalu berlaku waspada. Kamu sudah melihat apa yang telah dialami oleh Rianti, toh? Aku ndhak mau, kamu terjerumus kepada hal yang merugikan hanya karena kamu ingin berkawan dengan semua orang,"     

Setelah mengatakan itu, aku pun mengambil posisi tidur. Merebahkan tubuhku kemudian memejamkan mata. Aku yakin, Manis masih memandangiku. Aku yakin Manis agaknya bersedih dengan ucapanku tadi. Tapi, aku ndhak peduli. Aku harus memaksanya membuka mata, bahkan jika dia terus berusaha memejamkannya dengan sangat erat.     

Kulihat, setelah berganti baju, Manis pun keluar. Kemudian aku benar-benar tidur setelah itu. Biarkan dia menemani kawannya tercinta itu, agar dia merasa puas bisa berkawan dengan perempuan aneh itu.     

Tapi, belum aku benar-benar terlelap. Aku mendengar suara tangisan seseorang. Suara yang sangat nyaring, dan itu terdengar sangat dekat di telingaku. Ini bukan suara Manis. Sebab Manis ndhak mungkin akan mengeluarkan tangisan seaneh ini. Pelan, kubuka mataku. Aku semakin kaget tatkala melihat di dalam kamarku ternyata ada Hasnah. Dia berdiri di depan cermin, sembari menyisir rambut hitamnya yang panjang. Pakaiannya masih tadi, yaitu rok putih berenda yang bahkan bagian bawahnya kotor karena tanah yang basah. Andai ini malam, pastilah aku melompat sekarang juga. Sebab dia lebih mirip dari pada lelembut, dari pada jenis manusia mana pun.     

Aku langsung duduk, dan rupanya gerakanku membuatnya kaget. Dia pun berhenti menangis, tapi malah-malah melihatku dengan tatapan mengerikannya itu. Gusti, bahkan dia lebih menyeramkan dari pada lelembut yang sering kulihat di Kemuning.     

"Kenapa kamu ada di kamarku? Di mana istriku?!" marahku.     

Ini benar-benar sudah sangat lancang, bagaimana bisa seorang tamu dengan lancang masuk ke dalam kamar tanpa permisi seperti ini? Terlebih, si empunya kamar sudah bersuami. Benar-benar perempuan ndhak tahu diri!     

"Abang Arjuna, kamu tampan," ucapnya lagi.     

Dia berjalan ke arahku, kemudian menunduk. Membuat rambutnya yang panjang itu menutupi wajah pucatnya. Kemudian, dia membuka kancing bajunya. Sembari berjalan lebih dekat, dan lebih dekat ke arahku.     

"Di mana istriku! Kamu jangan lancang! Masuk ke kamar orang tanpa permisi di saat ada suaminya di dalam kamar!" marahku dengan nada semakin keras.     

Kemudian, Hasnah langsung menututp wajahnya dengan tangan, dia kembali terisak. Manis yang setengah berlari masuk ke dalam kamar. Wajahnya kaget, sekaligus panik. Melihatku dan Hasnah, sedang di atas ranjang. Hasnah yang pakaian atasnya terbuka, sembari menangis. Sementara aku....     

Gusti, aku harap semoga istriku ndhak salah paham.     

"Ngapain ada perempuan ndhak waras ini ke kamar kita? Apa ndhak ada etika bagi seorang tamu masuk ke dalam kamar pengantin, hah!" marahku kepada Manis. Jujur, aku ndhak bermaksud untuk membentak istriku. Tapi kelakuan kawannya inilah yang membuatku naik pitam.     

"Hasnah, kenapa kamu ada di kamarku? Kamu tahu, kan, di kamarku ada suamiku yang sedang istirahat," Manis tampak bertanya kepada Hasnah, dengan nada yang lembut. Mungkin, takut jika kawannya ini ketakutan. Andai aku ndhak menghargai Manis, sudah kuseret perempuan ndhak tahu diri ini keluar dari rumahku.     

"Aku... aku tidak tahu kalau kamarmu di sini, Manis. Aku hanya izin berganti baju, tapi rupanya ada Bang Arjuna menegur, aku kaget," jawabnya.     

Apa dia ndhak punya mata untuk melihat waktu masuk tadi ada aku yang sebesar ini tidur di atas ranjang? Terlebih, apa maksudnya dia harus membuka kancing pakaiannya seperti itu? Aku benar-benar ndhak paham, dengan jalan pikiran dari perempuan ndhak waras ini.     

"Apa matamu minus sampai kamu tidak bisa melihat tubuhku yang sebesar ini tidur di atas ranjang?" tanyaku yang semakin emosi.     

Hasnah langsung memeluk Manis, seolah-olah dia teramat takut denganku. Takut? Bukankah dia sudah dua kali berkata kalau aku ini bagus (tampan) aku yakin, dia memiliki niat busuk. Ya, aku yakin akan hal itu.     

"Kangmas, bisa ndhak ndhak usah membentak-bentak Hasnah. Dia ketakutan," marah Manis kepadaku. Aku langsung diam, mengambil kausku kemudian keluar dari kamar. Lama-lama berada dekat dengan Hasnah, malah membuatku semakin emosi.     


Tip: You can use left, right, A and D keyboard keys to browse between chapters.