JURAGAN ARJUNA

BAB 153



BAB 153

0"Kangmas...," sapa Manis, saat kami berada di meja makan. Manis melayaniku menyajikan beberapa lauk kesukaanku yang sengaja ia masak sendiri. Memang seperti itu dia. Kalau aku marah, senjata andalannya adalah memasak semeja penuh makanan-makanan kesukaanku, agar aku mau dia ajak bicara. Sebab dia yakin, cintanya suami selain karena jatuh hati dengan paras istri, suami juga pasti akan luluh dengan masakan kesukaannya, yang dibuat langsung oleh istrinya sendiri. Dasar, pasti dia dapat senjata berbahaya itu dari Biung. Pantas saja aku ndhak bisa marah dengannya lama-lama. "Maaf jika kemarin aku marah-marah karena Hasnah. Sebenarnya aku ndhak bermaksud marah, Kangmas. Hanya saja, aku benar-benar lepas kontrol, tatkala Kangmas berkata yang endhak-endhak perkara Hasnah."     
0

"Sudah, ndhak usah bahas perempuan itu lagi, ya. Aku memaafkanmu tapi maaf, jangan bahas perempuan itu di depanku. Kamu boleh berkawan dengannya, tapi jangan ajak dia masuk ke dalam rumah ini. Apalagi ke kamar kita. Itu benar-benar sudah melewati batas privasiku. Asal kamu tahu, Manis. Dia... melepas kancing pakaiannya,"     

"Iya, Sayang, iya," Manis langsung merengkuh tubuhku dari belakang, yang saat ini aku sedang duduk. "Tapi, aku juga bersumpah denganmu. Jika kemarin bukan aku yang menyuruhnya masuk ke dalam kamar. Sebab, aku sibuk memasak di dapur, Kangmas. Dia hanya bilang kepadaku, kalau dia hendak mengeringkan pakaiannya. Itu saja."     

Satu lagi kejanggalan yang diperlihatkan oleh Hasnah dengan nyata. Tapi, aku ndhak mau mengatakan apa-apa terlebih dahulu. Aku pura-pura ndhak peduli, aku pura-pura diam, dan aku pura-pura mengabaikan. Toh jika aku bicara, nanti Manis akan membela kawan kentalnya itu.     

"Ayo makan, nanti aku hendak keluar."     

"Ke mana, Kangmas?" tanya Manis yang agaknya penasaran. Aku sengaja ndhak mengajaknya, sebab kalau aku mengajak dia nanti pasti dia akan tahu apa yang hendak aku lakukan.     

"Bertemu dengan Ucup," kujawab. Cukup singkat, yang mungkin akan tampak terdengar ketus di telinganya.     

"Ya sudah hati-hati. Aku juga nanti mau minta izin," dia bilang. Kutarik sebelah alisku. Minta izin, ke mana? "Aku hendak keluar beli buku dengan Hasnah,"     

Aku hanya mengangguk sekenaku, kemudian makan dalam diam. Setelah aku selesai makan, aku pun langsung pergi. Tanpa berpamitan dengan Manis. Yang kulihat saat itu adalah, Manis saat itu melihatku, sembari menempek di tiang pintu. Memandangi setiap gerakku, sampai aku masuk mobil dan melesat pergi.     

Mungkin, dia marah. Mungkin, dia kecewa dengan sikap dinginku. Atau malah, dia sakit hati. Entahlah, aku masih ndhak peduli. Aku hanya ingin dia menjadi Manis yang dulu, tatkala suami melarang pergi maka dia ndhak akan pernah beranjak dari tempatnya. Ketika suami mengatakan itu perkara yang buruk, maka dia akan mengikutinya tanpa banyak bicara. Toh, apa yang kuberitahu kepadanya bukanlah untuk membuatnya buruk. Semata-mata, hanya untuk kebaikannya. Tapi, hatinya saat ini telah buta.     

*****     

"Kenapa Juragan ndhak pulang saja? Malah mengajak bertemu di sini. Apa Juragan ndhak rindu Ndoro Putri Larasati?" tanya Suwoto.     

Aku masih diam, ndhak menjawab. Selain menyesap kopiku dengan nikmat. Aromanya yang pekat menusuk-nusuk hidung, pahitnya menyebar tatkala terkena indera perasa.     

Entah kenapa aku juga merasa belum ingin kembali, dan memilih menemui Suwoto di sini. Di perempatan Ngargoyoso, yang kebetulan ada warung kesukaanku. Ya, tempat di mana aku pertama kali bertemu dengan Suwoto. Jika kalian ingat saja, kalau endhak aku juga ndhak peduli.     

"Ada apa gerangan Juragan meminta bertemu? Bukankah Juragan waktu pindah ke Jakarta ndhak mau saya, Sobirin, dan Junet ikut menyertai?" tanya Suwoto lagi.     

"Ada hal, yang ndhak bisa kulakukan sendiri...," kataku pada akhirnya, Suwoto tampak mengulum senyum. Sementara aku hanya meliriknya. Aku yakin, jika dia berpikir kalau aku benar-benar ndhak bisa hidup tanpanya. Lihat saja wajahnya yang menyebalkan itu. "Di Universitas Manis punya seorang kawan namanya Hasnah. Dan perempuan itu benar-benar sangat mencurigakan. Kamu bisa menyelidikinya untukku?"     

Sejenak Suwoto agaknya diam. Aku tahu, mungkin dia sedikit ndhak paham, atau malah sedang mencerna permintaanku. Benarlah, Hasnah itu siapa? Pasti dia ndhak akan tahu kalau belum menyelidikinya.     

"Besok, saya akan melaporkan semuanya untuk Juragan."     

"Besok?" tanyaku. Sembari mengulang ucapan Suwoto. Cukup percaya diri benar rupanya abdiku yang satu ini. Bahkan dia menyanggupi, bisa menemukan semua yang kucari dalam waktu kurang dari 24 jam. Hebat.     

"Saya sepertinya ndhak asing dengan nama itu, Juragan. Jadi saya merasa ndhak cukup kesulitan untuk menemukannya dengan cepat," jawab Suwoto mantab.     

"Baguslah," putusku.     

Kami saling diam untuk beberapa saat. Suwoto tampak menikmati rokoknya, dan aku pun juga. Memang, saat-saat seperti ini rokok adalah pelarian yang ndhak bisa dihindari.     

"Juragan ada masalah?" tanya Suwoto tiba-tiba. Kukerutkan keningku sembari menatapnya, aku ndhak paham dengan apa yang telah dia katakan. Suwoto tampak tersenyum, kemudian dia memandangku lagi. Tentu, setelah membuang putung rokoknya itu. "Saya perhatikan Juragan Arjuna ini ndhak akan merokok kalau ndhak sedang ada masalah. Itu yang saya perhatikan selama ini."     

Aku tersenyum mendengar ucapannya, ternyata dia cukup menjadi pemerhati yang sangat baik, toh. Tak pikir dia tipe orang yang ndhak akan mengurusi perkara-perkara detil seperti ini.     

"Apakah masalah dengan Ndoro Manis sampai membuat Juragan agaknya kesal?" tanyanya lagi.     

"Kamu ini, kok ya jadi abdi dalem cerewet sekali, toh. Penasaran benar dengan keadaanku rupanya," ketusku.     

Suwoto malah tertawa, seolah apa yang aku ucapkan adalah hal yang sangat lucu. Meski aku sendiri ndhak tahu, di mana letak lucunya itu.     

"Maaf, Juragan. Kebiasaan ini, karena bagaimana, toh. Terlalu sering dengan Sobirin membuatku jadi seperti perempuan," dia bilang.     

Aku meghela napas panjang, sepertinya ini perkara cukup rumit. Bagaimana seorang Suwoto yang meski pendek tapi gagah perkasa itu sekarang memiliki mulut seperti perempuan. Dasar Paklik Sobirin, terlalu sering kumpul dengan Bulik Sari, dan Bulik Amah. Makanya jadi seperti itu, toh.     

"Makanya kamu ndhak usah dekat-dekat dengan abdi perempuan di rumah. Ndhak baik, mereka akan mempengaruhimu menjadi perempuan. Jangan-jangan, sebentar lagi, kamu akan diajari mereka memakai jarik dan kemben," celetukku. Suwoto pun kembali tersenyum.     

"Juragan ndhak mau mampir ke Kemuning?" tanyanya kemudian. Aku masih diam, antara iya atau endhak. Itu adalah perkara yang samar-samar sekarang.     

"Bagaimana dengan Bima?" tanyaku mengabaikan pertanyaan Suwoto sebelumnya.     

Kini, Suwoto ndhak lagi penuh senyum. Mimik wajahnya sudah menjadi sangat serius. Kemudian, dia menarik ke depan kursinya, sambil dia menata posisi duduknya.     

"Rencananya, setelah panen pertama Bima akan kembali ke Jakarta, Juragan," jawabnya. Pandangan Suwoto agaknya aneh, meski aku ndhak tahu. Aneh kenapa. Seolah-olah mengharap jika aku bertanya lebih jauh perkara Bima itu. Tapi, aku ndhak mau. Apa pun, itu bukanlah urusanku. Biarkan Gusti Pangeran yang mengatur semuanya yang terjadi. Tanpa ada campur tangan manusia di dunia ini.     


Tip: You can use left, right, A and D keyboard keys to browse between chapters.