JURAGAN ARJUNA

BAB 154



BAB 154

0Malam ini, aku sengaja duduk di teras, sembari menunggu pintu yang masih terkunci rapat-rapat. Rahangku mengeras, tatkala tahu jika kenyataannya, bahkan setelah dua jam aku kembali ke sini, Manis malah belum pulang sampai sekarang.     
0

Lagi, aku emosi, kenapa bisa Manisku jadi seperti ini? Manisku, untuk pertama kali, benar-benar sangat mengecewakanku. Padahal selama ini, dia ndhak pernah berperilaku yang benar-benar membuatku kesal.     

Dia dan Hasnah ke mana? Hasnah membawa Manisku ke mana? Kalau sampai aku tahu sesuatu yang buruk darinya. Maka, aku ndhak akan segan-segan untuk mematahkan tulangnya. Hasnah, jangan pernah bermain api denganku. Sebab kamu ndhak tahu, siapa lawanmu yang sebenarnya.     

"Hasnah ini sudah sangat larut. Aku harus pulang sebelum Kangmas pulang. Ini benar-benar sudah larut,"     

Kudengar sayup-sayup suara Manis dari arah jalan. Kamudian aku berdiri, dan benar saja, Manis sedang berdiri dengan gestur gusar. Sementara Hasnah menggenggam kedua tangan Manis dengan sangat erat. Kenapa, ya, aku merasa benar-benar terganggu dengan bahasa tubuh Hasnah? Kenapa dia seperti sosok pemuda yang seolah enggan membiarkan kekasihnya pergi?     

"Ini masih sore. Ehm, aku boleh mampir, ya?" kata Hasnah setengah memohon.     

Apa niat dia merengek minta mampir? Apa seharian dia belum puas bersama-sama dengan istriku? Apa seperti ini gaya persahabatan antar perempuan? Aku benar-benar ndhak tahu. Kenapa intimnya membuatku jijik melihatnya.     

"Tapi, Hasnah. Kangmas itu sedang tidak baik hatinya. Terlebih, aku pulang larut. Dengan kedatanganku yang sangat larut saja, pasti akan membuatnya murka. Apalagi, kamu mampir. Aku—"     

"Tidak, Abang Arjuna tidak akan marah sama kamu. Kita kan sahabat. Kecuali kalau aku laki-laki, kan?" paksa Hasnah.     

Aku langsung memasukkan kedua tanganku ke dalam saku celana, melihat keduanya melangkah menuju rumah. Manis agaknya kaget, melihatku dengan wajah yang mati-matian menahan amarah. Lihatlah, bagaimana tatapan Manis itu. Dia benar-benar seperti orang ketakutan. Sementara Hasnah, dia tampak begitu santai, tersenyum ke arahku seolah kemarin ndhak pernah ada kejadian apa-apa. Berengsek, memang!     

"K... Kangmas...," kata Manis gemetaran. Aku masih diam, andai ndhak ada Hasnah, pastilah sekarang akan ada adu mulut, atau apa pun yang bisa meluapkan perasaan jengkelku saat ini. "Aku... Hasnah... maaf.... aku... aku pulang telat, Kangmas," jelasnya. Suaranya serak, seperti ingin menangis.     

"Buka pintunya aku mau masuk," jawabku.     

Manis cepat-cepat membuka pintu rumah, kemudian aku melangkah masuk. Aku hendak masuk ke kamar, kemudian langkahku terhenti, melihat Hasnah yang ikut masuk ke dalam rumah juga.     

"Bukankah kamu punya rumah untukmu pulang? Kenapa kamu harus mampir ke sini?" tanyaku. Berusaha sekuat tenaga untuk tenang, dan pura-pura ndhak terpancing apa pun amarah yang berhubungan dengannya.     

Hasnah menunduk, sama seperti biasanya. Di depan Manis, dia seolah menjadi seorang perempuan lugu, dan polos. Menjadi seperti perempuan yang sangat kasian juga tertindas. Seperti perempuan yang ingin aku robek-robek mulutnya.     

"Ini sudah larut malam, Bang. Aku tidak berani pulang sendiri. Aku mau menginap di sini kalau boleh."     

"Tapi—" kata Manis terhenti. Sepertinya, Manis agaknya kaget dengan penuturan dari Hasnah. Yang awalnya, memaksa mampir, namun tiba-tiba dia meminta untuk menginap.     

Seketika sebuah ide jahat tercetak di otakku, aku langsung menarik Manis dalam dekapanku. Manis langsung kaget, matanya memandangku dengan tatapan kebingungannya itu. Aku pun tersenyum ke arah Hasnah dengan senyuman anehku.     

"Oh, silakan. Ada tiga kamar kosong di sini. Kamu bisa memakai kamar mana pun...," kataku. "Aku sedang kangen dengan istriku. Mau menghabiskan malam-malam panjang berdua. Jadi, kami pamit masuk ke kamar dulu."     

Aku langsung pergi, tapi aku bisa melihat dengan jelas lewat ekor mataku, wajah Hasnah memerah. Seperti seseorang menahan amarah. Tapi, mati-matian dia coba tahan.     

Aku, dan Manis langsung masuk ke dalam kamar. Kulepas pelukanku kemudian aku mengusap wajahku dengan kasar.     

"Jenis persahabatan macam apa yang kulihat tadi? Bahkan, untuk seorang istri seorang Juragan kamu keluar dari siang sampai larut malam, dan bahkan kamu ndhak ada saat suamimu sudah pulang."     

"Kangmas, aku—"     

"Jenis persahabatan macam apa yang kulihat tadi, tatkala aku sudah bilang ndhak suka dengan seseorang tapi kamu masih bersikeras berinteraksi dengannya?"     

"Aku—"     

"Manis, perlu kamu ingat. Aku adalah seorang Juragan, kamu adalah istri dari seorang Juragan Besar. Bagaimana bisa, kamu melewati semua batasanmu sebagai seorang Ndoro kemudian bertingkah seperti perempuan-perempuan kota yang liar. Ingat, di mana batasanmu? Atau kamu sudah melupakan semuanya karena kamu telah lama tinggal di Jakarta?"     

Manis langsung berlutut di kakiku, dia langsung terisak. Dan entah kenapa, tangisannya kali ini benar-benar ndhak sampai ke hatiku sama sekali. Rasa kecewa, sakit hati, dan juga amarah semua bercampur aduk menjadi gelembung-gelembung yang siap meledakkan isi kepalaku sekarang juga.     

"Tadi aku mencari buku dengan Hasnah, Kangmas. Untuk kemudian kami makan siang di luar. Terus ketika kami hendak pulang, Hasnah bertemu dengan kawan lamanya. Kemudian dia mengajakku untuk bercakap-cakap dengan kawan-kawannya itu. kemudian kami ndhak sadar kalau sudah malam. Lalu kami pulang."     

"Kamu ketemu di mana dengan mereka?"     

"Aku... aku..."     

"Ketemu di mana!" bentakku. Manis kembali terdiam, dia menangis semakin menjadi membuatku semakin tambah emosi. Kucium dengan jelas, tubuh istriku penuh dengan aroma minuman keras. Meski aku tahu istriku ndhak meminumnya, sebab aku ndhak mencium aroma busuk itu dari mulutnya, tapi jelas kalau lingkungan yang ia tempati tadi bukanlah lingkungan yang benar. Dan aku ndhak sudi, jika istriku sampai rusak seperti ini hanya karena seorang Hasnah.     

"Kemasi pakaianmu, besok kita kembali ke Kemuning. Dan kamu ndhak perlu lagi untuk melanjutkan kuliahmu yang ndhak berguna itu."     

Aku langsung pergi ke arah ranjang kemudian mengambil posisi tidur yang menghadap tembok. Aku bisa mendengar meski sayup-sayup, Manis terisak. Dia ndhak mengatakan apa-apa lagi selain menangis. Dia benar-benar menangis.     

Bahkan sampai beberapa jam aku ndhak bisa tidur pun, aku sama sekali ndhak merasakan kalau Manis naik ke atas ranjang, dan pintu kamar pun ndhak terbuka sama sekali. Mungkin, dia ketiduran di tempatnya menangis tadi. Atau malah, dia sampai saat ini menangis sembari merenungi kesalahannya. Biarlah, biarlah... aku ndhak peduli. Aku ndhak mau menjadi suami ringan tangan, tapi aku juga bukan tipe suami yang mudah akan menerima suatu hal yang salah. Aku gampang tersulut emosi, terlebih ketika melihat sesuatu yang berjalan ndhak sesuai dengan jalurnya. Terlebih itu istriku, istri yang selama ini aku tahu dia seperti apa.     

Hancur, iya. Kecewa, pasti. Dan bahkan, rasa percayaku kepadanya menguap entah ke mana. Aku ndhak pernah membayangkan jika aku bisa di titik seperti ini kepada Manis. Dan hal itu, hanya karena sebuah kawan kentalnya bernama Hasnah.     

Telingaku tiba-tiba menangkapm suara lemari yang dibuka pelan. Kemudian, aku mendengar resleting tas yang juga dibuka. Setelah tahu Manis sedang berbuat apa, aku pun langsung memejamkan mata. Rupanya benar, kota Jakarta ndhak sepenuhnya pantas bagi orang-orang kampung seperti kami.     


Tip: You can use left, right, A and D keyboard keys to browse between chapters.