JURAGAN ARJUNA

BAB 155



BAB 155

0Paginya, aku pun membuka mata. Dan di ranjang Manis ndhak ada di sana. Saat mataku kutebarkan ke seluruh ruangan, aku menangkap sosok yang begitu aku cintai sedang meringkuk tepat di bawah ranjang kami. Dia meringkuk dengan begitu kecil, dan tidur beralaskan tikar. Hatiku ngilu tatkala melihat pemandangan ini, hatiku sakit tatkala aku menyaksikan semua ini.     
0

Pelan, aku turun dari ranjang. Kemudian, kuangkat tubuhnya. Aku langsung mengerutkan kening, tatkala kulitku menyentuh kulitnya. Suhu tubuhnya benar-benar sangat tinggi. Dia sedang demam parah sekarang. Apa mungkin karena masuk angin? Atau karena semalaman menangis karenaku? Gusti, maafkan aku.     

"Kangmas...," lirih Manis. Matanya masih terpejam dengan sangat kuat tapi dia terus-terusan memanggil namaku. Apa dia sedang ngelindur, sekarang? Apa yang harus aku lakukan. "Kangmas... maafkan aku," kata-kata itu yang terus diulang-ulang Manis. Sementara suhu tubuhnya semakin panas.     

Aku bergegas keluar, hendak mengambil handuk kecil, dan air untuk mengompresnya. Tapi, di depan kamar mandi sudah ada Hasnah, yang aku ndhak tahu dan mau tahu untuk apa dia berdiri di sana tanpa bergerak sedikitpun, seolah-olah dia adalah penunggu dari kamar mandi rumahku.     

"Mau apa? Manis kenapa?" tanyanya. Seolah dia tengah menyelidiku, atau lebih tepatnya seolah-olah dia sedang menyelorohku, dan menuduh jika aku telah menyakiti Manis.     

Aku tersenyum, setelah mendengar ucapan ketusnya itu. Kemudian kulipat kedua tanganku di dada.     

"Kenapa? Apa kamu tidak pernah melihat suami, dan istri setelah menghabiskan malam bersama, kemudian hendak membersihkan diri? Atau jangan-jangan, kamu cukup iri dengan percintaan-percintaan yang semalam kami alami."     

"Manis semalam menangis. Kamu yang membuatnya menangis, kan?"     

"Menangis karena kenikmatan, apakah itu salah?"     

Setelah mengatakan itu, aku langsung masuk ke dalam kamar mandi. Mengambil handuk, dan ember. Lagi, Hasnah menahanku untuk pergi, dengan tatapan menyelidik yang begitu menjijikkan itu.     

"Kenapa kamu bawa ember? Apa dia sakit?"     

"Aku ingin memandikan tubuh Manis dengan kedua tanganku sendiri. Jadi, berhentilah bersikap menjijikkan, dan pulang. Sebab ini bukan rumahmu,"     

Setelah mengatakan itu, aku lantas pergi. Cepat-cepat mengunci pintuku dari dalam, menutup rapat jendela, apa pun celah yang mungkin bisa dimasuki oleh lelembut bernama Hasnah.     

Aku langsung duduk di ranjang, mengompres kening istriku, sembari mengusap tubuhnya agar suhu tubuhnya turun.     

Pelan, Manis pun membuka mata. Sayup, dan lemah. Dia memandangku. Matanya kemudian tampak nanar, tangannya cepat-cepat menggenggam kedua tanganku.     

"Kangmas...," lirihnya, hatiku benar-benar sakit mendengar itu semua. "Maafkan aku, Kangmas. Maafkan aku," Manis langsung menangis tersedu, kemudian menciumi tanganku dengan tenaga yang ia punya.     

Aku langsung mengelus rambutnya, kupandang wajahnya yang pucat dengan perasaan yang benar-benar hancur. Seharusnya, aku ndhak semarah itu kepadanya semalam. Seharusnya, aku ndhak perlu sekasar itu kepadanya semalam.     

"Seharusnya aku yang minta maaf kepadamu, Sayang. Karena aku kamu sekarang jadi seperti ini. Aku antar kamu ke rumah sakit, ya," bujukku kepadanya.     

Manis menggeleng dengan sangat lemah, kemudian dia mencoba tersenyum. Bibir pucatnya tampak membiru, seolah ndhak ada setetes darah pun yang mengalir di dalam tubuhnya.     

"Aku ndhak mau ke rumah sakit, Kangmas...," katanya lagi. Air matanya kembali menetes begitu saja dengan sangat lancang. "Aku mau pulang ke Kemuning saja," lanjutnya. "Aku mau... aku mau ikut Kangmas. Aku ndhak mau membuat Kangmas kecewa lagi,"     

Aku langsung menangis, tatkala mendangar Manis mengatakan hal itu. Gusti, tega benar aku sampai membuat istriku menjadi seperti ini.     

���Maafkan aku, Ndhuk. Aku sangat kasar denganmu. Maafkan aku,"     

Kami akhirnya saling menangis. Dan saat ini, bukan hanya demam Manis yang membuatku sedih. Akan tetapi gejolak di hatiku yang menjadi-jadi. Seharusnya, aku ndhak melakukan seperti ini. Seharusnya aku ndhak terlalu keras kepadanya. Gusti, suami macam apa, toh, aku ini. Yang sangat tega dengan istrinya sendiri. Gusti, suami macam apa, toh, aku ini, yang ndhak bisa menyelesaikan masalah dengan baik-baik, malah-malah berlaku kasar sampai membuat dia jatuh sakit seperti ini.     

"Aku ndhak akan berkawan lagi dengan Hasnah, aku janji, Kangmas...," katanya lagi, "Kalau Kangmas menyuruhku untuk berhenti kuliah, aku akan berhenti kuliah. Kita bisa kembali ke Kemuning sekarang,"     

"Endhak...," kataku kepadanya. Matanya memandangku yang agaknya penuh tanya, dia sepertinya bingung. "Sungguh, aku ndhak benar-benar berniat membuatmu berhenti dari kuliah. Sebab bisa melihatmu mengenyam pendidikan tinggi, adalah salah satu dari mimpiku. Lebih-lebih membuatmu menjadi seorang perempuan yang sukses. Aku hanya ingin melihat kamu bahagia," jelasku panjang lebar.     

Dadaku rasanya nyeri, kuhirup napasku dalam-dalam. Ternyata aku telah salah kaprah, caraku menjadi nahkoda bahtera rumah tangga telah salah kaprah. Aku, harus memulai semuanya dari awal. Aku harus bisa membuat semuanya berubah. Jika saat aku marah lagi nanti, aku ndhak akan menyakiti istriku. Ya, aku harus melakukan itu.     

"Aku cinta sama kamu, Kangmas. Aku ndhak mau, hanya karena Hasnah membuat pernikahan kita berantakan. Terlebih, aku telah banyak membangkang suamiku sendiri."     

Kupaksa seulas senyum kepadanya, kemudian aku mengangguk sekenanya. Kemudian, kusuruh dia untuk minum teh hangat, agar mulutnya ndhak pahit. Aku ndhak bisa memasak, untuk keluar aku harus meninggalkan Manis sendirian. Terlebih, jika nanti Hasnah masih di sini, itu akan sangat berbahaya. Entah kenapa aku ndhak percaya sama dia, entah kenapa aku merasa kalu Hasnah dekat dengan Manis adalah perkara yang sangat berbahaya.     

"Minum teh dulu, ya. Setelah ini aku akan menelepon Ucup untuk membawakan kita sarapan beserta obat untukmu," kubilang. Manis pun akhirnya mengangguk.     

Iya, di kota telepon sudah ada. Dan sudah menjadi alat komunikasi yang sangat umum. Berbeda dengan di kampung, terutama Kemuning. Mungkin, telepon akan menjadi sebuah benda yang amat menakjubkan.     

Manis kemudian mengangguk, aku segera menuju telepon yang ada di sisi kiri kamar kami. Setelah aku menelepon Ucup, aku kembali kepada Manis.     

"Bagaimana, sudah mendingan?" tanyaku, padahal aku tahu jelas, jika suhu badannya sangat tinggi. Belum tampak ada tanda-tanda jika kondisinya akan membaik sekarang. "Ndhuk, aku cari tanaman di kebun sebentar ya. Barangkali ada yang bisa digunakan untuk meredakan demam,"     

"Iya, Kangmas."     

Aku langsung bergegas pergi ke kebun samping rumah, kemudian mencari tanaman yang aku ndhak tahu namanya. Tapi yang kuingat, kata Biung tanaman itu bisa digunakan untuk mengompres orang demam, dan bisa menurunkan demam. Setelah kuambil daunnya beberapa lembar, aku pun kembali. Kemudian mengompres beberapa bagian tubuh Manis dengan daun-daunan tersebut. Ndhak berapa lama, Manis pun mulai terlelap. Dengan napas yang lebih beraturan dari pada sebelumnya. Kugengam tangannya yang sangat panas, kemudian kuletakkan pada pipiku. Kupejamkan mataku erat-erat sembari terus kukatakan maaf dalam hati kepadanya.     

Romo Adrian, maafkanlah aku. Jika sosokmu dulu adalah seorang suami welas-asih yang bahkan ndhak mampu berujar kasar kepada istrimu. Tapi, Romo... kenapa aku bisa seperti ini? Kenapa aku bisa emosian seperti setan begini, Romo....     


Tip: You can use left, right, A and D keyboard keys to browse between chapters.