JURAGAN ARJUNA

BAB 156



BAB 156

0Ndhak berapa lama, pintu rumahku ditekuk. Aku membuka kamar sembari menebarkan pandanganku ke arah sekitar. Rumahku sepi, ndhak ada penampakan Hasnah di mana pun. Apakah dia benar-benar telah pergi? Jika iya, syukurlah. Bahkan kalau bisa dia ndhak usah berada di sekitar Manis selamanya.     
0

"Juragan?" sapa Ucup, tatkala aku membuka pintu. Dia tampak mengerutkan alis, kemudian menebar pandangannya ke seluruh ruangan. "Ada apa, Juragan? Sepertinya Juragan tidak nyaman?"     

Aku mempersilakan Ucup untuk masuk, kemudian aku mengambil makanan yang ia bawa. Menyilakan dia untuk duduk barang sebentar di ruang tamu, dan aku masuk ke dalam kamar.     

Lama, kutinggal Ucup sendirian di ruang tamu. Sementara aku kembali ke kamar. Tapi, istriku masih tidur dengan sangat tenang. Kuperiksa suhu tubuhnya, membuat hatiku agaknya lega. Kini, demam itu berangsur-angur menurun. Membuatku meletakkan kembali makanan yang tadi dibawa oleh Ucup, kemudian aku keluar untuk sekadar menemani Ucup. Tentu, setelah kupastikan jika ndhak ada celah barangkali Hasnah masih mengintai rumahku.     

"Terimakasih, kamu sudah mengantarkan makanan jauh-jauh ke sini. Padahal seharusnya, kamu sedang ada kegiatan kampus, kan?" kataku. Duduk di samping Ucup, sambil tersenyum sekadarnya ke arahnya.     

"Tidak juga, Juragan. Sedang malas kuliah. Lagi pula, lebih penting ke sini, kok," jawabnya. Tersenyum begitu lebar, sembari nemepuk-nepuk bahuku. Kulirik tepukannya, membuat dia langsung menarik tangannya. Dia tersenyum sangat sungkan, seolah dia merasa bersalah karenanya. "Tadi aku lihat, ada perempuan berdiri di depan pagar rumah Juragan. Apakah itu yang namanya Hasnah?"     

Kukerutkan keningku, tadi? Jadi, setelah kuusir perempuan ndhak tahu diri itu masih berdiri di depan rumah?     

"Lantas di mana dia sekarang setelah itu?" tanyaku yang agaknya penasaran.     

Ucup kemudian menunjuk ke arah depan, sembari menarik sebelah alisnya. "Dia masih di depan. Saat aku masuk ke sini, dia menundukkan wajahnya dalam-dalam. Juragan apa tidak merasa risih dengan perempuan seperti itu?" tanyanya kemudian. "Apakah selama ini, Hasnah mengejar-ngejar Juragan? Apa Juragan tidak takut dengan penguntit seperti dia?"     

Aku tersenyum kecut tatkala Ucup mengatakan hal itu. Mengejar-ngejarku? Faktanya, hal yang membuatku merasa benar-benar jijik kepadanya adalah, karena dia bersikap seolah-olah Manis adalah miliknya. Dan aku sangat membenci hal itu! Apa aku salah dengan perasaanku ini, Gusti? Sejatinya, aku tahu jika dia adalah perempuan. Tapi kenapa, perasaan terbakarku karenanya seolah-olah seperti perasaan cemburu tatkala melihat Manis didekati oleh pemuda lain. Bodoh, memang! Dan yang ndhak habis pikir kenapa aku bisa berpikiran seperti itu!     

"Aku jijik dengannya, tapi yang lebih membuatku jijik adalah, pikiran dan hatiku sendiri," kataku pada akhirnya.     

"Kenapa bisa seperti itu, Juragan?" tanya Ucup yang agaknya lebih bingung dari pada tadi.     

Kuhela napas panjangku, kemudian aku rebahkan tubuhku di sofa. Aku melihat ke arah Ucup, kemudian tersenyum samar.     

"Kemarin, Manis minta izin padaku untuk pergi beli buku dengan Hasnah. Pagi kira-kira jam 09.00 dia berangkat. Dan aku ke Ngargoyoso sebentar. Dan kamu tahu, dari aku berangkat sampai larut pulang. Manis belum juga pulang. Aku menungguinya di depan pintu yang ia kunci bahkan sampai dua jam."     

"Terus?" tanyanya penasaran.     

"Kemudian dia pulang dengan Hasnah, dan kamu tahu apa ucapan Hasnah?" Ucup menggeleng. "Hasnah ndhak mau ditinggal pulang oleh Manis. Dan dia meminta izin untuk menginap di rumah semalam."     

"Wah!" seru Ucup, sembari menepuk tangannya, yang berhasil membuatku kaget. "Kenapa dia jadi aneh? Bukankah Juragan berpikir kalau keduanya itu seperti pasangan kekasih?" tanyanya.     

Aku ndhak mau mengucapkan itu, tapi Ucup malah mengatakannya dengan sangat lantang. Kugenggam erat tanganku yang mendadak bergetar, kemudian emosiku kembali membuncah. Aku ndhak mau berpikir sampai sejauh itu, sungguh! Akan tetapim aku merasa ndhak bisa memalingkan pikiranku barang sejenak untuk memikirkan bagian rasiional lain selain jika kemungkinan Hasnah memiliki penyakit seksual menyimpang.     

"Apa iya?" pertanyaanku kepada diriku sendiri yang ndhak sengaja lolos dari mulutku.     

Ucup kembali mengerutkan keningnya, kemudian pandangannya memandangku dengan sangat intens.     

"Iya, apa, Juragan?" tanyanya. Sepertinya, dia sangat penasaran dengan masalah ini. Ataukah, jika benar Hasnah memiliki penyakit seksual menyimpang, dan Ucup akan menjadi sangat penasaran karenanya.     

"Apa benar jika Hasnah punya penyakit penyimpangan seksual?" kataku.     

Ucup kembali diam, kini dia menarik sebelah alisnya. "Jika itu memang benar, maka akan sangat disayangkan, Juragan," katanya. "Juragan juga tahu lah, perempuan itu lumayan cantik. Jika dia bersikap normal pasti akan banyak pemuda yang naksir sama dia. sayangnya, dia seperti hantu. Gaya, serta dandannya yang aneh itu."     

Benar, apa kata Ucup. Sebenarnya, jika dilihat dari mata rasional. Hasnah bukanlah seorang perempuan yang benar-benar buruk. Jika dia mau merubah sedikit dandannya biar ndhak seperti lelembut, pastilah dia akan terlihat cantik. Wajahnya cantik, tubuhnya pun proposional sebagai seorang perempuan, siapa pemuda yang ndhak akan jatuh hati kepadanya.     

Tapi, apa benar jika dia memiliki penyakit seksual menyimpang? Ataukah....     

Gusti, apa yang sebenarnya aku pikirkan? Apa yang sebenarnya dalam benakku? Bagaimana bisa aku berpikiran jauh seperti ini, Gusti, bagaimana?!     

"Juragan...," aku mendongak, tatkala Suwoto masuk ke dalam rumah yang kebetulan tadi pintunya masih terbuka. Mimik wajahnya serius, kemudian dia duduk dengan patuh di bawahku. "Saya sudah—"     

"Duduk di sampingku. Aku bukan raja yang kamu sembah," ucapku. Ya, aku ndhak suka jika ada orang duduk di bawahku seperti ini. Sebab kurasa, kita adalah sama manusia, dan ndhak patut rasanya manusia menyembah manusia yang lainnya.     

Suwoto langsung mengangguk, kemudian dengan sopan dia duduk di seberangku duduk. Matanya langsung terfokus tajam, seolah-olah ndhak sabar untuk melaporkan apa yang telah ia ketahui.     

"Satu hari, kamu sudah menemukan apa?" tanyaku padanya. Suwoto mengangguk kuat-kuat.     

"Juragan, saya sudah mengetahui semuanya. Perihal Hasnah, perempuan yang tinggal ndhak jauh dari tempat Juragan tinggal itu...," katanya membuka suara. "Hasnah adalah—"     

"Kangmas!"     

Aku, Ucup, dan Suwoto langsung kaget, mendengar teriakan Manis yang terdengar begitu nyaring.     

Aku langsung bergegas menuju kamar, mencoba membuka pintu tapi ternyata pintunya dikunci dari dalam. Kurang ajar, siapa gerangan yang melakukan semua ini!     

"Kangmas!" teriak Manis untuk kedua kalinya.     

"Manis! Ndhuk! Kamu ndhak apa-apa, toh!" tanyaku.     

Tapi, ndhak ada balasan lagi. Selain seperti suara sebuah perlawanan dan benda-benda yang jatuh dengan sangat nyaring.     

Aku mencoba mendobrak pintu dengan tubuhku, dan dibantu oleh Suwoto. Untuk kemudian aku terdiam, tatkala mendengar suara kaca pecah berkeping-keping. Ndhak lama, pintu itu pun terbuka. Aku mencari ke sekitar ndhak ada siapa pun. Bahkan, Manis pun juga ndhak ada di sana. Gusti, apa lagi ini? Di mana gerangan Manisku, Gusti. Di mana?     

"Juragan ini pasti ulah Hasnah!" kata Suwoto yang tampak sangat panik. "Sebab perempuan itu, perempuan itu adalah salah satu dari kelompok orang-orang jahat yang selalu menjadikan dirinya mangsa untuk para korban-korbannya!"     


Tip: You can use left, right, A and D keyboard keys to browse between chapters.