JURAGAN ARJUNA

BAB 158



BAB 158

0"Kenapa Suwoto agaknya lama sekali. Apakah benar jika dia akan baik-baik saja?" tanyaku kepada Ucup. Ucup yang saat itu, wajahnya sudah pucat pasi karena takut pun hanya menggeleng lemas. Tubuhnya gemetaran hebat, dan keringat dingin keluar dari celah-celah pori-porinya. Jujur, ekspresi Ucup saat ini benar-benar penghibur di saat hatiku ingin meledak karena memikirkan Manis.     
0

"Juragan mau ke mana?!" tanya Ucup, setengah histeris. Tatkala dia melihat aku berdiri, dan hendak masuk ke dalam gedung kosong itu. Tangan dingin dan gemetarnya menggenggam lenganku semampunya, dan aku yakin, sebentar lagi, pemuda satu ini pasti akan kencing di celana.     

"Kamu kembalilah ke mobil. Tunggu dua puluh menit. Kalau aku dan Suwoto tidak keluar pada waktu itu. Segera lapor polisi."     

"Tapi, Juragan. Paman Suwoto sudah memberitahumu untuk tetap di sini. Kamu adalah Juragan, jadi biarkan Paman Suwoto yang mengurus ini semua, Juragan. Di sini saja, sama aku," pintanya. Matanya sudah nanar, dan membuatku mau ndhak mau berhenti. Sembari menempeleng kepalanya.     

"Kamu ini laki-laki. Kenapa sikapmu sebanci ini," kubilang. Ucup menundukkan wajahnya dalam-dalam. "Aku ini laki-laki. Dan aku tidak bisa membiarkan Suwoto di dalam sana sendirian, berjuang untukku. Aku harus membantunya. Jika kamu takut, kembalilah ke mobil. Tunggu di sana. Dua puluh menit, waktu yang ku janjikan padamu. Aku akan kembali."     

"Tapi—"     

"Aku ini bukan Juragan sembarangan, asal kamu tahu. Aku telah dibekali ilmu bela diri oleh orangtuaku. Jadi, kamu tenang saja. Aku tidak akan mati," kataku meyakinkannya. Dia hendak menahanku lagi, tapi kuberi isyarat padanya untuk segera menuju ke mobil.     

Ucup lantas berlari tunggang langgang, masuk ke dalam mobil dengan sangat panik. Aku tersenyum melihat itu, kemudian aku berjalan masuk ke dalam gedung kosong sembari meregangkan otot-otot tubuhku.     

Kalian... pasti mati.     

Ada sekitar lima orang yang sedang ribut dengan Suwoto, sementara tiga lainnya sudah terkapar ndhak berdaya di lantai. Kulihat sekitar ndhak kutemui Manis, atau pun Hasnah. Bisa jadi kalau Manis di bawa di atas, mengingat di sisi kanan Suwoto ada tangga yang menuju ke atas.     

"Juragan kenapa ke sini?!" tanya Suwoto. Keringatnya tampak terkucur. Tapi, napasnya masih sangat normal. Suwoto, entah manusia satu itu terbuat dari apa. Bagaimana bisa, dia yang satu orang melawan delapan orang sekaligus tapi dia merasa santai-santai saja. Sementara para lawannya tampak kuwalahan, keringat sudah membanjiri tubuh mereka, dengan napas terengah. Dan ndhak lupa, memar serta darah menjadi hiasan indah pada tubuh mereka.     

Buk!     

Kupukul pelipis salah satu pemuda yang ada di sana, pemuda itu langsung terkapar ndhak berdaya. Kemudian, aku tersenyum kepada Suwoto sembari memeriksa tanganku. Barangkali ada yang kotor, sekalian sedikit pamer dengan Suwoto kalau aku ini juga pandai bela diri. Bukan dia saja.     

"Lama ndhak mukul orang," kubilang.     

"Manis tampaknya ada di atas. Juragan cepatlah ke atas sebelum Hasnah melakukan hal-hal buruk,"     

Aku mengangguk, kemudian berjalan cepat sembari menaiki anak-anak tangga. Aku sampai bingung. Apa benar orang-orang jahat ini dengan suka rela melakukan pekerjaan kotor ini untuk Hasnah? Ini adalah orang banyak, dan ndhak diberi upah. Mana bisa?     

"Kenapa Juragan memikirkan hal-hal yang endhak-endhak, toh! Hasnah memberi upah tubuhnya dengan cuma-cuma kepada mereka, Juragan!" teriak Suwoto. Aku bingung dengan dia. Kok dia tahu apa yang sedang aku pikirkan. "Aku tahu, Juragan. Sudahlah ndhak usah bertanya-tanya!" serunya lagi.     

Aku langsung melangkah pergi, sembari masih berpikir. Kemudian aku ingat, kejadian tatkala aku ditusuk oleh Minto dulu. Aku membatin namanya, dan Suwoto langsung datang. Jangan-jangan selama ini, Suwoto bisa membaca pikiranku, dan dia pura-pura ndhak tahu apa-apa? Dasar, sontoloyo!     

Aku memekik, tatkala aku sudah berada di atas. Di sana, suasananya benar-benar jauh berbeda dengan yang di bawah. Di sini, lebih seperti sebuah kamar. Kamar yang tampak sangat mengerikan. Ndhak begitu banyak cahaya, dari sinar matahari pun dari lampu.     

"Kangmas!"     

Aku nyaris melompat, saat di sisi kiri terdengar suara jeritan Manis. Dan betapa kaget aku, di sana... tepat di atas sebuah ranjang. Manis diikat dari kedua kaki, dan tangannya. Dengan tubuh yang sudah telanjang.     

Di atasnya sudah ada Hasnah, yang mengangkangi Manis dengan seringaian menjijikkannya itu.     

Aku hendak melangkah, tapi tiba-tiba kedua tanganku dicekal oleh dua orang pemuda suruhan dari Hasnah.     

Kurang ajar!     

"Ini akan menjadi hal yang sangat seru. Ketika ada perempua yang hancur, tepat di depan suaminya sendiri," kata Hasnah, masih dengan senyuman menjijikkannya itu.     

"Berengsek!" umpatku. Hasnah masih tersenyum. "Apa kamu tidak pernah merasakan belaian laki-laki sampai kamu mencari pelampiasan pada perempuan? Dasar, kasihan," sindirku lagi.     

Mimik wajahnya menengang, aku yakin, dia telah emosi karena ucapanku. Aku tersenyum ke arahnya, senyum meremehkan sembari memandangi tubuhnya.     

"Oh, aku lupa... kamu, kan, dipuaskan oleh pemuda-pemuda busuk ini. Kasihan sekali, lubangmu itu benar-benar seperti lubang sampah yang tidak punya harga dirinya sama sekali."     

"Kurang ajar, kamu!" teriak Hasnah kesetanan.     

Aku langsung menarik dua pemuda yang sedari tadi mencekal lenganku, sampai keduanya saling berbenturan tepat di depanku. Kutendang keduanya, tersungkur begitu saja di lantai. Jujur, memang Romo Nathan mengajariku ilmu bela diri. Tapi aku juga ndhak tahu, kenapa sampai kekuatanku menjadi berlipat-lipat seperti ini. Apa ini karena Manis? Kekuatan cinta yang membuatku begitu takut dia terluka. Atau karena puasa mutih yang selalu Suwoto ajarkan kepadaku.     

Aku langsung melangkahkan kakiku lebar-lebar, ke arah Hasnah yang hendak mencumbui Manis. Kemudian, kucengkeram belakang kepalanya. Kutarik rambutnya dan kuseret dia sampai jatuh ke lantai.     

Hasnah menjerit kesakitan. Tangannya sekuat tenaga mencengkeram tanganku yang masih memegangi rambutnya. Seolah, ingin melepaskan rambutnya agar ndhak kutarik lagi dengan tanpa manusiawi.     

Dia langsung terjatuh begitu saja ke lantai, tubuh yang nyaris telanjang itu terlempar begitu saja ke lantai dengan mudahnya.     

"Sakit?" kutanya, tatkala dia meringis kesakitan sambil memegangi kepalanya kuat-kuat.     

Aku langsung menarik Manis, memeluknya sembari menyelimuti tubuhnya yang telanjang. Manis langsung memelukku dengan erat, tangisannya terpecah dengan tubuhnya yang bergetar hebat. Badannya ndhak demam lagi, tapi dia masih terlihat sangat pucat.     

"Kamu ndhak diapa-apakan dia, toh?" tanyaku. Manis menggeleng.     

"Kangmas kamu benar...," katanya, dengan suara parau yang bergetar. "Hasnah bukan orang baik. Aku keliru menilainya, Kangmas."     

Kulihat Suwoto langsung lari ke atas, kemudian memukuli dua pemuda yang hendak menyerangku. Kemudian, aku menuntun Manis untuk bersama dengan Suwoto.     

"Pakailah pakaianmu, setelah ini kamu pergi dengan Suwoto ke mobil. Aku masih punya banyak pertanyaan untuk perempuan sampah ini," perintahku kepada Manis.     

Dia pun mengangguk, berjalan gontai. Kemudian mencari tempat teraman untuknya mengenakan pakaiannya. Setelah semuanya lengkap, dia berjalan di belakang Suwoto. Sambil sesekali dia melihat ke arahku. Mungkin dia khawatir, jika aku akan kenapa-napa. Aku menyunggingkan seulas senyum kepadanya. Memberinya jawaban, jika aku akan baik-baik saja.     


Tip: You can use left, right, A and D keyboard keys to browse between chapters.