JURAGAN ARJUNA

BAB 159



BAB 159

0Kuhelakan napasku, melihat Hasnah yang memandangku dengan tatapan marahnya. Aku kemudian berjongkok, tepat di depannya sembari meneliti bagaimana wajahnya yang sebenarnya.     
0

"Kamu lumayan cantik. Cukup pantas untuk menjadi simpanan dari seorang Juragan di Kemuning," sindirku kepadanya.     

Merasa terhina, Hasnah langsung meludahi wajahku. Matanya nanar, tersirat betapa dia membenciku bahkan sampai ingin membunuhku saat ini juga kalau bisa.     

"Kenapa? Mau membunuhku? Ayo... lakukan? Atau malah mau kubantu untuk menguliti tubuh telanjangmu itu?"     

Plak!!     

Dia menamparku, tapi aku benar-benar ndhak merasa sakit sama sekali. Sebab hatiku, jauh lebih sakit dari apa pun di dunia ini. Ketika istriku hendak dilecehkan oleh seorang perempuan terlebih itu tepat di depan mata dan kepalaku sendiri.     

"Aku tahu, bagaimana kelam kisahmu di masa lalu...," kataku lagi. "Tapi, tidak seharusnya kisah kelammu itu kamu jadikan bahan untuk menyakiti orang-orang yang tidak berdosa di luaran sana. Terlebih, orang itu adalah istriku. Kamu salah, Hasnah. Kamu telah memilih musuh yang salah."     

"Aku benci sama kamu!" teriaknya histeris. Dia hendak menamparku lagi, tapi kugenggam tangannya kemudian kuplintir sampai tulangnya berbunyi cukup keras. Hasnah teriak semakin histeris. Kesakitan yang dia rasakan pasti teramat sangat, tapi aku ndhak peduli. Bahkan membunuhnya saat ini juga aku pun ndhak peduli.     

"Kenapa Manis harus telah memiliki suami? Dan kenapa suaminya adalah kamu!" marahnya membabibuta. "Melihat kamu mencintainya, melihat caramu memperlakukannya. Semua itu benar-benar membuatku benci!" teriaknya lagi. "Awalnya aku benar-benar ingin berteman baik dengan Manis. Karena dia satu-satunya orang yang mau berteman denganku. Tapi, karena kamu... karena adanya kamu, semuanya berubah karena kamu! Ini salah kamu!"     

"Salahku? Kamu pikir ini semua salahku?"     

"Ya! Sebab aku melihatmu, aku menaruh hati denganmu! Tapi, kenapa harus kamu... kenapa harus kamu yang menjadi suaminya Manis! Cara kamu memandangmu, cara kamu memperlakukannya, benar-benar membuatku benci! Aku benci karena ada laki-laki yang memperlakukan perempuan seperti itu. Aku benci karena ada cinta seperti itu. Aku benci!"     

"Apa kamu pikir, kebahagiaan yang telah didapat Manis itu ia dapat dengan cuma-cuma? Bahkan kamu tidak tahu, apa saja yang telah kami alami selama ini sampai kami bisa berada di titik ini...," kataku ketus. Hasnah memalingkan wajahnya. "Apa kamu pikir, di dunia ini hanya kamu saja satu-satunya manusia yang memiliki masalah terbesar dalam hidup? Faktanya, di luaran sana. Ada lebih banyak orang yang merasakan hal yang lebih dari pada kamu. Contohnya aku, Manis, atau pun orang-orang yang lainnya. Tapi, apa yang kami lakukan? Kami bangkit, kami kembali menjadi manusia yang kuat dan lebih baik. Bukan sepertimu, yang memilih jalan pintas untuk menjadi iblis yang ingin menghancurkan semua orang karena merasa tidak mau orang lain bahagia. Kadang aku merasa kamu ini sangat lucu. Manusia, tapi berlagak seperti Tuhan. Sok menentukan takdir seseorang, bahkan takdirnya sendiri pun berantakan."     

Akul langsung berdiri, tapi tangan Hasnah yang lain menggenggam kakiku erat-erat. Dia kemudian menangis, mendongakkan wajahnya sembari memandang ke arahku.     

"Kamu ganteng. Aku telah jatuh cinta dengan pesonamu. Tapi, kenapa... kenapa, kamu harus menjadi suaminya Manis? Orang pertama yang kuanggap sebagai teman. Orang pertama yang telah membuatku nyaman."     

Aku ndhak mempedulikan lagi ucapannya, aku langsung pergi sembari melihat para anak buahnya yang masih terkapar. Aku ndhak tahu, mereka masih hidup bahkan atau sudah mati. Yang jelas setelah ini, aku harus melakukan banyak hal. Ya, banyak hal agar Manis benar-benar aman di mana pun dia berada. Terlebih, aman dari perempuan seperti Hasnah. Sebab aku ndhak mau, jika perempuan setan itu akan kembali. Kemudian dia menyakiti istriku lagi.     

*****     

Setelah aku berada pada bangunan kosong itu, aku pun akhirnya ada di rumah sakit. Aku, Suwoto, dan juga Ucup duduk di luar ruang rumah sakit sambil menunggui Manis yang sedang diperiksa di dalam.     

"Kurang ajar, Hasnah. Bagaimana bisa ada perempuan mengerikan seperti dia. Juragan tidak melaporkannya ke polisi?" tanya Ucup. Ini adalah pertanyaannya yang ke lima. Dan pertanyaan ini pula yang telah kuabaikan sebanyak lima kali juga.     

Aku ndhak ingin memperpanjang masalah ini. Meski aku pun harus waspada dengan Hasnah. Sebab ndhak akan ada, manusia jahat yang akan merasa puas jika mereka kalah. Terlebih bertobat, hanya menunggu mukjizat, atau kala ajal mulai dekat.     

"Suwoto, mulai sekarang kamu aku tugaskan untuk di sini. Melindungi Manis ke mana pun ia pergi. Sebab sangat ndhak mungkin jika aku mengajaknya pulang ke Kemuning. Kuliahnya tinggal sebentar lagi. Aku ingin dia menyelesaikan kuliahnya kemudian baru kembali ke Kemuning. Apa kamu bisa melakukannya?" tanyaku.     

Suwoto langsung mengangguk dengan pasti, matanya memandangku tanpa ada ragu dan takut sedikitpun. Sebab bagaimana pun juga, tugasnya di sini adalah mengikuti perintahku. Bukan keluargaku.     

"Namun demikian, kamu pulanglah dulu. Aku yakin, sahabat-sahabatmu pasti sangat merindukanmu sekarang."     

Suwoto tersenyum, senyum yang kulihat darinya sangat tulus. Senyum seseorang manusia, yang hatinya telah menghangat karena keberadaan kawan baik di sekitarnya. Ndhak seperti dulu, jangankan tersenyum. Diam saja dia terasa begitu menakutkan.     

"Boleh, Juragan?" tanyanya.     

"Ya boleh, toh. Sekalian beritahu Paklik Sobirin untuk ke sini. Aku ingin membicarakan suatu hal penting dengannya perihal perkebunan."     

Suwoto langsung berdiri, setengah menunduk kepadaku dia pun mengangguk kuat-kuat. Padahal, aku ndhak menyuruhnya kembali sekarang, lho. Apa dia ini ndhak punya rasa lelah, toh? Apa dia ndhak ingin istirahat barang sebentar, dan besok pagi-pagi saja dia kembali ke Kemuningnya? Dasar, Suwoto ini.     

"Aku ini bukan reco (patung yang disembah) jadi, ndhak perlu kamu menghormatiku seperti itu. Dasar, abdi dalem aneh," gerutuku.     

"Lha, kan saya ini sangat menghormati Juragan. Itu sebabnya aku membungkuk. Nanti kalau saya ndhak hormat, nanti saya dibilang abdi dalem kurang ajar."     

"Kalau kurang ajar sini tak ajarin," kubilang. Dia malah tampak bingung. "Suwoto, terimakasih. Kalau ndhak ada kamu mungkin semuanya akan menjadi sulit tadi. Terimakasih telah bersamaku selama ini. Meski awalnya aku merasa takut karena khawatir kamu mungkin ndhak bisa menjadi orang yang baik. Yah, maksudku orang yang mungkin akan terus membunuh orang-orang tanpa ampun. Dan kurasa, kamu ndhak sejahat itu."     

"Seharusnya saya yang berterimakasih dengan Juragan...," katanya dengan senyum simpul. "Juragan adalah satu-satunya orang yang sudi merangkul saya tatkala banyak yang menganggap saya orang jahat dan patut dijauhi. Juragan juga yang mengenalkan saya apa arti menjadi manusia baik yang berguna bagi sekeliling kita. Juragan, satu-satunya orang yang ndhak menjauhi saya. Terimakasih, Juragan. Telah memberi saya kesempatan kedua untuk menjadi manusia yang lebih baik. Dan terimakasih juga, karena sejatinya Juragan memberi gambaran baru. Tentang seorang Juragan, yang ndhak hanya memerintah abdi dengan seenak hatinya sendiri. Akan tetapi memberi tempat kepada abdi dalemnya seperti kawan baiknya sendiri."     


Tip: You can use left, right, A and D keyboard keys to browse between chapters.