JURAGAN ARJUNA

BAB 160



BAB 160

0"Bapak Arjuna?" sapa seorang dokter yang baru saja keluar dari ruang rawat Manis. Aku segera berdiri, Ucup pun ikut berdiri juga. Sementara Suwoto, baru beberapa menit yang lalu memutuskan untuk kembali ke Kemuning.     
0

"Iya. Bagaimana keadaan istri saya, Dok?" tanyaku sesopan mungkin. Dokter itu kemudian tersenyum ramah, sembari menundukkan pandangannya.     

"Jangan terlalu formal, Pak. Saya tahu kalau Anda ini salah satu orang penting. Jadi, tidak usah seperti itu...," katanya. Kukerutkan keningku ndhak paham, tapi aku pun ndhak menyanyakan hal lebih jauh dari pada ini. Sebab bagiku sekarang, keadaan Manis adalah hal utama yang harus kutanyakan. "Ibu Manis tidak apa-apa. Demamnya sudah turun, dia hanya kurang istirahat, dan sepertinya sedikit mengalami syok. Setelah diinfus, diberi obat, dan istirahat istri Bapak sudah boleh pulang," jelas Dokter perempuan itu.     

Hatiku benar-benar lega, mendengar kondisi Manis ternyata baik-baik saja. Bahkan saking leganya, aku ndhak sadar jika saat ini aku jatuh terduduk. Terimakasih, Gusti... terimakasih. Karena Engkau telah menyelamatkan Manisku. Menyelamatkan dari sakitnya, juga dari orang-orang yang hendak menyakitinya. Aku janji, Gusti... aku janji. Aku akan menjadi suami yang paling baik untuk Manis. Aku janji aku ndhak akan marah-marah lagi kepadanya. Aku janji akan selalu melindunginya dengan segenap jiwa dan ragaku. Aku janji, Gusti. Jadi tolong, selalu lindungi dia untukku. Tolong aku, Gusti....     

"Juragan!" aku kaget tatkala Ucup menepuk bahuku dengan sedikit kasar. Saat kulihat, dia sudah melotot. Sementara Dokter itu masih tersenyum lebar ke arahku.     

"Juragan ini bagaimana. Istrinya dalam keadaan baik-baik saja kok melamun terus," goda sang Dokter.     

Aku tersenyum saja mendengar godaannya itu. Tanpa banyak bicara, aku pun masuk ke dalam kamar rawat Manis. Dia sedang terlelap di atas ranjang, dengan selang infus yang tersambung sampai di tangannya. Baru kali ini aku melihat istriku terkapar ndhak berdaya, dan rasanya aku benar-benar ndhak tega. Rasanya, aku ingin yang berbaring di sana. Menggantikan semua trauma dan semua rasa sakitnya.     

Manis, maafkan aku....     

Aku duduk di samping ranjang istriku, kugenggam erat tangannya yang ndhak diinfus. Tangannya tampak lemah, pucat, dan aku baru sadar jika istriku sekarang menjadi sekurus ini sekarang. Aku, bahkan ndhak memerhatikannya. Padahal beberapa waktu yang lalu aku berpikir, jika dia telah tambah gemuk. Apa ini hanya pradugaku semata? Karena dia telah mengalami kesulitan beberapa hari ini? Ataukah malah dia gemuk itu hanya tampak dari sudut pandangku saja. Karena aku melihatnya sangat bahagia.     

"Juragan, aku pamit pulang dulu. Ada kuliah yang harus aku selesaikan," pamit Ucup. Setelah dia melihat Manis yang terlelap, kemudian pandangannya kembali teralih padaku.     

"Hati-hati, Cup. Terimakasih sudah menemaniku tadi. Dan, pakailah mobilku. Aku tidak mau kamu kesusahan berangkat ke universitas," kubilang.     

Ucup agaknya semangat, kemudian dia langsung mengangkat dua jempolnya tinggi-tinggi.     

"Wah, senang sekali. Bisa sok super kaya di Universitas. Terimakasih, Juragan ganteng," jawabnya. Bergegas keluar dari kamar rawat Manis.     

Aku tersenyum saja mendengar hal itu. iya, itu adalah mobil baruku. Yang bahkan belum ada sebulan kubeli. Karena kurasa, mobil lamaku endhaklah cukup mumpuni jika dibawa ke kota besar seperti ini. Orang harus menyesuaikan diri, toh. Di bumi dipijak, di sana langit dijunjung tinggi. Ya, kira-kira kurang lebih aku mencoba untuk seperti itu.     

"Kangmas," kupandang wajah Manis yang pucat, ternyata dia sudah terbangun. Apa ini karenaku? Apa aku menganggu istirahatnya? Aku langsung menahannya tatkala dia hendak mengambil posisi duduk, sehingga dia kembali berbaring.     

"Ndhak usah bangun. Tidurlah, Ndhuk. Kamu masih lemas," kubilang.     

Dia langsung menciumi tanganku, air matanya kembali menetes dengan sangat derasnya. Air mata yang benar-benar membuatku ingin menangis pilu. Tapi aku ndhak bisa, aku benar-benar ndhak bisa. Jika aku menangis sekarang di depannya, aku yakin dia akan semakin hancur. Dan aku ndhak mau dia hancur karenaku.     

"Aku pikir, aku sudah ndhak bisa melihatmu lagi, Kangmas. Aku benar-benar sangat takut. Tatkala Hasnah menyelinap di balik jendela yang kebetulan lupa terkunci. Kemudian dia dan antek-anteknya memaksa membawaku pergi melalui jendela kaca kita. Sepertinya... sepertinya...," katanya tertputus. "Aku ndhak mau lagi tidur di kamar itu lagi, Kangmas. Aku ndhak mau tidur di tempat yang kacanya terlampau lebar. Sebab aku takut, ada orang jahat lagi. Menjadikan jendela kaca itu tempat pelarian dari apa yang telah ia lakukan. Aku takut."     

Kupeluk tubuh istriku erat-erat untuk menenangkannya. Kemudian kukecup puncak kepalanya berkali-kali.     

"Tenang, Ndhuk. Ada aku. Semuanya akan baik-baik saja, percayalah. Aku akan selalu menjagamu, ya...," kataku padanya. "Kita ndhak akan lagi tidur di sana. Kita ndhak akan lagi tinggal di sana. Tunggu setelah Suwoto kembali ke sini, kita akan segera mencari rumah baru untuk kita tempati. Rumah di pemukiman yang lebih ramai, dan aman. Sehingga ndhak akan ada celah bagi siapa pun yang memiliki niat jahat kepadamu, ya."     

Manis mengangguk kuat-kuat, kemudian dia kembali menangis dalam pelukanku. Kuhirup udara dalam-dalam, melihat Manis seperti ini benar-benar membuat dadaku sesak. Aku, ndhak akan pernah mengampuni Hasnah, sampai kapan pun itu.     

"Aku ndhak usah kuliah saja, ya, Kangmas. Aku mau pulang saja ke Kemuning," rengeknya. Yang benar-benar jauh di luar nalarku.     

Apa dia setakut ini? Apa dia setrauma ini kepada Hasnah? Sampai-sampai, mimpinya harus dia korbankan begitu saja karena perlakuan Hasnah tadi? Gusti... adakah hal yang terjadi di luar sepengatahuanku tadi.     

"Apa Hasnah telah melakukan sesuatu padamu, Ndhuk?" tanyaku kemudian. Manis tampak menunduk.     

"Aku hanya... aku hanya merasa jijik, Kangmas. Biar bagaimanapun, Hasnah adalah seorang perempuan. Bahkan dalam pikiran dan benakku pun, ndhak pernah terbesit. Jika ada seorang perempuan yang bisa menyukai perempuan lainnya. Itu... adalah perkara yang benar-benar menjijikkan. Terlebih... terlebih...," katanya kembali terputus. "Tatkala tadi dia melucuti pakaianku, di depan tangan kananya itu. Tatkala tangannya meraba-raba tubuhku. Rasanya... rasanya aku benar-benar merasa jijik. Untung Kangmas cepat datang. Bagaimana jika endhak? Bagaimana jika Kangmas telah sedikit saja? Aku... aku...."     

Lagi, tangis itu pun terpecah. Aku langsung memeluk tubuh Manis lagi, dengan hati yang tersayat-sayat. Andai aku tahu, jika luka mental yang diamali istriku sampai sedalam ini. Pasti, semua orang yang ada di sana tadi akan kubuat mati. Pasti, Hasnah ndhak hanya sekadar kupatahkan tangannya. Tapi, akan kupatahkan umurnya juga.     

"Aku akan membuatmu lupa semuanya. Aku janji, akan menghapus segala perih, jijik, dan rasa sakit apa pun dalam benak dan hatimu. Aku pastikan hal itu, Ndhuk."     

Manis mengangguk lemah, kemudian dia memandang ke arahku dengan mata yang benar-benar sangat bengkak. Aku bahkan sampai ndhak tega melihat keadaannya sekarang.     

"Kangmas, mandikan aku. Aku merasa ndhak enak. Aku mau mandi. Aku mau menghilangkan apa pun dari tubuhku yang telah terkena sentuhan tangannya yang menjijikkan itu."     

Aku pun mengangguk menanggapi ucapannya. Pelan, kuntuntun dia bangun dari ranjang, kemudian kugendong dian masuk ke dalam kamar mandi. Kemudian, aku mulai memandikannya. Lagi, hatiku sangat sakit tatkala melihat memar-memar di tubuh istriku. Pasti itu adalah luka, dari hasil penolakan istriku yang mendapatkan pukulan olehnya. Dasar, kurang ajar. Apa lagi kata yang harus kukatakan kepadanya selain kurang ajar berkali-kali dan dendamku ini akan kubawa sampai mati. Ya... sampai mati.     


Tip: You can use left, right, A and D keyboard keys to browse between chapters.