JURAGAN ARJUNA

BAB 163



BAB 163

0Dan setelah semua persiapan tetek bengeknya, akhirnya Suwoto membawaku ke sini. Pada sebuah komplek yang benar-benar mirip dengan kampungku. Ya, kurang lebih. Meski banyak kurangnya. Ya kalau diibaratkan sama, lebih mirip di rumah yang berada di Purwokerto. Aku sama sekali ndhak menyangka, jika di Jakarta ada kompleks seperti ini. Kompleks yang benar-benar tampak sangat asri. Gang dari rumah ke rumah lumayan jauh, dengan banyak penghijauan di semua sisi. Dan bagunanya pun dari bahan bata merah, kemudian ornamen-ornamennya dari kayu jati. Sungguh, asri dan seperti kembali ke kampung adalah julukan dari tempat ini.     
0

"Bagus ndhak, Juragan? Saya bena-benar ndhak menyangka, kalau di Jakarta ada tempat seperti ini, lho. Kata yang punya, dulu dia pernah tinggal di kampung. Kemudian dia memiliki ide untuk membuat sebuah kampung halaman di kota, yang mana agar pembeli unit-unit kediaman ini merasa kalau mereka telah kembali pulang, Juragan," jelas Suwoto panjang lebar.     

Sepertinya, dia benar-benar memikirkan perkara hunian baruku. Sampai-sampai, dia mencari tempat seditil ini. Aku benar-benar ndhak pernah menyangka, jika Suwoto akan sepeduli ini kepadaku. Perlakuan Suwoto, dan Paklik Sobirin bena-benar sangat manis.     

"Di sini juga sistem keamanannya sangat ketat, Juragan. Selain di depan kompleks ada satpamnya, di setiap hunian juga disediakan sebuah pos. Jadi, Juragan bisa meminta kepada yang pemilik kompleks ini untuk menyediakan layanan keselamatan dengan memberi satu atau dua satpam untuk menjaga. Atau, Juragan juga boleh membawa salah satu abdi dari Juragan untuk menjaga di sini. Dan saya rasa, itu ndhak perlu, toh. Sebab saya saja sudah lebih dari mampu untuk menjaga Juragan, dan Ndoro Manis," jelas Suwoto lagi.     

"Jadi, kamu punya cita-cita untuk ikut tinggal di sini bersama Juragan?" tanya Paklik Sobirin, bibir bawahnya yang dower itu sudah maju lima senti, sementara matanya tampak memicing ke arah Suwoto. "Kamu itu, abdi baru. Aku abdi lama. Kenapa bisa kamu yang diutus ke sini buat jaga Juragan Arjuna sementara aku endhak? Aku juga mau sama Juragan Arjuna!" lanjutnya emosi.     

"Lha memangnya kamu bisa bela diri apa, toh? Yang dibutuhkan Juragan itu aku, sebab aku yang pandai bela diri. Lha kamu itu pandainya apa? Kamu pandai kawin sana-sini!"     

"Suwoto, kamu telah melecehkan harga diriku di titik terendah! Kamu itu kenapa bisa berkata yang menyakitkan hatiku, toh!"     

"Apa! Aku ndhak peduli kamu merasa sakit hati atau dilecehkan. Itu urusanmu, bukan urusanku!"     

"Sudah, stop!" bentakku kepada mereka berdua.     

Aku benar-benar ndhak habis pikir, bagaimana bisa mereka berdua malah berdebat dengan perkara yang ndhak jelas seperti ini. Toh faktanya, mereka adalah abdiku yang paling setia, mereka adalah abdiku yang paling berjasa. Jadi, bisa ndhak mereka barang sebentar untuk diam.     

"Paklik Sobirin ndhak usah cemburu dengan Paklik Suwoto, toh...," kata Manis akhirnya angkat bicara. "Paklik Suwoto diutus Kangmas di sini itu untuk menjagaku. Paklik tahu, toh, perihal masalahku yang bahkan masih sangat segar terekam dalam memoriku. Jadi, Paklik Suwoto benar-benar sangat dibutuhkan untukku, Paklik. Namun demikian, bukan berarti Paklik Sobirin bukan ndhak penting. Itu salah besar," Manis kemudian meraih tangan Paklik Sobirin, mencoba untuk menenangkan. "Paklik itu malah bagian terpenting dari hidup Kangmas Arjuna. Paklik itu ibaratnya adalah nyawa kedua dari Kangmas."     

"Maksud Ndoro?"     

"Bagaimana endhak, toh. Jika Paklik Sobirin ndhak penting, untuk apa Kangmas mempercayakan semua perkebunan yang ada di Ngargoyoso di tangan Paklik Sobirin? Untuk apa Kangmas sampai sepercaya itu kepada Paklik Sobirin? Untuk apa Kangmas selalu menyuruh Paklik Sobirin mengganti perannya di kampung? Ndhak hanya perkebunan, bahkan Romo, Biung, Rianti, dan rumah juga. Paklik...," kata Manis yang kini sudah duduk di samping Paklik Sobirin, membuat Paklik Sobirin ikut duduk di bawahnya. "Apa Paklik masih ndhak berpikir jika Paklik itu istimewa? Saking percayanya Kangmas kepada Paklik, bahkan Kangmas pun ndhak pernah ada pikiran jika mungkin saja Paklik curang, mungkin saja Paklik mengkhianati Kangmas di belakangnya. Tapi nyatanya, Paklik lihat sendiri, toh? Kepercayaan Kangmas kepada Paklik Sobirin itu penuh. Sebagaimana, Kangmas Arjuna percaya kepada dirinya sendiri. Dan Paklik pun bisa melihat, siapa abdi yang diberikan kepercayaan sebesar itu dari Kangmas? Ndhak ada... hanya Paklik seorang. Jadi, Paklik Sobirin ndhak perlu cemburu dengan Paklik Suwoto. Sebab sejatinya, kalian memiliki bagian masing-masing dalam menjalankan tugas. Terlebih, kalian sama-sama pentingnya di hidup Kangmas Arjuna. Bukan begitu, Kangmas?"     

"Sungguh, apa yang dikatakan Manis adalah benar adanya. Kalian adalah bagian terpenting dalam hidupku. Aku bahkan sampai berpikir, bagaimana jika aku tanpa kalian? Bagaimana jika kalian ndhak ada di sampingku. Mungkin, aku bukanlah seorang Juragan seperti sekarang ini. Sebab kalian tahu, aku adalah pemuda paling pengecut yang pernah ada. Kalian, bagaikan jantung dan hatiku. Ndhak akan pernah bisa pisah dari tubuhku. Tanpa kalian, aku seperti orang mati,"     

"Juragan!"     

Paklik Sobirin langsung menangis, sementara Suwoto hanya diam, sembari memiringkan wajahnya. Aku yakin, gengsinya tinggi. Sebab bagaimana bisa, seorang pembunuh berhati dingin menangis hanya karena hal-hal seperti ini. Memalukan sekali, toh.     

"Aduh, banyak tamu ini. Dari mana kalau boleh tahu?" sapa seseorang, yang saat ini sedang mengenakan kemeja batik berwarna cokelat. Aku tebak jika dia adalah pemilik kompleks ini, sebab dari dandannya benar-benar kentara sekali.     

"Oh, Pak Marwan. Ini adalah Juragan saya, beliau ini yang hendak membeli salah satu dari rumah yang ada di kompleks Bapak," jawab Suwoto dengan sopan.     

"Oh, ini Juragan tersohor Juragan Arjuna itu?" tanyanya. Kukerutkan keningku ndhak paham. Dari mana dia tahu perkara hal itu? "Mari, Juragan, mari. Ayo masuk ke rumahku, kita bicarakan masalah ini di dalam."     

"Oh tidak usah, Pak. Di sini saja, sekalian aku ingin melihat-lihat hunian yang Bapak buat. Sambil memilih salah satu di antara yang barangkali istriku suka," kujawab.     

Akhirnya, Marwan pun menyetujui ucapanku. Kemudian kami berjalan, menyusuri jalanan beraspal, sembari melihat-lihat unit demi unit hunian yang benar-benar sangat asri ini.     

"Juragan beli saja semua, nanti bagikan kepada kami satu-satu, Juragan. Jadi, tatkala kami ingin mengunjungi Juragan, kami bisa membawa anak istri untuk singgah di sini," kata Paklik Sobirin.     

Marwan yang mendengar bahkan nyaris tersedak, sementara aku hanya melirik Paklik Sobirin dengan sinis.     

"Sobirin, Sobirin. Memangnya kamu pikir, harga satu uni hunian ini seharga satu butur kacang rebus apa, toh? Kok ya asal jeplak benar bilang dengan lantang kalau minta satu kepada Juragan Arjuna. Apalagi, ini tempatnya di Jakarta, di kota. Yang artinya, untuk harga tanahnya saja pasti berkali-kali lipat dari harga tanah di kampung. Kamu ini abdi dalem, tapi ngelunjak."     

"Siapa bilang—"     

"Sudah, ndhak usah ribut!" kata Manis menengahi.     

"Yang paling besar ada?" tanyaku pada Marwan, sembari mengabaikan celotehan dua orang ndhak waras itu.     

"Oh ada, Juragan. Di sana, yang tengah sana itu. lantai dua, dan paling luas juga dengan banyak tambahan beberapa disain. Itu memang dibuat khusus sendiri," jawab Marwan. "Sebab saya juga berpikir, jika sebuah kampung itu memiliki seorang lurah, atau Juragan seperti Juragan Arjuna ini. Rumah itu benar-benar pantas untuk Juragan," katanya.     

"Kangmas, katanya mau ambil yang kecil dan sederhana saja, toh?" tanya Manis mengingatkan.     

"Kalau kita ambil yang kecil, nanti tatkala Biung, Romo, Ningrum, Rianti beserta suami, dan abdi dalem kita main ke sini mau kita suruh tidur di mana, Ndhuk?" kataku.     

Manis kemudian mengangguk, ternyata dia sependapat dengan pemikiranku. Untunglah jika dia ndhak protes.     

"Sekalian, tiga lagi sisi kanan, kiri, dan depan rumah itu aku ambil juga."     

"Wah, benar ini, Juragan?" tanya Marwan yang agaknya bahagia.     

"Iya, untuk hadiah dua abdiku yang paling setia, serta pamanku yang ada di kampung," kubilang. "Untuk urusan pembayaran, Bapak Marwan bicarakan dengan abdiku saja. Nanti biar mereka yang urus," jelasku kemudian.     

Mendengar hal itu, Paklik Sobirin, dan Suwoto langsung kegirangan. Lihatlah mereka, bahkan keduanya hampir memelukku saat ini juga.     


Tip: You can use left, right, A and D keyboard keys to browse between chapters.