JURAGAN ARJUNA

BAB 161



BAB 161

0"Jadi bagaimana keadaan Ndoro Manis, Juragan? Saya mendapat kabar dari Suwoto tentang kabar yang ndhak mengenakkan," tanya Paklik Sobirin.     
0

Pagi ini, dia sudah ada di rumahku. Tentu sudah bersama dengan Suwoto. Tapi, aku menyuruh Suwoto untuk mencari rumah baru untukku. Rumah yang akan kutinggali nanti setelah rumah ini. Seendhaknya tempatnya jauh dari rumah Hasnah, bukan apa-apa. Untuk mengindari terjadi sesuatu yang ndhak aku inginkan terjadi lagi. Sementara Manis kini sedang bersitirahat di kamar yang lainnya setelah pulang dari rumah sakit. Sengaja, kusuruh beberapa abdi untuk menjaga menyeluruh di setiap sudut kamarku. Jujur, sejatinya mengenai peristiwa itu, bukan hanya Manis. Tapi, aku juga agaknya trauma.     

"Dia sedang istirahat, tubuhnya masih teramat lemah. Dia baru saja selesai mandi, Paklik," jawabku. Setelah menghela napas panjang. Ya, Manis... setiap dia terbangun dari tidurnya, dia selalu memintaku untuk memandikannya. Aku ndhak tahu, apakah setrauma itu dia dengan Hasnah. Tapi aku turuti saja. Agar seendhaknya, dia merasa ada yang mengerti dia. Agar seendhaknya, dia ndhak merasa sendiri, dan semakin merasa depresi. "Aku ndhak pernah menyangka, jika kejadian seperti ini akan aku alami, Paklik. Kukira, orang yang bisa membuatku cemburu, dan sakit hati adalah. Seorang pria yang mencoba menganggu Manis. Tapi ini...," aku kembali menghela napas panjang. Rasanya, dadaku benar-benar sesak sekarang. "Ini adalah perempuan, Paklik. Dan itu semakin membuat hatiku rasanya nyeri bertambah-tambah. Rasa jijik, jengkel, gemas, dan marah, seolah benar-benar ndhak bisa kuluapkan begitu saja."     

"Saya juga kaget, Juragan, mendengar cerita dari Suwoto. Ndoro Manis adalah orang yang hatinya sangat lembut serta polos. Jangankan perempuan yang tampaknya dikucilkan. Lha wong perempuan yang jelas-jelas naksir Juragan, dan teramat membencinya saja dia jadikan kawan," kata Paklik Sobirin mengingatkan.     

Iya, benar. Istriku itu memang kelewat polos. Bahkan saking polosnya orang yang menganggapnya musuh pun tetap diajak berkawan. Gusti, Gusti... semoga dengan kejadian ini istriku bisa belajar menjadi pribadi yang bisa lebih bisa menjaga dirinya sendiri tatkala ndhak ada aku.     

"Semoga kejadian ini ndhak terulang lagi, Paklik. Rasanya, berkali-kali lipat lebih menyeramkan dari pada berhadapan dengan pemuda yang hendak merebut Manis dariku,"     

Paklik tersenyum kecut, kemudian dia mengangguk kuat-kuat. "Saya kok jadi ngeri, ya, Juragan. Zaman sekarang ini sudah sangat edan. Bagaimana bisa, perempuan mau beradu dengan perempuan di atas ranjang. Memangnya, mereka bisa apa main kuda-kudaan? Yang ada mainnya apem-apeman, ndhak enak,"     

"Dasar orangtua, otaknya itu lho. Kok ya ngeres benar. Pengen, ya? Tapi sayangnya, ndhak ada yang mau main pedang-pedangan dengan Paklik. Pedang Paklik kan kecil, ndhak bisa berdiri tegap, lagi," ejekku.     

Paklik Sobirin langsung tersenyum, seolah apa yang telah kukatakan adalah perkara yang sangat sederhana. "Kecil-kecil kan saya sudah punya banyak anak, Juragan. Dari pada pedang Juragan? Besar tapi ndhak bisa menghasilkan. Ibarat pohon singkong, pedang Juragan itu pohon singkong genderuwo. Besar dan subur, memang. Tapi ndhak ada ubinya sama sekali."     

Sontoloyo benar orangtua jelek satu ini. Kemana-mana nyeker saja sudah tinggi hati seperti itu. Aku jadi ndhak bisa membayangkan, jika dia adalah seorang Juragan. Pasti congkaknya ndhak karu-karuan.     

"Biarpun singkong genderuwo tapi memuaskan. Ndhak kayak kamu," ketusku kemudian. Kalah juga aku bercakap melawan orangtua jelek ini.     

"Syukurlah, Gusti... Juragan saya sudah riang gembira lagi," dia bilang, tersenyum semakin lebar ke arahku. Seolah-olah, banyak bicaraku adalah berkatnya. Seolah, dia yang paling berjasa atas segala-galanya. "Iya, toh, karena saya, toh?" desaknya lagi. "Biasanya kalau Juragan Besar terdahulu, saya itu pasti dapat satu ekor kerbau, lho, Juragan. Kalau sekarang kok ndhak dapat sama sekali. Sepertinya, Juragan saya sekarang agaknya perhitungan, dan pelit luar biasa, toh."     

Wah, orangtua ini sudah kelewat batas rupanya. Bagaimana bisa dia berkata seperti itu. Mengataiku Juragan yang pelit. Memangnya, setiap minggu kuberi dia gaji lebih itu dari siapa? Lelembut? Dasar!     

"Ya sudah, kalau menurut Paklik Sobirin aku pelitnya luar biasa. Bagaimana kalau Paklik Sobirin cari Juragan yang baru saja untuk Paklik bisa mengabdi? Siapa tahu, Juragan itu lebih baik hati, lebih perhatian, dan juga ndhak pelit sepertiku," ujarku.     

Paklik Sobirin langsung melotot, kemudian dia menyembah kepadaku. Berlutut tepat di depan kakiku. Aku sama sekali ndhak menyangka, jika dia akan seperti ini. Apa dia pikir, kalau aku benar-benar akan mengusirnya menjadi abdi di kehidupanku? Oh, tentu endhak. Sebab, aku belum puas untuk mengerjainya.     

"Maafkan saya, Juragan. Saya hanya bercanda. Ndhak ada niat sama sekali untuk saya buat ndhak berterimakasih kepada Juragan. Juragan selama ini telah baik terhadap saya dan keluarga. Maafkan saya, Juragan. Tolong sudilah kiranya tarik kembali ucapan Juragan Arjuna. Saya janji, saya akan lebih rajin lagi, Juragan," rengeknya. Mimik wajahnya itu, lho, yang membuatku ingin tertawa. Seperti hendak menangis. Bahkan matanya sudah begitu tampak nanar.     

Aku ingin tertawa, namun sekuat tenaga kutahan. Andai aku membawa kodak (kamera) pasti sudah kuabadikan wajah jelek yang berminyakannya itu tatkala dia hendak menangis.     

"Kenapa? Kamu menyesal? Kamu itu harus bisa dididik. Katanya abdi senior, kok lancang benar mulutnya itu kalau berbicara."     

"Maafkan saya, Juragan."     

"Kamu itu harus ngerti, tata krama jikalau bercakap dengan Juragan. Aku ini Juraganmu, bukan kawanmu, apalagi keponakanmu,"     

Kini agaknya aku mulai kasihan. Sebab Paklik Sobirin sudah benar-benar menangis. Gusti, sepertinya aku telah bertindak kelewat batas. Bagaimana bisa, aku mengerjai orangtua sampai seperti ini.     

"Sudah... sudah, katanya banyak berjasa kepadaku. Kok menangis, toh. Sudah, ndhak usah menangis lagi. Aku ndhak jadi memecatmu," kubilang pada akhirnya. "Lagi pula, meski Paklik merengek seribu kali untuk berhenti berkeja kepadaku pun, aku ndhak akan peduli. Sebab apa, hidup dan mati Paklik sudah kukuntrak untuk menjadi abdiku selamanya."     

Mendengar hal itu, Paklik Sobirin langsung berdiri kemudian dia memelukku erat-erat. Tangisannya pun terpecah.     

"Terimakasih, Juragan. Terimakasih!" cicitnya penuh haru.     

Paklik ini, berlebihan benar, toh. Kan dia ini hanya kusuruh untuk menjadi abdi dalem. Bukan menjadi salah satu pejabat yang penting. Tapi kenapa, rasa syukurnya itu, lho. Berlipat-lipat seperti ini. Sampai membuatku sungkan sendiri.     

"Ya sudah, ya sudah... ndhak usah berlebihan, toh, Paklik. Ndhak usah memancing keributan. Nanti Manis bisa bangun, lho," kubilang. Paklik Sobirin lantas melepas pelukannya, kemudian dia tersenyum. "Lagi pula, kenapa Paklik sampai seperti itu. Aku hanya menjadikanmu abdi dalem, ndhak lebih. Tapi rasa syukurmu, kenapa seolah aku telah menjadikanmu seperti pejabat negara saja, toh."     

Paklik kemudian menggeleng, sembari menggenggam tanganku kuat-kuat. "Endhak, Juragan. Endhak. Juragan tahu, bagian terpenting dari seorang abdi dalem? Jika dia mampu mengabdi kepada Juragannya dengan setia sampai akhir hayatnya. Dan itu, saya ingin melakukannya."     


Tip: You can use left, right, A and D keyboard keys to browse between chapters.