JURAGAN ARJUNA

BAB 162



BAB 162

0Jujur, aku sangat terharu tatkala Paklik Sobirin mengatakan hal itu. Rasanya hatiku menghangat. Aku sama sekali ndhak pernah mengira kalau Paklik Sobirin akan seperti itu kepadaku. Menjadi seorang abdi setia untukku. Benar-benar perkara yang sangat luar biasa bagi hidupku.     
0

"Lagi pula, Juragan... zaman sekarang menjadi abdi dalem sangat jauh lebih enak. Bukan seperti zaman dulu. Sekarang, pekerjaan yang kita kerjakan adalah perkara-perkara yang gampang. Tanpa melibatkan nyawa di dalamnya. Tapi dulu, jika majikan kita salah, yang dihukum bukan hanya majikan kita saja. Tapi abdinya juga. Jika abdi melakukan salah sedikit saja, nyawa seolah bukan menjadi perkara mahal untuk dipertaruhkan."     

Aku tergugu mendengar penuturan itu. Sepertinya menjadi abdi dalem zaman dulu adalah perkara yang benar-benar pelik. Aku sama sekali ndhak bisa membayangkan, bagaimana nyawa abdi zaman dulu. Mungkin dulu nyawa seorang abdi ndhak jauh lebih murah dari pada harga sebatang singkong.     

"Terimakasih, Paklik...," kataku pada akhirnya. Aku merasa nenek moyang, beserta Paklik Sobirin telah berjasa sangat besar kepadaku. "Terimkasih karena selama ini Paklik dan keluarga telah sudi menjaga keluargaku, sampai saat ini Paklik Sobirin sudi menjagaku. Terimakasih, jasa Paklik dan abdi lainnya benar-benar tanpa tanda jasa. Aku sama sekali ndhak tahu, harus membayar kalian dengan apa. Kurasa, nyawaku pun kuserahkan ndhak akan setimpal jika dibanding dengan pengorbanan dan jasa kalian."     

Paklik kembali menundukkan wajahnya, kemudian tangannya mengenggam tanganku erat-erat. Kami, larut dengan rasa haru yang sangat luar biasa. Dan aku pun baru tahu, jika aku akan merasakan perasaan seemosional ini dengan Paklik Sobirin.     

"Paklik... Kangmas...."     

Aku, dan Paklik Sobirin langsung menoleh, tatkala kami melihat ke arah Manis. Dia tampak mengerutkan alisnya, memandangku dan Paklik Sobirin. Mungkin dia merasa aneh, dengan apa yang kulakukan dengan Paklik Sobirin. Dan kemudian, Paklik Sobirin buru-buru duduk di bawah, sembari memijat kakiku. Aku takut jika dia akan salah paham. Sebab traumanya kepada Hasnah jelas masih belum pudar.     

"Kami sedang mengenang masa lalu. Mengenang apa arti dari seorang abdi dalem kepada Juragannya. Dan kurasa, aku banyak berhutang budi dengan Paklik Sobirin, dan keluarga. Sebab bagaimanapun, mereka telah dengan suka rela mempertaruhkan nyawa mereka demi keluargaku, dengan upah yang kurasa benar-benar jauh dari apa yang telah mereka berikan. Yaitu... nyawa mereka," jelasku pada Manis.     

Manis pun ikut duduk, kemudian dia tersenyum paham. Hatiku mendadak menjadi lega. Dan melihat Manis bisa seperti ini, aku pun merasa lega. Manisku sudah baik-baik saja. Manisku sudah kembali seperti sedia kala.     

"Duh Gusti, kalian ini. Ternyata ikatan persahabatan kalian itu emosionil sekali, toh. Sampai menangis haru berdua, sembari bergandengan tangan segala. Jujur, aku yang ndhak tahu persis kejadiannya pun ikut terharu dibuatnya," ujar Manis. Sok tegar, dan sok sudah kembali seperti Manis sedia kala.     

"Kenapa? Mau ikut berpelukan bertiga? Biar persahabatan kita bertiga semakin awet dan kompak seperti itu?" godaku. Manis tersenyum, sembari menyubit pinggangku.     

Aku langsung memeluk tubuh Manis, rasanya benar-benar lega jika dia sudah mulai normal seperti sedia kala. Rasanya benar-benar aku seperti melihat Manisku yang sebelumnya. Aku janji, aku ndhak akan lagi membuatnya berada dalam bahaya.     

"Ndoro Manis kalau tersenyum itu ndhak nguati, lho. Manis benar," kata Paklik Sobirin. Aku langsung melotot ke arahnya.     

"Kenapa? Naksir? Atau jangan-jangan senyumnya Bulik Amah ndhak manis, ya? Tapi pahit?" galakku.     

Paklik Sobirin langsung cemberut lagi. Lihatlah wajah tuanya yang cemberut itu. Benar-benar lucu, persis seperti orang-orangan sawah di Berjo.     

"Iya, Dik Amah kalau senyum sering asem, dan pahit. Bagaimana endhak, toh. Minta jatah sekali saja sudah diasemin. Duh Gusti, nasib benar sebagai laki-laki seperti ini."     

Aku dan Manis langsung tertawa mendengar penuturan Paklik Sobirin yang lucu itu. Ucapannya yang dibuat-buat benar-benar ciri khas Paklik Sobirin sekali.     

"Juragan, Arjuna... saya sudah menemukan hunian yang benar-benar sangat cocok untuk Juragan, dan Ndoro Manis," Suwoto datang, tanpa permisi dan itu membuatku kaget bukan kepalang. Kenapa dia ndhak ketuk pintu atau permisi dulu, toh. Tak pikir tadi, dia genderuwo yang tiba-tiba datang.     

"Kamu memang selalu bisa aku andalkan. Jadi, kapan kira-kira kita bisa pindah ke sana?"     

"Tentu setelah Juragan membayarnya, toh," celetuk Paklik Sobirin.     

Duh Gusti, iya... aku lupa perihal bayar membayar. Bahkan aku lupa memberi Suwoto uang tatkala berangkat tadi.     

"Oh ya, aku lupa. Jadi bagaimana perihal harganya? Apakah sudah pantas? Jika menurutmu iya, maka aku akan memberimu uang untuk membayar, dan mengurus surat-suratnya," kubilang pada Suwoto. Aku pikir, Suwoto agaknya sungkan untuk meminta uang kepadaku. Pantas saja, tatkala tadi aku menyuruhnya pergi mencari rumah. Dia lama benar untuk berangkat. Dasar aku ini. Kenapa aku bisa sampai lupa.     

"Itu adalah rumah baru, Juragan. Pemilik sengaja membangun rumah-rumah untuk dijual. Dan kebetulan, rumah ini rumah yang dibangun dengan model Jawa yang sangat kental. Sangat cocok dengan Juragan Arjuna pokoknya. Dan masalah biaya...," kata Suwoto terhenti. "Perkara biaya menjadi urusan belakangan, Juragan. Asal Juragan suka dulu dengan hunian baru itu," katanya kemudian.     

Aku kembali tersenyum kepada Suwoto. Entah kebaikan apa yang kiranya aku lakukan dulu. Atau ini adalah balasan dari kebaikan romo-romoku selama ini. Sebab, aku sampai bisa memiliki abdi-abdi setia seperti mereka ini.     

Omong-omong, melihat Paklik Sobirin, dan Suwoto. Kenapa aku jadi rindu dengan Paklik Junet. Mereka ini bagaikan tiga serangkai kalau bersama. Membuat hariku penuh warna. Sudah lama sekali kira-kira aku ndhak bertemu dengannya. Gusti, aku rindu. Apalagi dengan Romo, dan Biung. Aku sangat rindu setengah mati.     

"Juragan Besar Nathan Hendarmoko, dan Ndoro Putri Larasati di rumah sehat-sehat, mereka ndhak kurang apa pun. Selain, perkara rindu yang teramat berat dengan putra kesayangannya. Yaitu, Juragan Arjuna Hendarmoko," bisik Suwoto.     

Keparat memang cebol satu ini, bagaimana dia harus bisa membaca isi hatiku. Benar-benar sangat menyebalkan. Aku jadi merasa ndhak punya hal yang bisa kututupi darinya.     

Kulirik Suwoto dengan garang, dia malah tersenyum dengan sangat lebar. Iya, untuk sekarang, tatkala aku marah atau mengatakan hal rahasia. Aku akan batin saja, ndhak perlu bicara langsung. Jadi, kamu paham Suwoto?     

"Paham, Juragan," jawabnya dengan penuh percaya diri.     

"Kangmas dan Paklik Suwoto ini sedang apa, toh? Kok ya saling pelototan-pelototan seperti itu, lho. Apa kalian sedang marahan?" tanya Manis yang agaknya penasaran.     

Aku kemudian tersenyum sangat lebar, selebar-lebarnya. Sebab aku ndhak mau, kalau sampai Manis tahu tentang apa yang telah diketahui oleh Suwoto.     

"Ndhak ada apa-apa, Sayang. Ya sudah, kamu bersiap, ya. Setelah ini kita langsung melihat rumah baru kita," kubilang, sembari mengecup puncak kepalanya.     

Manis mengangguk, kemudian dia tersenyum dengan manis ke arahku, ndhak banyak bicara. Dia pun langsung bangkit, kemudian masuk ke dalam kamar.     

Kuerebahkan tubuhku di kursi, sembari menghela napas panjang. Rasanya kalau seperti ini, aku ingin pulang saja ke Kemuning barang sebentar.     


Tip: You can use left, right, A and D keyboard keys to browse between chapters.