JURAGAN ARJUNA

BAB 164



BAB 164

0"Jadi, bagaimana, apa kamu senang dengan rumah ini, Sayang?" tanyaku pada Manis. Saat dia sedang berdiri di jendela kamar lantai dua, aku lantas memeluknya dari belakang. Kukecup bahu mulusnya, membuat Manis menoleh ke arahku. Senyum itu mengembang dengan sangat indah.     
0

"Suka. Rasanya kita sedang berada di Kemuning. Tempatnya nyaman, ada hijau-hijauan. Benar-benar bagus, Kangmas," jawabnya.     

"Nanti, di depan rumah kita pas itu. Aku akan buatkan perkebunan untukmu. Agar tatkala kamu bangun di pagi hari, kamu bisa melihat hijaunya perkebunan itu dengan perasaan tenang,"     

Manis kembali tersenyum, seolah-olah aku telah memberikan sesuatu yang membahagiakan untuknya. Iya, memang, sedari dulu Manis paling suka dengan pemandangan hijau. Oleh sebab itu, di mana pun dia tinggal. Sebisa mungkin aku selalu mencarikannya tempat yang memiliki halaman yang luas. Agar dia bisa menanam beberapa tanaman yang ia suka.     

"Sayang," panggil Manis.     

"Hm?"     

"Ehm, sekarang kamu ndhak kerja, toh?"     

"Endhak, Sayang. Kenapa?"     

"Ehm,"     

"Ehm, kenapa?" kutanya. Melihat gerak-gerik Manis yang benar-benar aneh. Dia tampak tersipu-sipu, wajahnya pun merona entah kenapa.     

"Aku ndhak ada kerjaan, lho," dia bilang. Aku mengangguk paham, sebab ini sudah libur akhir semester sebelum dia menginjak menuju semester-semester akhir, dan lulus. "Aku juga ndhak datang bulan, lho," lanjutnya.     

Mendengar itu, instingku sebagai laki-laki langsung paham, apa yang sebenarnya istriku inginkan. Kuputar tubuhnya, sampai dia menghadap ke arahku. Kemudian, kukunci tubuhnya tepat di tembok.     

"Lalu, kenapa kamu kamu sudah ndhak datang bulan lagi?" godaku kepadanya. Manis mengulum senyum, sembari menunduk. Wajahnya yang merona tampak semakin merah dibuatnya. Kugamit pinggangnya dengan posesif, kemudian kudekatkan wajahku kepadanya. "Kenapa, Sayang?" tanyaku. Manis tampak semakin tersipu. "Pengen?" godaku.     

Manis langsung menubrukku, membalas pelukanku dengan sangat erat. Seraya terseyum dia pun berbisik, "sudah tau pengen, kok masih ditanya lagi,"     

Aku langsung membopong tubuhnya, menuju ke atas ranjang kemudian membaringkannya.     

"Pengen banget atau pengen saja?"     

"Banget."     

"Berapa lama?"     

"Yang lama. Ih, Kangmas!" marahnya kepadaku.     

"Berapa kali?" godaku lagi.     

"Berkali-kali!" setelah mengatakan itu dia langsung menggigit bibirku. Meski agak sakit, tapi sensasi yang ia berikan benar-benar luar biasa. Aku bena-benar ndhak pernah menduga jika istriku bisa seganas ini. Dan, aku suka!     

****     

Pagi ini, aku sedang minum kopi dengan Suwoto, sembari makan ketan yang dihidangkan oleh Manis, setelah itu dia menyiapkan sarapan. Maklum, orang Jawa, kalau ndhak makan nasi itu belum makan namanya. Dan itu entah kenapa.     

"Juragan ndhak pingin ke Kemuning barang sebentar? Mumpung Ndoro Manis sedang liburan, Juragan. Ndhak ada salahnya main. Toh, Juragan pergi dengan cara baik-baik, toh," kata Suwoto sepagi ini.     

Duh Gusti, sepagi ini sudah disajikan dengan pertanyaan yang berat ini. Bukannya apa-apa, hanya saja aku ndhak mau tatkala aku datang. Aku mendengar serentetan masalah yang ndhak kunjung tuntas di sana. Terlebih, masalah-masalah itu membuat risau orangtuaku.     

Terdengar sangat egois, memang. Sebab aku terkesan lari dari masalah, terlebih itu adalah masalah keluargaku sendiri. Namun bagaimana lagi, aku juga ndhak bisa untuk pura-pura buta dengan perkara yang ada di sana. Aku bisa melihat dengan jelas, jika mungkin Zainal dan Rianti itu ada sesuatu. Akan tetapi, aku juga ndhak bisa melihat jika barangkali kisah cinta mereka ndhak bisa bersatu. Terlebih, aku pun ragu, jika Zainal akan mampu menerima Rianti apa adanya. Sebab Rianti bukanlah perawan yang suci lagi.     

"Endhaklah, kapan-kapan saja. Aku masih belum siap ke sana sebelum ada suatu perkara yang pasti."     

Suwoto pun akhirnya diam, ndhak bertanya lagi perihal sesuatu di Kemuning. Sementara aku, memilih menikmati kopiku. Sembari memandang lurus-lurus ke depan, ya hanya memandang dengan tatapan dan pikiran kosongku.     

"Oh ya, perkara Hasnah bagaimana? Apakah dia masih tampak kuliah sebelum liburan semester beberapa waktu lalu?" aku malah hampir lupa dengan perempuan iblis itu. Perempuan jahat yang harus kuusut tuntas bagaimana pun caranya.     

"Dia sudah ndhak tampak di Universitas, Juragan. Tapi, menurut tangan kanan saya, dia terakhir terlihat di sebuah rumah sakit. Dengan tangan yang diperban. Dan dia sudah ndhak menempati rumah yang ditinggali bersama ayahnya, Juragan," jelas Suwoto.     

Aku pun kaget mendengar jawaban itu. jika Hasnah ndhak lagi menempati rumahnya yang lama. Lantas, di mana gerangan dia sekarang?     

"Sekarang dia ada di mana, Paklik? Jika dia ndhak lagi di sana. Itu malah akan membuatku semakin khawatir. Bagaimana jika dia diam-diam mengendap-endap ikut pindah di sekitar sini tanpa sepengetahuanmu. Itu bukanlah perkara yang baik, toh?" kubilang.     

"Juragan tenang saja, seluruh anak buah saya sudah saya kerahkan untuk memantau Hasnah dan antek-anteknya. Menurut informasi yang saya dapat terakhir kali, kabarnya dia pindah ke luar kota, Juragan."     

"Keluar kota?" tanyaku bingung.     

"Sepertinya dia sudah benar-benar jera, Juragan. Dia juga sudah merubah sebagian besar penampilannya. Meski masih terlihat aneh, seendhaknya mungkin dia sudah bisa menerima dirinya sendiri. Dan selanjutnya, biarlah waktu yang akan menjawab, biarlah waktu yang akan menyembuhkan lukanya. Dan biarkan dia diberi kesempatan untuk bertobat. Akan tetapi, saya janji... selama Ndoro Manis ada di sini, maka selama itu pula saya akan terus menjaganya."     

"Sebentar lagi, Suwoto. Sebentar lagi akan mata kuliah akhir, skripsi, dan Manis akan lulus. Setelah itu mungkin aku akan kembali ke Kemuning."     

Ya, sebentar lagi. Sebab bagaimanapun, Kemuning adalah rumahku. Dan seberapa jauh pun aku pergi, maka rumah adalah satu-satunya jalan untukku pulang. Dan sementara itu, pasti semuanya jauh sudah lebih baik dari pada hari ini. Tentangku, tentang Rianti, dan tentang orangtuaku.     

Sementara Suwoto, memandangku dengan senyuman khasnya. Seolah, dia telah menantikan jawabanku itu. Aku tersenyum saja, Suwoto paling tahu. Tanpa aku jelaskan apa pun itu. Coba kalau aku yang bercakap dengan Paklik Sobirin. Bisa-bisa, sampai nanti subuh pun percakapan ini ndhak akan ada ujungnya. Sebab yang ada, aku berkata satu kalimat. Dia akan bertanya seribu kalimat lainnya.     

Duh Gusti, omong-omong soal Paklik Sobirin kenapa aku jadi rindu. Padahal, baru beberapa minggu lalu dia kembali ke Kemuning untuk mengurus beberapa pekerja perkebunan yang ada di sana. Kabarnya, ada sedikit protes. Karena ndhak ada aku, ada beberapa mandor yang mulai berlaku curang lagi. Upah yang sengaja kulebihkan untuk para pekerja ndhak sampai kepada mereka. Uang-uang lebihan itu, masuk di tangan mandor-mandor itu sendiri. Maklum, Romo Nathan juga jarang ke sana. Dia cukup sibuk dengan beberapa perkebunan lainnya. Yang berhasil, ucapan Paklik Junet, dan Paklik Sobirin ndhak diindahkan. Dengan dalih kedua Paklik itu ndhak ada hak paten. Sebab mereka bukanlah penguasa yang sebenarnya. Omong-omong, ada-ada saja Paklik Sobirin itu. Bagaimana bisa dia menyebutnya dengan hak paten. Kalau seperti itu kan aku ikut-ikutan berkata seperti itu juga.     


Tip: You can use left, right, A and D keyboard keys to browse between chapters.