JURAGAN ARJUNA

BAB 166



BAB 166

Ayamnya masih utuh, kakinya pun masih utuh beserta kuku-kukunya yang panjang. Jadi, apa yang harus kulakukan pertama kali untuk mengeksekusi ayam ini? Jujur aku benar-benar ndhak tahu. Aku jadi menyesal kenapa aku ndhak pernah sama sekali masuk ke dalam dapur untuk sekadar melihat para abdi tatkala mereka memotong-motong ayam. Sebenarnya, keahlianku ini apa, toh? Kok ya aku ndhak pernah mendengar ilmu memotong ayam sama sekali.     

Aku coba potong lehernya, sehingga kepalanya pisah. Kubuang kepala itu jauh-jauh, kemudian kupotong kedua kakinya. Aku kembali tersenyum, sebab ayam yang kubawa agaknya sudah tampak seperti ayam yang hendak di masak pada umumnya.     

"Dipotong jadi beberapa bagian, Kangmas! Ingat, ya, itu usus-ususnya belum dikeluarkan! Nanti kotoran yang ada di ampelanya ambil, dan buang!" seru Manis dari dalam.     

Aku kembali menghela napas, bagaimana cara membuka dada dari ayam ini? Lebih baik, kubuka bagian tengahnya saja untuk mengambil bagian dalamnya. Kupikir, akan semudah yang kukira. Saat aku hendak menekan pisau yang ada di tanganku, dan tangan kiriku memegangi tubuh ayam. Malah-malah pisau itu meleset mengenai jari jempolku.     

"Duh Gusti!" pekikku.     

Duh gusti, kenapa susah benar, toh, hanya perkara membelah ayam jempolku sampai terluka seperti ini! Aku benar-benar ndhak pernah menyangka, jika untuk membuat sebuah hidangan satu kali makan saja akan serepot ini. Dan yang paling ndhak pernah membuatku menyangka adalah, semua istri dan perempuan ahli masak di dunia ini hebat. Bayangkan, setiap hari mereka melakukan pekerjaan-pekerjaan hebat ini, pekerjaan yang berisiko tinggi, pekerjaan berat serta sangat merepotkan. Aku ndhak akan bisa membayangkan jika suami melakukan pekerjaan ini. Gusti, wanita ternyata bisa sehebat ini.     

"Ada apa, Kangmas?!" tanya Manis, yang rupanya dia mendengar keluhanku tadi.     

"Oh, ndhak apa-apa!" kujawab. Memotong-motong dengan asal, yang penting bagian dalamnya keluar, dan tubuh ayam telah terpotong menjadi beberapa bagian.     

Aku kemudian menarik sebelah alisku, kepada usus beserta ampela si ayam. Gusti, ini kotoran ayam! Dan Manis menyuruhku untuk mengambil kotoran ayam? Aku ndhak mau! Aku langsung melempar jeroan ayam itu, untuk kemudian mencuci dagingnya dengan bersih kemudian aku masuk kembali ke dalam dapur. Manis menarik sebelah alisnya, memeriksa daging ayamnya yang tanpa jeroannya. Dan tentu, jempol tanganku yang berdarah itu sudah kusembunyikan di balik bak, sebab jika dia tahu, maka dia pasti akan sangat khawatir denganku.     

"Mana ampela, dan hatinya?" tanyanya. Aku hanya mengsem. "Kamu buang?" tanyanya lagi.     

"Oh, jelas endhak. Tadi, ayam-ayam itu, mereka mencurinya tanpa sepengetahuanku," dustaku. Ayam, maafkan aku karena kamu telah menjadi kambing hitam dari apa yang telah aku lakukan. "Setelah ini aku bisa bantu kamu apa, Sayang?" tanyaku lagi.     

Manis tersenyum simpul, matanya tampak berkaca-kaca. Kurasa dia telah terharu dengan sikapku yang manis ini. Kemudian, dia menyodorkan cobek yang terbuat dari batu, yang di dalamnya sudah ada bumbu-bumbuan beraroma harum dari daun jeruk, dan lain sebagainya.     

"Ayamnya campur bumbu ini kemudian goreng. Bisa? Aku akan memetik kangkung untuk sayurnya."     

"Siap, Ndoro Manis!" kataku semangat.     

"Hati-hati, ya, minyaknya panas. Kalau masukin ayamnya hati-hati."     

"Aduh!"     

Duh Gusti, rasanya benar-benar panas! Baru juga Manis memperingati aku sudah kecipratan minyak goreng ini.     

Aku langsung melepaskan ayam itu sampai jatuh, kemudian kulihat punggung tanganku. Segera aku menuju ke gentong, dan merendam tanganku dengan air dingin di sana.     

Manis yang tahu kalau aku terkena minyak goreng pun langsung meninggalkan kegiatannya, berlari ke arahku dengan wajah paniknya itu.     

"Duh Gusti, kamu ndhak kenapa-napa, Sayang?" tanyanya. Yang bahkan, pertanyaan itu telah membuat rasa sakit yang teramat pada punggung tanganku tiba-tiba menghilang. Jika setiap hari aku mendapatkan perlakuan semanis ini karena kecipratan minyak panas, maka setiap hari aku terciprat pun rela. "Duh Gusti, tanganmu kena pisau juga? Ini bagaimana, toh, Kangmas! Kok ya bisa, memotong ayam kena pisau, menggoreng ikan kena minyak ini, lho!" marahnya lagi. Aku hanya diam saja, ndhak berani berkomentar. Kemudian, Manis menuntunku untuk duduk di ruang makan, kedua tanganku masih ia genggam dengan sangat hati-hati. "Sakit, ya?" tanyanya, yang seperti menanyai anak kecil. Aku mengangguk, masih dengan mengulum senyum. Rasanya, mulutku ndhak bisa berkata-kata, saking aku terpesonanya dengan perlakuan Manis kepadaku. Terlebih, melihat Manis yang berkeringat karena memasak itu. Benar-benar sangat cantik luar biasa.     

Aku kembali tertegun, saat jempol tanganku dimasukkan ke mulutnya. Sembari pelan-pelan dihisap, matanya masih memandangiku dengan cemas. Semantara aku malah memandanginya dengan arti lain, entah bagaimana ceritanya, mendapat perlakuan semanis ini membuatku terpesona. Untuk kemudian dia menciumnya, dan mencium punggung tanganku juga.     

"Sudah, sembuh... ndhak sakit lagi, ya," ucapnya. Persis seperti dia saat menenangkan anak kecil. Aku kembali tersenyum, perlakuan hangatnya benar-benar telah meluluhkan hatiku. Jadi sekarang aku tahu, kenapa dulu Biung ketika aku terluka selalu mencium lukaku. Rupanya, itu adalah sebuah mantra. Mantra yang sangat mujarab untuk menghilangkan rasa sakit, dan mantra itu dinamakan cinta.     

Kukecup pipi Manis membuatnya agaknya kaget, dan aku masih tersenyum ke arahnya. "Terimakasih, Sayang," kubilang.     

Manis pun membalas dengan senyuman, kemudian dia beranjak pergi. Kalau dia masih di sini, bisa-bisa daging ayam yang kumasukkan wajan tadi jadi gosong semua.     

"Kangmas tunggu saja di sini, aku mau memasak dulu. Sebentar lagi makanan akan siap, Kangmas."     

"Terimakasih, Sayang,"     

Kulihat Manis kembali ke dapur, sementara aku hanya duduk merenung tanpa melakukan apa pun. Rasanya, sangat berdosa juga, sebab aku telah menjadi laki-laki yang benar-benar ndhak berguna. Seharusnya, dulu Biung mengajariku memasak juga, agar aku menjadi sosok Juragan yang sempurna tanpa celah.     

Namun sejatinya aku tahu, jika memasak bukanlah perkara yang mudah. Terlebih, hal ini juga yang membuatku lebih dari tahu. Jika seorang perempuan, bukanlah makhluk yang lemah. Mereka mungkin terlihat lemah, namun dari kedua tangan lemah dan kecilnya itu, banyak hal yang harus dilalui, banyak pekerjaan, dan kesulitan yang harus dikerjakan. Terlebih, banyak keajaiban yang bisa mereka ciptakan.     

Bayangkan saja, secangkir beras di tangan seorang perempuan bisa diolah menjadi nasi. Dengan teknik yang mereka sendiri yang tahu, mereka melakukannya bukan hanya dengan tenaga, namun hati. Dan yang lain-lainnya pula. Bukankah dari itu semua, seorang perempuan seperti seorang dewi, yang mana bisa menciptakan banyak keajaiban bukan hanya untuk dirinya sendiri melainkan untuk oranglain juga. Dan lebih dari itu adalah, dia mampu menciptakan banyak keajaiban untuk orang yang ia cinta.     

Kepada Manis istriku tercinta, terimakasih. Terimakasih banyak telah menjadi Manisku, terimakasih banyak telah mau menjadi istriku. Sebab tanpamu, mungkin aku benar-benar ndhak mungkin ada di posisi ini. Aku mungkin benar-benar ndhak akan pernah tahu bagaimana sulitnya menjadi seorang istri, dan ndhak akan pernah bisa menghargai keajaiban yang telah para istri ciptakan selama ini di dalam rumah mereka sendiri.     


Tip: You can use left, right, A and D keyboard keys to browse between chapters.